Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

HARAPAN SEORANG GURU





Malam yang larut tampak terlihat bercahaya. Cahaya rembulan memberikan sinarnya untuk menemani malam. Beberapa bintang bertaburan menemani cahaya rembulan. Udara dingin menusuk tulang mengiringi hembusan angin malam. Mobil dan motor semakin sepi berlalu lalang. Para pejalan kaki pun semakin jarang terlihat. Hanya kunang-kunang malam yang semakin banyak terlihat beterbangan.
Masih teronggok bisu di pojok sana. Harapan yang diam dan tak pernah tersentuh. Jika ada tanya “mengapa?”, “karena tuhan tidak pernah menginginkanku untuk jatuh”. Ya, harapan akan engkau yang selalu mengungkapkan hal yang terus engkau langgar. Secangkir kopi pekat ini masih belum mau habis. Di salah satu warung kopi pinggiran jalan, masih kurenggut kesunyian ini dalam diam. Sendiri bukan hal baru akan diriku. Namun, sendiri ini berarti kepedulianku akan hidup.
Diam seribu bahasa bersama para pujangga remaja yang sedang berceloteh tentang beruntungnya mereka bersama kelompoknya, duduk anggun pula seorang wanita berbaju lengan panjang biru dengan kerudung merah muda serta celana hitam. Nampak sekali tidak ada keserasian antara warna itu. Apalagi dengan wajah polosnya yang kuning langsat dan bersih. Sama-sama diam dengan kesendirian. Mungkin juga meratapi nasib yang sama. Nasib yang enggan melunak disetiap alurnya. Cantik juga pikirku. Ah, tidak ada salahnya jika kuhampiri dan kusapa dia bukan?. Baiklah, aku berdiri serta menggenggam secangkir pekat ini dalam jari lusuhku.
“Hai, boleh aku ikut duduk di sini?, jika tidak mengganggu” Basa basi menyedihkan yang kusesalkan karena terlihat sangat kampungan. Menghampiri wanita dengan senyum harapan. Dia menoleh, dan dengan tatapan diam beberapa sekian detik tersenyum dan menjawab, “ah, sepertinya tidak ada papan bertuliskan dilarang duduk di sini?” Jawabnya. Ah, hebat sekali. Menjawab sapa tanyaku dengan tanya yang pasti membuat banyak pria diam dalam kebisuan. Aku pun duduk dengan sedikit rasa canggung dan keraguan. Meletakkan cangkirku dengan getaran yang hanya dapat kurasakan sendiri. Ternyata dari dekat, wajahnya nampak lebih cantik.
Aku baru tersadar. Dan hal itu menambah rasa tidak percaya diriku. Baru kusadari, ternyata dia sedang menulis. Tergeletak satu buku catatan yang setengahnya telah terisi beberapa tulisannya. Indah menurutku torehan tinta dari penanya. Sedikit memiliki style yang menarik di setiap hurufnya. Aku hanya diam dan memperhatikan tulisannya. Dia tahu kalau aku memperhatikan bukunya, lalu tersenyum dan berbicara “aku suka menulis cerita, cerita tentang hariku, dari hal-hal yang kualami sehari-hari. Mungkin kebanyakan akan bilang ini hanya diary. Namun bagiku ini cerita tentang hidup banyak orang.” Ucapnya. Hebat sekali. Aku memandangnya sedikit tidak percaya. Dia mengungkapkan apa yang sedang dia lakukan pada orang tak dikenal sepertiku?, berani sekali dia dengan orang-orang baru di sekitarnya. Dia sepertinya mengerti apa yang aku pikirkan. Dia menatapku lagi. “Mungkin kau berpikir aku orang yang berani bukan, dengan orang yang tak kukenal?”. Aku berpikir sebentar, dan mengumpat diriku yang hanya terdiam tak juga menjawab. Aku hanya mengangguk penuh kekaguman. Dia tertawa, tawa yang polos seorang wanita remaja. “Santai saja, aku bukan anak remaja yang canggung dengan orang-orang tak dikenal. Aku orang yang senang mengobrol dengan orang-orang baru. Aku orang yang terbuka. Mungkin itu yang mendasariku dalam coretan-coretanku ini. Ma’af kalau kau tidak nyaman”. Dia tersenyum. Wanita yang berani. Dan hebat. Dia bisa membaca diam, terkejut, serta anggukanku agar aku merasa nyaman duduk dengannya. “Tidak masalah bagiku. Aku juga suka mengobrol. Kita sama-sama sendiri bukan di warung kopi ini?. Dan kupikir, kita bisa saling mengobrol. Makanya aku menghampirimu”. Dia tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Senyumnya bak mawar merekah di atas bukit di pagi hari. Dengan embun murni berlari jatuh dalam kelopaknya. Sungguh menawan pikirku.
“Namaku Rasyid” sambil mengulurkan tangan, aku memperkenalkan namaku. Berharap agar aku menjadi sedikit akrab dengannya. Dia tersenyum dengan menunjukan gigi putihnya yang rapi. Lalu menyambut hangat tanganku. “Aku Lusiana, panggil saja Lusi”. Oh, sungguh nama yang indah. Sama seperti pemilik namanya. Sedikit kuminum kopi pesananku untuk menghanyutkan tembok yang menahan kalimat-kalimatku yang tertahan, agar keluar dan berbicara.
“Kerja di mana? Atau masih kuliah?” Tanyaku. Dia tersenyum lagi. Namun kali ini senyumnya sedikit melecehkan. “Apa aku masih terlihat seperti seorang mahasiswa?” Dia tertawa. Lalu melanjutkan, “aku seorang guru di SD CENDIKIA”. Hebat. Masih muda dan sudah menjadi guru?. Bukankah itu mengagumkan. Wanita muda yang sudah mengabdikan hidupnya untuk pendidikan di sekolah. Baru sebentar aku mengenalnya, namun dia sudah membuat kekagumanku banyak muncul. Ah, wanita yang menyenangkan. “menurutku, kau masih cukup menawan jika masih duduk di bangku kuliah. Paling tidak, masih seperti mahasiswa yang sedang menulis skripsi dengan buku catatan yang ada di depanmu. Bukankah itu hal yang tidak mungkin tidak terjadi?” Aku tertawa dan disambut lagi dengan senyum manisnya. Kami pun berbicara apa adanya. Seperti teman yang telah lama saling mengenal. Lupa akan kecanggungan serta keterkejutanku saat tadi menyapa.
Dari obrolan itu, aku tahu jika dia ternyata guru bahasa Indonesia yang membenci sistem pengajaran di negara ini. Menurutnya, guru saat ini hanya memberikan apa yang mungkin diperlukan untuk ujian nantinya. Mereka tak bisa memberikan pengetahuan yang lebih luas. Padahal ilmu pengetahuan cukup luas dan mencakup banyak aspek yang akan berguna bagi kehidupan para siswa di kemudian hari kelak. Mereka hanya mengerti materi, materi dan materi. Seakan mereka hanya hidup untuk satu mata pelajaran.
Aku juga jadi tahu, ternyata dia banyak dibenci para guru lainnya karena sistem mengajarnya yang tidak fokus hanya pada bahasa Indonesia. Namun merebak kemana-mana. Dia memberikan buku-buku tersendiri yang menurutnya layak untuk mereka, dan tidak mengharuskan mereka mempelajari buku acuan yang ada di sekolah. Namun, dia hanya tertawa dan tersenyum saja meski dibenci.
“Aku tidak peduli mereka tidak suka, aku hanya tidak ingin membatasi keingintahuan para anak itu. Mereka layak mendapatkan apa saja. Kepolosan mereka serta rasa ingin tahu yang besar akan segalanya bagi anak seumur mereka haruslah dibebaskan. Anak yang masih berusia sekolah dasar seharusnya diberikan pengetahuan yang banyak sehingga mereka dapat mengetahui berbagai hal sejak usia dini. Dengan begitu mereka akan suka untuk terus belajar. Mereka akan semakin tumbuh rasa keingintahuannya dan akan mencari sumber-sumber untuk memenuhi rasa keingintahuan mereka. Aku tidak mengharuskan mereka mendapatkan nilai sempurna, yang aku pastikan mereka belajar. Belajar apa saja, jika ada yang salah atau mereka tidak mengerti, tinggallah kita sebagai guru untuk meluruskannya bukan?. Aku tidak berpikir menjadikan mereka juara. Jika kau tanya mengapa, jawabnya hanya satu. Meskipun menjadi juara, sekolah juga yang akan mendapat nama.
Hal itu menjadi sistem politik sekolah untuk mendapat nama. Dan sekolah itu akan menjadi semakin mahal dengan kesombongannya. Dan akhirnya hilang pula makna sekolah itu bukan?.” Ucapnya dengan tawa. aku salut akan cara pandangnya yang luas. Dia berfikir lebih maju daripada aku yang berusaha mencari makna hidup ini. Mungkin hanya beberapa guru yang berpikiran seperti itu. Atau mungkin yang agak lebih baik, hanya satu di setiap kota. Iya, dan dia salah satu dari yang sedikit itu. Mengagumkan. “Aku tidak tahu ternyata masih ada guru yang berfikiran luas sepertimu, sepertinya kau layak untuk dibudidayakan” ulasku sambil tertawa. Dan dia pun ikut tertawa, lalu memukul pelan bahuku dan berujar “enak saja kau, memangnya aku flora dan fauna apa? Hingga harus dibudidayakan”. Tawa kami pun berderai di sepanjang malam di warung kopi.
“Ngomong-ngomong, ini sudah jam 11, kau nggak dicari orangtuamu?” Sambil melihat jam di tangan aku bertanya padanya. Dia tersenyum dan bilang “benarkah sudah selarut itu?, ah, mungkin jam kamu terlalu cepat berlalu” ungkapnya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa dan kami pun bersiap-siap untuk pulang. Kutanyakan dimana rumahnya dan naik apa dia kesini. Dia hanya menjawab ringan. “Rumahku hanya 300 meter dari sini. Jadi aku berjalan kaki. Sambil menikmati redup malam dengan bulan yang menggantung.” Celotehnya dengan senyum tersungging. Ah, kesempatan yang tepat untuk tahu tentang tempat tinggalnya. Dia pun kutawari untuk kuantarkan. Dan dia meng’iyakan dengan anggukan bak mawar yang tertiup angin.
Setelah membayar cangkir yang kami rengguk dengan nikmat, kami berjalan pulang beriringan. “Aku bingung dengan kehidupanku, semakin dalam aku melihat dunia pendidikan, semakin terpukau sedih aku dibuatnya”. Ungkapnya, dia berceloteh tentang minimnya perhatian guru akan muridnya. “Mereka berusaha semakin mengedepankan para anak yang cerdas hanya untuk gengsi antar sekolah. Sekolah semacam sistem politik. Sistem persaingan. Mana yang berprestasi, dia yang dijunjung tinggi. Sekolah bukan tempat untuk berbagi pengetahuan. Berbagi cerita bagaimana dan apa yang dimaksud dengan belajar. Tapi sekolah dibuat seakan untuk ajang pamer menjual diri tentang yang mana yang lebih maju. Dengan melupakan sekolah lain yang tidak memiliki prestasi. Sekolah bukan lagi tempat menimba ilmu. Namun menjadi ajang untuk bersaing menjadi sekolah ternama dan terkenal”.
Protesnya tentang sekolah ini, menurutku agak riskan dengan SD tempatnya mengajar yang memiliki predikat tinggi di mata masyarakat serta pemerintah. SD CENDIKIA merupakan SD yang sering diliput akan kegiatannya. SD itu juga sering mendapat perhatian dari pemerintah karena menjadi SD yang terkenal. Bukankah itu menjadi cerita yang merendahkan kualitas jika diceritakan kepadaku yang termasuk orang yang memandang baik tentang SD itu. “Bukankah SD itu menjadi contoh yang baik bagi sekolah lain, karena sering diliput dan dipertontonkan di mana saja?”. Tanyaku. “Kebanyakan akan menilai seperti itu, namun jangan lupakan pepatah “jangan menilai buku dari sampulnya”. sekolah bukan ajang pamer, namun tempat untuk menimba ilmu bukan?” Jawabnya. Aku semakin kagum dengan cara berpikir wanita ini.
15 menit kemudian kami sampai di perempatan tempat aku harus berbelok menuju rumahku. “Rumahku belok kesana, apa rumahmu masih jauh?” Tanyaku, dia tersenyum dan menunjuk rumah dengan arsitektur yang unik dan mewah yang berada setelah 2 rumah dari perempatan. “Itu rumahku, kalau mungkin kau mau main ke rumahku besok atau entah kapan”. Jawabnya membuat keakraban di antara kami bertambah. “Baiklah, mungkin besok. Besok hari minggu dan pastinya guru sepertimu libur kan?” Janjiku serta tanyaku.
Dia mengangguk dengan senyuman tipis di raut manisnya. “Dan mungkin kau tak akan pernah berjumpa denganku”. Desisnya. Aku terkejut dan menatapnya. Dia hanya tersenyum dan mengibaskan tangannya tanda tak perlu diperhatikan kata-kata terakhirnya tadi. Aku tersenyum dan berucap “sampai jumpa, sampai ketemu besok” dengan senyum penuh harap untuk masih bisa bertemu lagi. Dia tersenyum dan menjawab sampai jumpa kembali. Aku pun melangkah untuk pulang dengan dijejali banyak pertanyaan tentangnya. Dan kuharap, besok pertanyaan-pertanyaan itu terungkap.
Mentari merekah di ufuk timur. Memberikan ilham yang membelah jendela kamarku melalui cahaya hangatnya. Secangkir kopi tergeletak membisu di atas meja ruang tamuku. Menemani pagiku yang tenang. Aku berencana untuk pergi ke rumah Lusi jam 8 nanti. Sambil menunggu jam 8 tepat kuhabiskan tegukan pekat hitam ini. Berpikir apa yang tepat kutanyakan nanti kepadanya. Ah, kurasa nanti juga terngiang sendiri apa yang ingin kutanyakan. Aku pun bersiap membersihkan diri. Mandi serta mempersiapkan diri serapi mungkin.
Jam 8 tepat. Saatnya berangkat. Kulangkahkan kaki penuh percaya diri, berharap canda yang mewarnai obrolan kami sehingga kami semakin akrab. Sampai depan rumah antik yang mewah ini, kuketuk perlahan dan berucap “assalamu’alaikum”. Terdengar jawab dari dalam. Namun sepertinya bukan Lusi yang menjawabnya. Pintu terbuka dan tampak ibu-ibu yang lanjut usia membukakan pintu. “Cari siapa ya dik?” Tanya ibu itu. Rautnya menggambarkan rasa sedikit terkejut, karena nampak di depannya sesosok pria tak jelas asal-usulnya. Dan aku pun bertanya “Lusinya ada tante?”. Ibu itu terkejut dan sedikit menganga. Lalu dia agaknya ingin menangis. Aku kebingungan. Apa yang telah kuperbuat sehingga membuat wanita paruh baya ini sedih. Dia mengajakku masuk. Lalu dia bercerita bahwa sudah seminggu yang lalu putrinya dengan nama Lusi meninggal. Aku pun diam dalam seribu rasa tak percaya. Apa maksud penjelasan ibu ini. Baru tadi malam kami bercanda tawa. Namun dia bilang Lusi sudah tiada.
Aku pun menjelaskan pertemuanku tadi malam. Ibu itu semakin menangis, tak percaya dengan yang kuceritakan. Aku juga tak percaya akan tuturnya. Ibu itu bercerita sambil menangis bahwa putrinya telah meninggal di sekolah karena tertabrak mobil yang sedang melaju di jalan raya. Dan pengendara itu kabur. Putrinya tidak sempat dibawa ke rumah sakit dan meninggal di tempat. Aku semakin tidak percaya. Lalu siapa yang menemaniku tadi malam?. Tubuhku bergidik, bergetar tak karuan karena keterkejutan yang sangat dalam. Ibu itu menangis dengan mencengkram mukanya sendiri.
Setelah ibu itu agak tenang, aku pun berpamitan dengan pertanyaan yang semakin mendalam. Apa maksud semua ini? Apa yang tuhan maksudkan dengan kejadian tadi malam?. Mungkin, wanita cantik itu, meninggalkan pesannya untukku. Agar aku meneruskan keinginan serta pemikiran mulianya tentang pendidikan. Tapi kenapa harus aku? Aku tak mengenalnya. Kita belum pernah bertemu. Lalu apa maksud semua ini. Aku berjalan melewati perempatan dimana kami berpisah tadi malam. Terlihat bayangnya melambai di pojok perempatan. Aku terkesiap. Kupikir aku sedang bermimpi. Ya, aku sedang bermimpi. Mimpi yang begitu nyata. Mimpi akan harapan yang ditinggalkan wanita dengan senyum merekah. Senyum yang menawan yang hanya sebuah bayangan. Tanpa tahu apa maksud dan tujuannya.