Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

Makalah Hadist


BAB I
PEDAHULUAN
A.    Latar belakang
Tatkala membahas Al Qur’an, kita mengemukakan bahwa Kitab Allah ini bukan sekedar shuhuf  petunjuk untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang muncul pada masa turunnya, dan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW beserta para pengikut beliau. Al Qur’an merupakan sebuah uraian lengkap mengenai segala sesuatu yang perlu diketahui manusia, dan dihimpun dalam sebuah sistem. Meskipun Al Qur’an menegaskan mengenai dirinya sebagai Kitab yang menerangkan segala sesuatu, tetapi tidak semua masalah disampaikannya secara tuntas, sejak dari prinsip dasar sampai dengan operasionalisasinya.
Rupanya Allah menetapkan untuk memfungsikan Rasul bukan sekedar membacakan Kitab-Nya kepada ummat, tetapi juga menerangkan isinya dan memberi contoh pengamalannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu sesudah Al Qur’an kaum mukminin menerima As Sunnah – jalan atau tradisi Rasul. Jalan Rasul itu diberitakan secara beranting kepada ummat, maka berita tentang sikap dan akhlak Rasulullah SAW itu dikenal sebagai Al Hadits yang makna harfiahnya adalah berita.
Sehubungan dengan itu Rasulullah menyatakan: “Aku tinggalkan dua hal untuk kamu sekalian; maka kamu tidak ak an tersesat apabila berpegang kepada keduanya. Dua hal itu adalah Al Qur’an dan Sunnahku”. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dikemukakan sabda beliau: “Barangsiapa mencintai sunnahku berarti dia mencintai aku, dan barangsiapa mencintai aku maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”.
Al-Quran dan hadits mempunyai hubungan yang sangat erat dimana keduanya tidak dapat dipisahkan meskipun ditinjau dari segi penggunaan hukum syariat, hadist/sunnah mempunyai kedudukan sederajat lebih rendah dibandingkan al-quran. Hal ini akan terasa sekali ketika seseorang membaca atau mendapati ayat-ayat al-Quran yang masih sangat global, tidak terpirinci, dan kerap kali terdapat keterangan-keterangan yang bersifat, tidak muqoyyad.  
Seperti perintah tentang kewajiban sholat. Dalam al-Qu’ran, tidak dijelaskan bagaimana cara seseorang untuk mendirikan sholat, ada berapa rokaat,apa yang harus dibaca, dan apa saja syarat rukunnya. Akan  tetapi, dari hadist kita dapat mengetahui tata caranya sebagaimana yang telah disyariatkan. Oleh karenanya, keberadaan hadist menjadi hal yang urgen melihat fungsi umum hadist menjadi bayan ayat-ayat al-Quran yang masih butuh kajian lebih dalam untuk mengetahui makna yang sesungguhya. 
Jika umat islam mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang hadist, maka akan sangat sulit bagi kita untuk menelaahlebih dalam dan memahami ayat-ayat al-Quran.
Dalam makalah ini,  akan diuraikan terkait fungsi hadits dalam ajaran Islam, disertai contoh permasalahannya dan juga perbedaan pendapat para ulama dalam mengklasifikasikannya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hadits ?
2.       Bagaimana kedudukan sebuah hadits sebagai sumber dasar dalam agama Islam ?
3.      Apa fungsi hadits dalam ajaran Islam ?
4.      Sebutkan dan jelaskan klasifikasi fungsi-fungsi hadits sesuai urutan dan contoh-contoh kasus serta dalil pendukungnya?
5.      Bagaimana pendapat para ulama tentang fungsi haditsdalam islam?

C.    Tujuan Pembuatan Makalah
1.      Supaya mengetahui apa yang dimaksud dengan hadits.
2.      Mengetahui kedudukan hadits dalam Islam






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hadits
Hadits menurut bahasa (etimologi) adalah perkataan atau ucapan Hadits menurut syar’i adalah segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW baik perbuatan, perkataan, dan penetapan pengakuan (takrir)Hadits berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-quran yang kurang jelas atau sebagai penentu hukum yang tidak terdapat dalam Al-quran.
Hadits atau Sunnah dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.        Sunnah Qauliyah, yaitu semua perkataan Rasulullah yang ada hubungannya dengan pembinaan hukum Islam
2.        Sunnah Fi’liyah, yaitu semua perbuatan Rasulullah yang diberitakan para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain

Ulama Usul Fikih menetapkan perbuatan Nabi terbagi atas beberapa bagian :
1.        Jibilli (tabi’at) yaitu semua perbuatan Nabi yang termasuk urusan tabi’at seperti makan, minum dan lain-lain. Maka hukumnya mubah baik untuk perorangan maupun umatnya
2.        Qurb (pendekatan) seperti ibadah shalat, puasa, shadaqah atau yang seumpamanya
3.        Mu’amalah (hubungan dengan sesama manusia) seperti jual beli, perkawinan dan lain-lain
4.        Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan dan pengakuan Rasulullah terhadap pernyataan ataupun perbuatan orang lain baik dengan lisan beliau, sikap diam beliau  tanpa melakukan sanggahan. Persetujuan Nabi ini menunjukan suatu kebolehan.
5.        Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang telah direncanakan Nabi akan dikerjakan tapi tidak sampai dikerjakan sampai beliau wafat.


B.     Kedudukan Hadits Dalam Islam
Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada ummatdengan cara beliau sendiri.
.......وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم...........(النحل 44)
“kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka (QS. An-Nahl 44).
..ما اتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فانتهوا........(الحشر 7)
apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7)
Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang.
Iman Asy-Syathibi menerangkan dalam karyanya Al-Muwafaqat bahwa sunnah dibawah derajat Al-Quran dengan alasan :
1.            As-sunnah menjadi bayan (keterangan) Al-Qur’an.
2.            As-sunnah menerangkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, bukan Al-Qur’an menerangkan hukum sunnah.
3.            As-sunnah menguatkan kemutlakan Al-Qur’an, mengkhususkan keumuman Al-Qur’an dan mengihtimalkan lahirnya Al-Qur’an.

Dalam hal mengishtinbatkan hukum, maka sunnah mempunyai batas-batas :
1.             Sunnah mensyari’atkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Allah SWT agar diikuti dan dilaksanakan.
2.             Sunnah Nabi menerangkan apa-apa yang disyari’atkan oleh Al-Qur’an dalam hal menjelaskan ayat-ayat yang umum, mentabyinkan ayat-ayat yang muhtamil dan mentaqyidkan ayat-ayat yang mutlak.
3.             Sunnah berwenang membuat berbagai macam hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk hal ini, Nabi saw berpedoman kepada ilham dan petunjuk dari Allah dan ada pula yang berdasarkan ijtihad Rasulullah sendiri.

Imam Syafi’i menguraikan kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai berikut:
1.    Sunnah itu bayanut tafshil, keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal.
2.    Sunnah itu bayanut takhsis yaitu keterangan yang mentakhsiskan segala keumuman Al-Qur’an.
3.    Sunnah itu bayanut ta’yin yaitu keterangan yang menentukan mana yang dimaksud dari dua kata atau tiga macam persoalan yang semuanya mungkin untuk dijelaskan secara terang.
4.    Sunnah itu bayanut ta’kid yaitu keterangan sunnah yang bersesuaian benar dengan petunjuk Al-Qur’an dari segala jurusan dan ia menguatkan apa yang dipaparkan ayat-ayat Al-Qur’an.
5.    Sunnah itu bayanut tafsir yaitu keterangan sesuatu hukum dari Al-Qur’an, yang menerangkan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an.
6.    Sunnah itu bayanut tasyri yaitu keterangan sesuatu hukum yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an.

Dalam menyampaikan Al Qur’an, Rasulullah SAW hanya meneruskan apa yang diwahyukan kepada beliau, tanpa hak untuk menambah, mengurangi atau mengubah satu patah katapun. Sedangkan dalam mendakwahkan petunjuk selain beliau menyampaikannya dengan ucapan, dalam hal itu kata-kata dan susunannya berasal dari Muhammad SAW sendiri. Hadits Qudsi, walaupun dimulai dengan pernyataan: “Allah berfirman”, kalimatnya tetap dari Rasul.
Beliau hanya menerangkan firman Allah yang beliau terima sebagai ilham. Pada waktu lain beliau mengemukakan petunjuk Allah itu dengan perbuatan, termasuk dengan berdiam diri ketika melihat perbuatan seseorang. Berdiam diri itu merupakan taqriratau ijin bagi yang hendak melakukan perbuatan tersebutMuhammad SAW meskipun menjadi Nabi yang menerima wahyu, sekaligus seorang Rasul, utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dan petunjuk lain yang diilhamkan kepada beliau, tetap manusia biasa yang mempunyai keinginan, pikiran dan pendapat.
Maka dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menunaikan tugasnya, beliau juga ber-ijtihad dengan menggunakan akalnya. Ketika menyampaikan ijtihad-nya Muhammad dapat dibantah, bahkan bersedia mengubah ketetapannya bila ternyata ada ijtihad lain yang lebih baik. Tetapi tatkala melaksanakan petunjuk Allah, tidak ada siapapun yang boleh turut campur apa lagi mengoreksinya.
Para ulama menerangkan beberapa fungsi Al Hadits terhadap Al Qur’an :
1.        merinci atau mengoperasionalkan petunjuk yang Al Qur’an hanya membicarakan pokoknya saja
2.        menegaskan suatu ketetapan yang telah dinyatakan di dalam Al Quran
3.        menerangkan tujuan hukum dari suatu ketetapan Al Qur’an

Berbeda dengan Al Qur’an, sebagian besar Al Hadits tidak ditulis pada waktu Rasulullah SAW masih hidup kerena disebabkan beberapa faktor :
1.           karena Rasul sendiri pernah melarangnya.Para ulama hadits menganggap larangan ini disebabkan oleh kekuatiran, bahwa catatan Al Hadits akan bercampur dengan Al Qur’an, karena waktu itu belum ada media tulis yang baik. Buktinya, Rasul sendiri di kemudian hari mengijinkan beberapa sahabat yang terpercaya, menulis keterangan-keterangan beliau.
2.           Jarang sekali Rasulullah menerangkan, apakah ucapan dan perbuatan beliau itu atas petunjuk Allah atau hanya ijitihad beliau sendiri.
3.           Pada waktu itu ummat sibuk berperang dan berdakwah. Maka potensi penulis yang tersedia, dimanfaatkan dengan prioritas menulis Al Qur’an, yang Rasul memang memerintahkannya.
4.           Rasulullah SAW pada masa itu masih berada di tengah ummat, sehingga bila ada yang memerlukan keterangan atau penjelasan tentang pernyataan Al Qur’an, dia dapat bertanya langsung kepada beliau.
   Kenyataan bahwa tulisan mengenai Al Hadits sangat langka, menimbulkan kesulitanketika Rasulullah SAW telah wafat. Apa lagi tatkala sahabat-sahabat yang dekat dengan beliau dan yang menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau, telah wafat pula. Padahal umat memerlukan pengetahuan tentang Sunnah Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai masalah, yang petunjuk operasionalnya tidak ditemui dalam Al-Qur’an.
Maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz (menjabat tahun 99-101 H), mengambil inisiatif memerintahkan ummat untuk menuliskan segala sesuatu yang diucapkan dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sejak perintah dikeluarkan, banyak sekali hadits yang ditulis dan disebarluaskan. Persoalan timbul kemudian, ketika banyak hadits yang saling bertentangan, dan yang isinya diragukan. Maka para ulama kemudian melakukan seleksi hadits, dengan menyusun metode untuk itu. Yang terkemuka dalam pengembangan metode sekaligus penerapannya, antara lain Imam Bukhari (194-256 H), Imam Muslim (202-261 H), Abu Musa Muhammad at-Tirmidzi (209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), Ibnu Majah (209-273 H), dan An Nasa’i (215-303 H). Umumnya ulama hadits beranggapan, metode Bukhari merupakan yang paling hati-hati dalam prosedur seleksi hadits.
Meskipun ada perbedaan di antara berbagai metode yang digunakan, secara umum dapat dikatakan bahwa ada tiga unsur yang diperiksa dalam proses seleksi hadits:
1.        Sanad, yaitu hubungan antara orang yang mendengar atau menyaksikan sendiri ucapan maupun perbuatan Rasul secara berantai sampai kepada yang menuliskannya. Urutan itu harus menyambung tanpa ada keraguan sama sekali.
2.        Rawi, yaitu orang-orang yang disebut dalam garis sanad; mereka harus terpercaya dalam arti kukuh imannya, baik ibadahnya, luhur akhlaknya, dan panjang ingatannya.
3.        Matan (isi hadits), yaitu tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lain yang lebih tinggi tingkat kepercayaannya.

Dengan pemeriksaan yang saksama terhadap sanad, dapat diketahui apakah sebuah hadits itu mutawatir  dikemukakan di dalam banyak sekali jalur sanad, atau masyhurdinyatakan di dalam cukup banyak sanad, atau ahad hanya ditemukan dalam sedikit jalursanad. Hadist mutawatir tentu lebih mudah dipercayai dibanding masyhur, apa lagi haditsahad
Selanjutnya sesudah mempertimbangkan hasil penelitian terhadap semua unsur, dapat ditetapkan mana hadits yang shahih, mana yang hasan (cukup baik) tetapi tidak sampai pada taraf shahih, dan mana yang dhaif (lemah).

C.    Fungsi Hadist dalam Ajaran Islam
Dalam al-quran dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. diutus oleh Allah ke muka bumi untuk menjelaskan isi kandungan yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran. Hal itu senada dengan firman Allah dalam qur’an surat An Nahl : 44 yang artinya :
dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Dengan pemahaman ayat diatas, tegaslah kiranya bahwa hadist itu penjelasan, pensyarah, pen-taqyid, dan pen-takhsish ayat-ayat al-Quran.
Imam Ahmad berkata, “Mencari hukum dalam al-Quran haruslah melalui hadist. Mencari agama demikian pula, Jalan yang telah dibentang untuk mempelajari fiqh Islam an syariatnya ialah hadist/sunnah. Mereka yang mencukpi dengan al-Quran saja, tidak memerlukan hadist dalam memahami ayat, dalam mengetahui syariatnya,sesatlah perjalanannyadan tidak akan sampai pada tujuan yang dikehendaki.”
Penjelasan-penjelasan yang dilakukan oleh nabi sangat beraneka ragam bentuknya dan memiliki fungsi-fungsi tertentu. Penjelasan itu dapat berupa ucapan, perbuatan, tulisan ataupun taqrir (pembenaran berupa diamnya beliau terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain). Nabi Muhammad saw. telah diberi oleh Allah SWT (melalui Al-Quran) hak dan wewenang tersebut. Segala ketetapannya harus diikuti.
Banyak ayat al-quran dan hadist Rasulullah yang memberikan penegasan bahwa hadist merupakan sumber hukum Islam selain al-quran yang wajib diikuti.
1.        Dalil al-Quran
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". ( ali Imron : 32)
2.        Hadist Rasulullah
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه
Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalia tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah rasul-Nya.
3.        Ijma’
Umat islam sepakat menjadikan hadist sebagai mashadir at-tasyri’. Kesepakatan itu, bahkan telah dilakukan sejak masa Rasulullah. Ketika masa al-khulafa ar-rasyidindan masa-masa selanjutnya pun, tidak ada yang mengingkarinya.
4.        Sesuai dengan logika rasional
Kerasulan Muhammad telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Karena itu, bila kerasulannya telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila segala peraturan dan perundang-undangan, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu maupun hasil ijtihad dan inisiatif sendiri, ditempatkan sebagai sumber hukum  dan pedoman hidup.




D.    Fungsi - Fungsi  Hadits dan Contoh - Contoh Kasus Serta Dalil 
Pendukungnya
Fungsi Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al-qur’an ada 4 macam, yaitu:
1.    Bayan Al-Taqrir
Bayan at-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitumenetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an. Fungsi hadits ini hanya memperkokoh isi kandungan al-qur’an sekalipun dengan redaksi yang berbeda namun ditinjau dari substansinya mempunyai makna yang sama. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh hadits yang di riwayatkan Muslim dari Ibnu Umar yang berbunyi :
فإذا رأيتم الهلال فصوموا و إذا رأيتموه فأفطروا ( رواه مسلم )
Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah. (HR. Muslim)
Hadits ini mentaqrir (menetapkan) ayat al-Quran Surah. Al-Baqoroh : 185 yang berbunyi :
 فَمَن شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
Maka barangsiapa yang mempersaksikan  pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...
Karena ayat al-quran dan hadist diatas mempunyai makna yang sama maka hadist tersebut berfungsi sebagai bayan taqrir, mempertegas apa yang telah disebut dalam al-quran.
2.    Bayan Al-Tafsir
Bayan al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur’an yang masih bersifat umum.
Diantara contoh tentang ayat-ayat al-qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan sholat. Banyak sekali ayat-ayat terkait perintah kewajiban sholat dalam al-Quran. Salah satunya sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat : 43
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الرا كعين
dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat tetapi tidak dirinci atau dijelaskan bagaimana operasionalnya, berapa rokaatnya, serta apa yang harus dibaca dalam setiap gerakan sholat. Kemudian Rasulullah memperagakan bagaimana mendirikan sholat yang baik dan benar. Hingga beliau bersabda,
صلوا كما رايتموني اصلي(رواه البخاري)
Shalat lah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR.Bukhori.)
Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti sabda rasullullah,
 أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Hadits ini men-taqyid  QS.Almaidah : 58 yang berbunyi :
والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia dan Maha Bijaksana.
Dalam ayat diatas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Bisa jadi dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori tangan.  Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.
Sedangkan contoh hadits yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Quran, adalah :
قال النبي صلى الله عليه و سلم لا يرث المسلم الكافر و لا الكافر المسلم ( رواه البخارى ) Nabi SAW bersabda : “tidaklah seorang muslim mewarisi dari orang kafir , begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang muslim.
Hadits tersebut mentakhshish keumuman ayat :
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ( النساء : 11 )
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan. (QS. An- Nisa : 11)

3.    Bayan At-Tasyri’
 Bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja. Seperti contoh berikut:
أن الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر أو أنثى من المسلمين  (رواه المسلم )
Bahwasahnya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitroh kepada umat islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim.
(HR. Muslim).
Hadits Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya.
Namun demikian, sebagian ulama membantah bahwa sunnah dapat membentuk hukum baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran. Karena menurut mereka, sunnah tidak dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum baru

4.    Bayan Al-Nasakh
Nasakh menurut bahasa berarti (membatalkan dan menghilangkan), oleh para ahli Ushul Fiqih diartikan dengan: “Penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang kemudian”.
Dalam menasakh al-Qur’an dengan sunah/hadist ini terdapat dua macam pendapat di antara para ahli Ushul tentang boleh tidaknya. Pendapat pertama menyatakan, menasakh Alquran dengan Sunah diperkenankan, asalkan dengan Sunah Mutawatir atau Sunah Masyhur, bukan sunah Ahad. Sedang pendapat kedua menyatakan, menasakh Alquran dengan Sunah tidak dibolehkan, karena derajat al-quran lebih tinggi dari pada Sunah. Padahal syarat nasikh itu adalah yang lebih tinggi derajatnya atau sepadan.
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-naskh :
لا وصية لوارث
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Hadist ini menaskh firman Allah :
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا الوصية للوالدين و الأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقرة : 180)
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqoroh : 180).

E.     Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam
Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai bayan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut
1.        Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan tasyri’
2.        Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh
3.        Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis

Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya yang mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan, merinci, menjelaskan, membuat aturan baru dan merevisi aturan al-quran

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Al-Hadits merupakan sumber kedua bagi ajaran Islam, dialah sumber yang paling luas,yang terinci penjelasannya, dan paling lengkap susunannya. Sunnah memberikan perhatian yang penuh dalam menjelaskan Al-Qur’an,Oleh sebab itu, tidaklah seharusnya dalam urusan istinbat hukum Islam, orang mencukupkan Al-Qur’an saja, tanpa membutuhkan penjelasan dari As-Sunnah.
Maka dari itulah, jangan terlalu mudah kita mengambil suatu hukum dari Al-Qur’an tanpa melihat terlebih dahulu apakah ada hadits yang menjelaskan tentang ayat tersebut.
Marilah kita gali potensi kemampuan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits agar kita mampu memahami agama dengan baik dan benar.
Al-qur’an dan Hadits adalah sebagi pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber hukum islam kedua setelah al-quran.
Fungsi hadits sebagai penjelas(bayan) terhadap Al-qur’an mempunyai empat(4) macam, yaitu:
1.        Bayan Al-Taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan al-isbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al-qur’an
2.        Bayan Al-Tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan(taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur’an yang masih bersifat umum.
3.        Bayan At-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran , atau dalam al-quran hanya terdapat pokok-pokoknya saja
4.        Bayan At-Nasakh yaitu penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang kemudian


Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam:
Menurut Imam Malik bin Annas, yaitu meliputi bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tafshil, bayan Isbat, dan bayan tasyri’. Menurut Imam Syafi’i, yaitu meliputi bayan takhsis, bayan ta’yin, bayan tasyri’, bayan nasakh, bayan tafshil dan bayan isyaroh. Menurut Ahman bin Hanbal yaitu meliputi bayan ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, dan bayan takhsis.

B.     Saran
Demikian makalah ini kami susun. Semoga apa yang telah kami uraikan diatas mengenai Hadist dalam Ajaran Islam sedikit banyaknya memberi manfaat kepada kita semua. Dan kami menyadari sebagai manusia biasa memang tidak bisa luput dari kesalahan tidak terkecuali dengan makalah yang kami buat.
Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amiiin.