Malam yang larut tampak
terlihat bercahaya. Cahaya rembulan memberikan sinarnya untuk menemani malam. Beberapa
bintang bertaburan menemani cahaya rembulan. Udara dingin menusuk tulang
mengiringi hembusan angin malam. Mobil dan motor semakin sepi berlalu lalang.
Para pejalan kaki pun semakin jarang terlihat. Hanya kunang-kunang malam yang
semakin banyak terlihat beterbangan.
Masih teronggok bisu di
pojok sana. Harapan yang diam dan tak pernah tersentuh. Jika ada tanya
“mengapa?”, “karena tuhan tidak pernah menginginkanku untuk jatuh”. Ya, harapan
akan engkau yang selalu mengungkapkan hal yang terus engkau langgar. Secangkir kopi
pekat ini masih belum mau habis. Di salah satu warung kopi pinggiran jalan,
masih kurenggut kesunyian ini dalam diam. Sendiri bukan hal baru akan diriku.
Namun, sendiri ini berarti kepedulianku akan hidup.
Diam seribu bahasa
bersama para pujangga remaja yang sedang berceloteh tentang beruntungnya mereka
bersama kelompoknya, duduk anggun pula seorang wanita berbaju lengan panjang
biru dengan kerudung merah muda serta celana hitam. Nampak sekali tidak ada
keserasian antara warna itu. Apalagi dengan wajah polosnya yang kuning langsat
dan bersih. Sama-sama diam dengan kesendirian. Mungkin juga meratapi nasib yang
sama. Nasib yang enggan melunak disetiap alurnya. Cantik juga pikirku. Ah,
tidak ada salahnya jika kuhampiri dan kusapa dia bukan?. Baiklah, aku berdiri
serta menggenggam secangkir pekat ini dalam jari lusuhku.
“Hai, boleh aku ikut
duduk di sini?, jika tidak mengganggu” Basa basi menyedihkan yang kusesalkan
karena terlihat sangat kampungan. Menghampiri wanita dengan senyum harapan. Dia
menoleh, dan dengan tatapan diam beberapa sekian detik tersenyum dan menjawab,
“ah, sepertinya tidak ada papan bertuliskan dilarang duduk di sini?” Jawabnya.
Ah, hebat sekali. Menjawab sapa tanyaku dengan tanya yang pasti membuat banyak
pria diam dalam kebisuan. Aku pun duduk dengan sedikit rasa canggung dan
keraguan. Meletakkan cangkirku dengan getaran yang hanya dapat kurasakan
sendiri. Ternyata dari dekat, wajahnya nampak lebih cantik.
Aku baru tersadar. Dan
hal itu menambah rasa tidak percaya diriku. Baru kusadari, ternyata dia sedang
menulis. Tergeletak satu buku catatan yang setengahnya telah terisi beberapa
tulisannya. Indah menurutku torehan tinta dari penanya. Sedikit memiliki style
yang menarik di setiap hurufnya. Aku hanya diam dan memperhatikan tulisannya.
Dia tahu kalau aku memperhatikan bukunya, lalu tersenyum dan berbicara “aku
suka menulis cerita, cerita tentang hariku, dari hal-hal yang kualami
sehari-hari. Mungkin kebanyakan akan bilang ini hanya diary. Namun bagiku ini
cerita tentang hidup banyak orang.” Ucapnya. Hebat sekali. Aku memandangnya
sedikit tidak percaya. Dia mengungkapkan apa yang sedang dia lakukan pada orang
tak dikenal sepertiku?, berani sekali dia dengan orang-orang baru di
sekitarnya. Dia sepertinya mengerti apa yang aku pikirkan. Dia menatapku lagi.
“Mungkin kau berpikir aku orang yang berani bukan, dengan orang yang tak kukenal?”.
Aku berpikir sebentar, dan mengumpat diriku yang hanya terdiam tak juga
menjawab. Aku hanya mengangguk penuh kekaguman. Dia tertawa, tawa yang polos
seorang wanita remaja. “Santai saja, aku bukan anak remaja yang canggung dengan
orang-orang tak dikenal. Aku orang yang senang mengobrol dengan orang-orang
baru. Aku orang yang terbuka. Mungkin itu yang mendasariku dalam
coretan-coretanku ini. Ma’af kalau kau tidak nyaman”. Dia tersenyum. Wanita
yang berani. Dan hebat. Dia bisa membaca diam, terkejut, serta anggukanku agar
aku merasa nyaman duduk dengannya. “Tidak masalah bagiku. Aku juga suka
mengobrol. Kita sama-sama sendiri bukan di warung kopi ini?. Dan kupikir, kita
bisa saling mengobrol. Makanya aku menghampirimu”. Dia tersenyum, aku pun ikut
tersenyum. Senyumnya bak mawar merekah di atas bukit di pagi hari. Dengan embun
murni berlari jatuh dalam kelopaknya. Sungguh menawan pikirku.
“Namaku Rasyid” sambil
mengulurkan tangan, aku memperkenalkan namaku. Berharap agar aku menjadi
sedikit akrab dengannya. Dia tersenyum dengan menunjukan gigi putihnya yang
rapi. Lalu menyambut hangat tanganku. “Aku Lusiana, panggil saja Lusi”. Oh,
sungguh nama yang indah. Sama seperti pemilik namanya. Sedikit kuminum kopi
pesananku untuk menghanyutkan tembok yang menahan kalimat-kalimatku yang
tertahan, agar keluar dan berbicara.
“Kerja di mana? Atau
masih kuliah?” Tanyaku. Dia tersenyum lagi. Namun kali ini senyumnya sedikit
melecehkan. “Apa aku masih terlihat seperti seorang mahasiswa?” Dia tertawa.
Lalu melanjutkan, “aku seorang guru di SD CENDIKIA”. Hebat. Masih muda dan
sudah menjadi guru?. Bukankah itu mengagumkan. Wanita muda yang sudah
mengabdikan hidupnya untuk pendidikan di sekolah. Baru sebentar aku
mengenalnya, namun dia sudah membuat kekagumanku banyak muncul. Ah, wanita yang
menyenangkan. “menurutku, kau masih cukup menawan jika masih duduk di bangku
kuliah. Paling tidak, masih seperti mahasiswa yang sedang menulis skripsi
dengan buku catatan yang ada di depanmu. Bukankah itu hal yang tidak mungkin
tidak terjadi?” Aku tertawa dan disambut lagi dengan senyum manisnya. Kami pun
berbicara apa adanya. Seperti teman yang telah lama saling mengenal. Lupa akan
kecanggungan serta keterkejutanku saat tadi menyapa.
Dari obrolan itu, aku tahu
jika dia ternyata guru bahasa Indonesia yang membenci sistem pengajaran di
negara ini. Menurutnya, guru saat ini hanya memberikan apa yang mungkin
diperlukan untuk ujian nantinya. Mereka tak bisa memberikan pengetahuan yang
lebih luas. Padahal ilmu pengetahuan cukup luas dan mencakup banyak aspek yang
akan berguna bagi kehidupan para siswa di kemudian hari kelak. Mereka hanya
mengerti materi, materi dan materi. Seakan mereka hanya hidup untuk satu mata
pelajaran.
Aku juga jadi tahu,
ternyata dia banyak dibenci para guru lainnya karena sistem mengajarnya yang
tidak fokus hanya pada bahasa Indonesia. Namun merebak kemana-mana. Dia
memberikan buku-buku tersendiri yang menurutnya layak untuk mereka, dan tidak
mengharuskan mereka mempelajari buku acuan yang ada di sekolah. Namun, dia
hanya tertawa dan tersenyum saja meski dibenci.
“Aku tidak peduli
mereka tidak suka, aku hanya tidak ingin membatasi keingintahuan para anak itu.
Mereka layak mendapatkan apa saja. Kepolosan mereka serta rasa ingin tahu yang
besar akan segalanya bagi anak seumur mereka haruslah dibebaskan. Anak yang
masih berusia sekolah dasar seharusnya diberikan pengetahuan yang banyak
sehingga mereka dapat mengetahui berbagai hal sejak usia dini. Dengan begitu
mereka akan suka untuk terus belajar. Mereka akan semakin tumbuh rasa
keingintahuannya dan akan mencari sumber-sumber untuk memenuhi rasa
keingintahuan mereka. Aku tidak mengharuskan mereka mendapatkan nilai sempurna,
yang aku pastikan mereka belajar. Belajar apa saja, jika ada yang salah atau
mereka tidak mengerti, tinggallah kita sebagai guru untuk meluruskannya bukan?.
Aku tidak berpikir menjadikan mereka juara. Jika kau tanya mengapa, jawabnya
hanya satu. Meskipun menjadi juara, sekolah juga yang akan mendapat nama.
Hal itu menjadi sistem
politik sekolah untuk mendapat nama. Dan sekolah itu akan menjadi semakin mahal
dengan kesombongannya. Dan akhirnya hilang pula makna sekolah itu bukan?.”
Ucapnya dengan tawa. aku salut akan cara pandangnya yang luas. Dia berfikir
lebih maju daripada aku yang berusaha mencari makna hidup ini. Mungkin hanya
beberapa guru yang berpikiran seperti itu. Atau mungkin yang agak lebih baik,
hanya satu di setiap kota. Iya, dan dia salah satu dari yang sedikit itu.
Mengagumkan. “Aku tidak tahu ternyata masih ada guru yang berfikiran luas
sepertimu, sepertinya kau layak untuk dibudidayakan” ulasku sambil tertawa. Dan
dia pun ikut tertawa, lalu memukul pelan bahuku dan berujar “enak saja kau,
memangnya aku flora dan fauna apa? Hingga harus dibudidayakan”. Tawa kami pun
berderai di sepanjang malam di warung kopi.
“Ngomong-ngomong, ini
sudah jam 11, kau nggak dicari orangtuamu?” Sambil melihat jam di tangan aku
bertanya padanya. Dia tersenyum dan bilang “benarkah sudah selarut itu?, ah,
mungkin jam kamu terlalu cepat berlalu” ungkapnya sambil tertawa. Aku pun ikut
tertawa dan kami pun bersiap-siap untuk pulang. Kutanyakan dimana rumahnya dan
naik apa dia kesini. Dia hanya menjawab ringan. “Rumahku hanya 300 meter dari
sini. Jadi aku berjalan kaki. Sambil menikmati redup malam dengan bulan yang
menggantung.” Celotehnya dengan senyum tersungging. Ah, kesempatan yang tepat
untuk tahu tentang tempat tinggalnya. Dia pun kutawari untuk kuantarkan. Dan
dia meng’iyakan dengan anggukan bak mawar yang tertiup angin.
Setelah membayar
cangkir yang kami rengguk dengan nikmat, kami berjalan pulang beriringan. “Aku
bingung dengan kehidupanku, semakin dalam aku melihat dunia pendidikan, semakin
terpukau sedih aku dibuatnya”. Ungkapnya, dia berceloteh tentang minimnya
perhatian guru akan muridnya. “Mereka berusaha semakin mengedepankan para anak
yang cerdas hanya untuk gengsi antar sekolah. Sekolah semacam sistem politik.
Sistem persaingan. Mana yang berprestasi, dia yang dijunjung tinggi. Sekolah
bukan tempat untuk berbagi pengetahuan. Berbagi cerita bagaimana dan apa yang
dimaksud dengan belajar. Tapi sekolah dibuat seakan untuk ajang pamer menjual
diri tentang yang mana yang lebih maju. Dengan melupakan sekolah lain yang
tidak memiliki prestasi. Sekolah bukan lagi tempat menimba ilmu. Namun menjadi
ajang untuk bersaing menjadi sekolah ternama dan terkenal”.
Protesnya tentang
sekolah ini, menurutku agak riskan dengan SD tempatnya mengajar yang memiliki
predikat tinggi di mata masyarakat serta pemerintah. SD CENDIKIA merupakan SD yang
sering diliput akan kegiatannya. SD itu juga sering mendapat perhatian dari
pemerintah karena menjadi SD yang terkenal. Bukankah itu menjadi cerita yang
merendahkan kualitas jika diceritakan kepadaku yang termasuk orang yang
memandang baik tentang SD itu. “Bukankah SD itu menjadi contoh yang baik bagi
sekolah lain, karena sering diliput dan dipertontonkan di mana saja?”. Tanyaku.
“Kebanyakan akan menilai seperti itu, namun jangan lupakan pepatah “jangan
menilai buku dari sampulnya”. sekolah bukan ajang pamer, namun tempat untuk
menimba ilmu bukan?” Jawabnya. Aku semakin kagum dengan cara berpikir wanita
ini.
15 menit kemudian kami
sampai di perempatan tempat aku harus berbelok menuju rumahku. “Rumahku belok
kesana, apa rumahmu masih jauh?” Tanyaku, dia tersenyum dan menunjuk rumah
dengan arsitektur yang unik dan mewah yang berada setelah 2 rumah dari
perempatan. “Itu rumahku, kalau mungkin kau mau main ke rumahku besok atau
entah kapan”. Jawabnya membuat keakraban di antara kami bertambah. “Baiklah,
mungkin besok. Besok hari minggu dan pastinya guru sepertimu libur kan?”
Janjiku serta tanyaku.
Dia mengangguk dengan
senyuman tipis di raut manisnya. “Dan mungkin kau tak akan pernah berjumpa
denganku”. Desisnya. Aku terkejut dan menatapnya. Dia hanya tersenyum dan
mengibaskan tangannya tanda tak perlu diperhatikan kata-kata terakhirnya tadi.
Aku tersenyum dan berucap “sampai jumpa, sampai ketemu besok” dengan senyum
penuh harap untuk masih bisa bertemu lagi. Dia tersenyum dan menjawab sampai
jumpa kembali. Aku pun melangkah untuk pulang dengan dijejali banyak pertanyaan
tentangnya. Dan kuharap, besok pertanyaan-pertanyaan itu terungkap.
Mentari merekah di ufuk
timur. Memberikan ilham yang membelah jendela kamarku melalui cahaya hangatnya.
Secangkir kopi tergeletak membisu di atas meja ruang tamuku. Menemani pagiku
yang tenang. Aku berencana untuk pergi ke rumah Lusi jam 8 nanti. Sambil
menunggu jam 8 tepat kuhabiskan tegukan pekat hitam ini. Berpikir apa yang
tepat kutanyakan nanti kepadanya. Ah, kurasa nanti juga terngiang sendiri apa
yang ingin kutanyakan. Aku pun bersiap membersihkan diri. Mandi serta
mempersiapkan diri serapi mungkin.
Jam 8 tepat. Saatnya
berangkat. Kulangkahkan kaki penuh percaya diri, berharap canda yang mewarnai
obrolan kami sehingga kami semakin akrab. Sampai depan rumah antik yang mewah
ini, kuketuk perlahan dan berucap “assalamu’alaikum”. Terdengar jawab dari
dalam. Namun sepertinya bukan Lusi yang menjawabnya. Pintu terbuka dan tampak
ibu-ibu yang lanjut usia membukakan pintu. “Cari siapa ya dik?” Tanya ibu itu.
Rautnya menggambarkan rasa sedikit terkejut, karena nampak di depannya sesosok
pria tak jelas asal-usulnya. Dan aku pun bertanya “Lusinya ada tante?”. Ibu itu
terkejut dan sedikit menganga. Lalu dia agaknya ingin menangis. Aku
kebingungan. Apa yang telah kuperbuat sehingga membuat wanita paruh baya ini
sedih. Dia mengajakku masuk. Lalu dia bercerita bahwa sudah seminggu yang lalu
putrinya dengan nama Lusi meninggal. Aku pun diam dalam seribu rasa tak
percaya. Apa maksud penjelasan ibu ini. Baru tadi malam kami bercanda tawa.
Namun dia bilang Lusi sudah tiada.
Aku pun menjelaskan
pertemuanku tadi malam. Ibu itu semakin menangis, tak percaya dengan yang
kuceritakan. Aku juga tak percaya akan tuturnya. Ibu itu bercerita sambil
menangis bahwa putrinya telah meninggal di sekolah karena tertabrak mobil yang
sedang melaju di jalan raya. Dan pengendara itu kabur. Putrinya tidak sempat
dibawa ke rumah sakit dan meninggal di tempat. Aku semakin tidak percaya. Lalu
siapa yang menemaniku tadi malam?. Tubuhku bergidik, bergetar tak karuan karena
keterkejutan yang sangat dalam. Ibu itu menangis dengan mencengkram mukanya
sendiri.
Setelah ibu itu agak
tenang, aku pun berpamitan dengan pertanyaan yang semakin mendalam. Apa maksud
semua ini? Apa yang tuhan maksudkan dengan kejadian tadi malam?. Mungkin,
wanita cantik itu, meninggalkan pesannya untukku. Agar aku meneruskan keinginan
serta pemikiran mulianya tentang pendidikan. Tapi kenapa harus aku? Aku tak
mengenalnya. Kita belum pernah bertemu. Lalu apa maksud semua ini. Aku berjalan
melewati perempatan dimana kami berpisah tadi malam. Terlihat bayangnya
melambai di pojok perempatan. Aku terkesiap. Kupikir aku sedang bermimpi. Ya,
aku sedang bermimpi. Mimpi yang begitu nyata. Mimpi akan harapan yang
ditinggalkan wanita dengan senyum merekah. Senyum yang menawan yang hanya
sebuah bayangan. Tanpa tahu apa maksud dan tujuannya.