Latar belakang
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan
W.J.S. Poerwadarminta edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal
(perbuatan, usaha) mendekati atau mendekaAUDan. Sedangkan menurut kamus bahasa
Inggris arti pendekatan adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols,
2002: 35). Dari dua arti tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya
mengandung unsur sebagai suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu,
upaya untuk mencapai sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan
untuk melakukan sesuatu. Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya
sebagai pendidik ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu
pesan pendidikan diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai
dengan baik dan diterima dengan sempurna oleh anak didik.
Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak
didik tentunya seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih
desain untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan
perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan
berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia
dini.
B. Rumusan masalah
Bagaimana metode pengembangan
moral anak?
Bagaimana metode pengembangan moral agama anak?
Bagaimana metode pengembangan moral agama anak?
C. Tujuan
1. Agar guru dapat mendesain
kesesuaian pendekatan permbelajaran nilai moral agama dengan tingkat
perkembangan kebutuhan anak
2. Agar pendekatan yang didesain
mengacu pada kurikulum
3. Pendekatan yang didesain
berorientasi pada anak
4. Pendekatan yang didesain dapat
digunakan dengan langkah-langkah yang standar
5. Pendekatan yang didesain bisa
digunakan dalam kegiatan yang mengacu pada tujuan dan hasil belajar yang nyata
6. Agar guru mengetahui beberapa
instrument penilaian untuk pengembangan nilai-nilai keagamaan AUD
PEMBAHASAN
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta
edisi III (2007: 275) pendekatan memiliki arti hal (perbuatan, usaha) mendekati
atau mendekaAUDan. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris arti pendekatan
adalah jalan untuk melakukan sesuatu (John M. Echols, 2002: 35). Dari dua arti
tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan setidaknya mengandung unsur sebagai
suatu kegiatan yang meliputi: proses perjalanan waktu, upaya untuk mencapai
sesuatu, dan dapat pula memiliki ciri sebagai sebuah jalan untuk melakukan
sesuatu. Terkait dengan hal tersebut di atas, tepat kiranya sebagai pendidik
ataupun orang tua memahami bahwa untuk menyampaikan sesuatu pesan pendidikan
diperlukan pemahaman tentang bagaimana agar pesan itu dapat sampai dengan baik
dan diterima dengan sempurna oleh anak didik.
Untuk mencapai ketersampaian pesan kepada anak didik tentunya
seorang pendidik atau orang tua harus memiliki atau pun memilih desain
untuk menggunakan pendekatan yang sesuai dengan pola pikir dan
perkembangan psikologi anak. Ketepatan atau kesesuaian memilih pendekatan akan
berpengaruh terhadap keberhasilan dalam penanaman nilai moral untuk anak usia
dini.
Sementara metode memiliki sedikit arti yang
berbeda dengan pendekatan. Metode secara etimologi berasal dari bahasa Yunani
metha dan hodos. Metha berarti di balik atau di belakang, sedangkan hodos
berarti jalan. Jadi methahodos berarti disebalik jalan (Dwi Siswoyo dkk, 2005 :
82). Untuk saat ini metode diartikan sebagai tata cara. Pendekatan lebih
menekankan pada proses berjalannya upaya untuk menyampaikan sesuatu, maka
metode memiliki makna sebagai suatu cara kerja yang bersistem, yang memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Substansi perbedaan dari kedua istilah tersebut sangat tipis, yaitu hanya
terletak pada cara kerjanya yang bersistem, yang berarti bahwa upaya itu
merupakan suatu rangkaian yang teratur dan telah diperhitungkan serta teruji
kehandalannya (Otib S. Hidayat, 2006: 4.5).
Pemilihan metode dan pendekatan yang dilakukan pendidik atau guru
semestinya dilandasi alasan yang kuat dan faktor-faktor pendukungnya seperti
karakteristik tujuan kegiatan dan karakteristik anak yang diajar. Karakteristik
tujuan adalah pengambangan kognitif, pengembangan kreativitas, pengembangan
bahasa, pengembangan emosi, pengembangan motorik, dan pengembangan nilai serta
pengembangan sikap dan perilaku. Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat
dipergunakan metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan
yang didasari oleh nilai-nilai agama dan moralitas agar anak dapat menjalani
kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.Selain penentuan
pendekatan berdasarkan tujuan kegiatan, karakteristik anak juga ikut menentukan
metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral.
Anak usia dini merupakan anak yang memiliki karakteristik suka
bergerak (tidak suka diam), mempunyai rasa ingin tahu (curiosity) yang tinggi,
senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif,
mempunyai imajinasi, dan senang berbicara. Anak memerlukan dan menuntut untuk
bergerak yang melibatkan AUD mengkoordinasikan otot kasar. Anak juga memerlukan
kesempatan untuk menggunakan tenaga sepenuhnya saat melakukan kegiatan. Oleh
karena itu diperlukan ruang yang luas serta sarana dan prasarana (peralatan)
yang memadai. Setiap guru akan menggunakan metode sesuai dengan gaya
melaksanakan kegiatan. Tetapi yang harus diingat bahwa Taman Kanak-kanak memiliki
cara yang khas. Oleh karena itu ada metode-metode yang lebih sesuai bagi anak
Taman Kanak-kanak dibandingkan dengan metode-metode lain. Misalnya saja guru
AUD jarang sekali yang menggunakan metode ceramah. Orang akan segera menyadari
bahwa metode ceramah tidak sesuai dan tidak banyak berarti apabila diterapkan
untuk anak AUD. Metode-metode yang memungkinkan anak dapat melakukan hubungan
atau sosialisasi dengan yang lain akan lebih sesuai dengan kebutuhan dan minat
anak. Melalui kedekatan hubungan guru dan anak, seorang guru akan dapat
mengembangkan kekuatan pendidik yang sangat penting (Moeslichatun, 1998:
7).Dalam pelaksanaan penanaman nilai moral pada anak usia dini banyak sekali
metode dan pendekatan yang dapat digunakan oleh guru atau pendidik. Namun sebelum
memilih dan menerapkan metode dan pendekatan yang ada perlu diketahui bahwa
guru atau pendidik harus memahami benar metode atau pendekatan yang akan
dipakai, karena ini akan berpengaruh terhadap optimal tidaknya keberhasilan
penanaman nilai moral tersebut. Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak
usia dini sangatlah bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain,
bersajak dan karya wisata.
a. Kesesuain dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak
Menurut Kohlberg perkembangan moral anak usia prasekolah (PAUD)
berada pada tingkatan yang paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral
prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum menunjukkan internalisasi
nilai-nilai moral (secara kokoh). Namun sebagian anak usia PAUD ada yang sudah
memiliki kepekaan atau sensitivitas yang tinggi dalam merespon lingkungannya
(positif dan negatif). Misalkan ketika guru/orang tua mentradisikan atau
membiasakan anak-anaknya untuk berperilaku sopan seperti mencium tangan orang
tua ketika berjabat tangan, mengucapkan salam ketika akan berangkat dan pulang
sekolah, dan contoh-contoh positif lainnya maka dengan sendirinya perilaku
seperti itu akan terinternalisasi dalam diri anak sehingga menjadi suatu
kebiasaan mereka sehari-hari. Demikian pula sebaliknya kalau kebiasaan negatif
itu dibiasakan kepada anak maka perilaku negatif itu akan terinternalisasi pula
dalam dirinya.
Dalam mengkaji perkembangan moral anak usia pra sekolah, Kohlberg
memposisikan mereka pada level yang paling dasar, yaitu level 1 (moral prakonvensional).
Pada tahap ini, anak melihat suatu kegiatan dianggap salah atau benar
berdasarkan hukuman dan kepatuhan (punishment dan obedience
orientation) serta individualisme dan
orientasi tujuan instrumental (individualism and instrumental purpose). Pada
tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, suatu tindakan dinilai benar atau salah
tergantung pada akibat dari kegiatan tersebut. Suatu kegiatan yang membuat ibu
marah dianggap salah dan suatu kegiatan yang membuat ibu senang dianggap baik
atau benar.
b. Mengacu pada kurikulum
c. Berorientasi pada anak
Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam
perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris. Dalam
Tingkat Pra konvensional ini terdapat dua tahapan moral yaitu :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai
contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya
dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari
sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
2. Orientasi minat pribadi ( Apa untungnya buat saya?)
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang
benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua
kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila
kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu
garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian
kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat
intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat
pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua
tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari
tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara
moral.
Tingkat Konvensional
Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang
dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional
terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral yaitu :
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik)
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik.
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial ( Moralitas
hukum dan aturan)
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik
.
Tingkat Pasca Konvensional
Tingkat Pasca Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat
berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan
bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini
menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan
pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Tingkat Pasca konvensional terdiri dari tahap kelima dan keenam
yaitu :
5. Orientasi kontrak social
5. Orientasi kontrak social
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki
pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai
relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut - 'memang anda
siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan dengan itu, hukum
dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang
tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut
diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini,
pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
6. Prinsip etika universal ( Principled conscience)
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak
menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada
keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak
mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan
tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa
dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat
veil of ignorance dari John Rawls). Tindakan yang diambil adalah hasil
konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
d. Langkah- langkah kegiatan standar
e. Kegiatan yang mengacu pada tujuan dan hasil belajar yang nyata
1. Bercerita
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng.Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita seorang guru harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, diantaranya:a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelasb. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anakc. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh, 2005 : 27-28).Dalam bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa memanfaaAUDan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya :a. membaca langsung dari buku cerita atau dongengb. Menggunakan ilustrasi dari bukuc. Menggunakan papan flaneld. Menggunakan media bonekae. Menggunakan media audio visualf. Anak bermain beran atau sosiodrama. (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 87). Strategi atau cara yang dapat digunakan ketika guru memilih metode bercerita sebagai salah satu metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral adalah dengan membagi anak menjadi beberapa kelompok, misalnya dalam satu kelas dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita duduk dilantai mengelilingi guru yang duduk di kursi kecil di kelilingi oleh mereka. Anak-anak yang duduk di lantai akan mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru. Sedangkan tiga kelompok yang lain duduk pada kursi meja yang lain dengan kegiatan yang berbeda-beda, misalnya ada yang menggambar, melakukan kegiatan melipat kertas, sedangkan kelompok yang keempat membentuk plastisin. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita pada gilirannya akan mengikuti kegiatan menggambar, melipat kertas, membentuk plastisin. Melalui cara ini masing-masing anak akan mendapaAUDan kegiatan atau pengalaman belajar yang sama secara bergantian.
Bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.12). Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Kita mungkin masih ingat pada masa kecil dulu tidak segan-segannya orang tua selalu mengantarkan tidur anak-anaknya dengan cerita atau dongeng.Tidaklah mudah untuk dapat menggunakan metode bercerita ini. Dalam bercerita seorang guru harus menerapkan beberapa hal, agar apa yang dipesankan dalam cerita itu dapat sampai kepada anak didik. Beberapa hal yang dapat digunakan untuk memilih cerita dengan fokus moral, diantaranya:a. Pilih cerita yang mengandung nilai baik dan buruk yang jelasb. Pastikan bahwa nilai baik dan buruk itu berada pada batas jangkauan kehidupan anakc. Hindari cerita yang “memeras” perasaan anak, menakut-nakuti secara fisik (Tadzkiroatun Musfiroh, 2005 : 27-28).Dalam bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak. Alat peraga yang dapat digunakan antara lain, boneka, tanaman, benda-benda tiruan, dan lain-lain. Selain itu guru juga bisa memanfaaAUDan kemampuan olah vokal yang dimiliknya untuk membuat cerita itu lebih hidup, sehingga lebih menarik perhatian siswa. Adapun teknik-teknik bercerita yang dapat dilakukan diantaranya :a. membaca langsung dari buku cerita atau dongengb. Menggunakan ilustrasi dari bukuc. Menggunakan papan flaneld. Menggunakan media bonekae. Menggunakan media audio visualf. Anak bermain beran atau sosiodrama. (Dwi Siswoyo dkk, 2005 : 87). Strategi atau cara yang dapat digunakan ketika guru memilih metode bercerita sebagai salah satu metode yang digunakan dalam penanaman nilai moral adalah dengan membagi anak menjadi beberapa kelompok, misalnya dalam satu kelas dibagi ke dalam 4 (empat) kelompok. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita duduk dilantai mengelilingi guru yang duduk di kursi kecil di kelilingi oleh mereka. Anak-anak yang duduk di lantai akan mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru. Sedangkan tiga kelompok yang lain duduk pada kursi meja yang lain dengan kegiatan yang berbeda-beda, misalnya ada yang menggambar, melakukan kegiatan melipat kertas, sedangkan kelompok yang keempat membentuk plastisin. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita pada gilirannya akan mengikuti kegiatan menggambar, melipat kertas, membentuk plastisin. Melalui cara ini masing-masing anak akan mendapaAUDan kegiatan atau pengalaman belajar yang sama secara bergantian.
2. Bernyanyi
Pendekatan penerapan metode bernyanyi adalah
suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira.
Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang
bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata
dan nada, serta ritmik yang menjadikan suasana pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang dikenalkan
kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak
tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak merupakan pribadi yang memiliki
keunikan tersendiri. Pola pikir dan kedewasaan seorang anak dalam menentukan
sikap dan perilakunya juga masih jauh dibandingkan dengan orang dewasa. Anak
tidak cocok hanya dikenalkan tentang nilai dan moral melalui ceramah atau tanya
jawab saja. Oleh karena itu bernyanyi merupakan salah satu metode penamanan
nilai moral yang tepat untuk diberikan kepada anak usia dini.Bernyanyi jika
digunakan sebagai salah satu metode dalam penanaman moral dapat dilakukan
melalui penyisipan makna pada syair atau kalimat-kalimat yang ada dalam lagu
tersebut. Lagu yang baik untuk kalangan anak AUD harus memperhatikan kriteria
sebagai berikut:a. Syair/kalimatnya tidak terlalu panjangb. Mudah dihafal oleh
anakc. Ada misi pendidikand. Sesuai dengan karakter dan dunia anake. Nada yang
diajarkan mudah dikuasai anak (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.28).
3. Bersajak
Sajak diartikan sebagai persesuaian bunyi suku
kata dalam syair, pantun, dan sebagainya terutama pada bagian akhir suku kata
(Poerwadarminta, 2007: 1008). Pendekatan pembelajaran melalui kegiatan membaca
sajak merupakan salah satu kegiatan yang akan menimbulkan rasa senang, gembira,
dan bahagia pada diri anak. Secara psikologis anak Taman Kanak-kanak sangat
haus dengan dorongan rasa ingin tahu, ingin mencoba segala sesuatu, dan ingin
melakukan sesuatu yang belum pernah dialami atau dilakukannya.Melalui metode
sajak guru bisa menanamkan nilai-nilai moral kepada anak. Sajak ini merupakan
metode yang juga membuat anak merasa senang, gembira dan bahagia. Melalui sajak
anak dapat dibawa ke dalam suasana indah, halus, dan menghargai arti sebuah
seni. Disamping itu anak juga bisa dibawa untuk menghargai makna dari untaian
kalimat yang ada dalam sajak itu. Secara nilai moral, melalui sajak anak akan
memiliki kemampuan untuk menghargai perasaan, karya serta keberanian untuk
mengungkap sesuatu melalui sajak sederhana (Otib Satibi Hidayat, 2005 : 4.29)
4. Karya wisata
Karya wisata merupakan salah satu metode
pengajaran di AUD dimana anak mengamati secara langsung dunia sesuai dengan
kenyataan yang ada, misalnya hewan, manusia, tumbuhan dan benda lainnya. Dengan
karya wisata anak akan mendapaAUDan ilmu dari pengalamannya sendiri dan
sekaligus anak dapat menggeneralisasi berdasarkan sudut pandang mereka sendiri.
Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat
membangkiAUDan minat anak pada sesuatu hal, dan memperluas perolehan informasi.
Metode ini juga dapat memperluas lingkup program kegiatan belajar anak Taman
Kanak-kanak yang tidak mungkin dapat dihadirkan di kelas.Melalui metode karya wisata
ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh anak. Pertama, bagi anak karya wisata
dapat dipergunakan untuk merangsang minat mereka terhadap sesuatu, memperluas
informasi yang telah diperoleh di kelas, memberikan pengalaman mengenai
kenyataan yang ada, dan dapat menambah wawasan anak. Informasi-informasi yang
didapaAUDan anak melalui karya wiasata dapat pula dijadikan sebagai batu
loncatan untuk melakukan kegiatan yang lain dalam proses pembelajaran.Kedua,
karya wisata dapat menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, seperti untuk
mengembangkan minat tentang dunia hewan maka anak dapat dibawa ke kebun
binatang. Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang.
Minat tersebut menimbulkan dorongan untuk memperoleh informasi lebih lanjut
seperti tentang kehidupannya, asalnya, makannya, cara berkembang biaknya, cara
mengasuh anaknya, dan lain-lain.Ketiga, karya wisata kaya akan nilai
pendidikan, karena itu melalui kegiatan ini dapat meningkaAUDan pengembangan
kemampuan sosial, sikap, dan nilai-nilai kemasyarakatan pada anak. Apabila
dirancang dengan baik kegiatan karya wisata dapat membantu mengembangkan aspek
perkembangan sosial anak, misalnya kemampuan dalam menggalang kerja sama dalam
kegiatan kelompok.Keempat, karya wisata dapat juga mengembangkan nilai-nilai
kemasyarakatan, seperti: sikap mencintai lingkungan kehidupan manusia, hewan,
tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Karya wisata membantu anak memperoleh
pemahaman penuh tentang kehidupan manusia dengan bermacam perkerjaan, kegiatan
yang menghasilkan suatu karya atau jasa. Metode karya wisata bertujuan untuk
mengembangkan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak yang sesuai dengan
kebutuhannya. Misalnya pengembangan aspek kognitif, bahasa, kreativitas, emosi,
kehidupan bermasyarakat, dan penghargaan pada karya atau jasa orang lain.
Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai
dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai
adalah tema: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan
pegunungan.Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam penanaman
nilai moral pada anak usia dini menurut Dwi Siswoyo dkk, (2005:72-81) adalah
indoktrinasi, klarifikasi nilai, teladan atau contoh, dan pembiasaan dalam
perilaku.
5. Indoktrinasi
Dalam kepustakaan modern, pendekatan ini sudah
banyak menuai kritik dari para pakar pendidikan. Akan tetapi pendekatan ini
masih dapat digunakan. Menurut Alfi Kohn, dalam Dwi Siswoyo (2005:72)
menyatakan bahwa untuk membantu anak-anak supaya dapat tumbuh menjadi dewasa,
maka mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui interaksi
guru dan siswa.Dalam pendekatan ini guru diasumsikan telah memiliki nilai-nilai
keutamaan yang dengan tegas dan konsisten ditanamkan kepada anak. Aturan mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan disampaiakan secara
tegas, terus menerus dan konsisten. Jika anak melanggar maka ia dikenai
hukuman, akan tetapi bukan berupa kekerasan.
6. Klarifikasi Nilai
Dalam pendekatan klarifikasi nilai, guru tidak
secara langsung menyampaikan kepada anak mengenai benar salah, baik buruk,
tetapi siswa diberi kesempatan untuk menyampaiakan dan menyatakan nilai-nilai
dengan caranya sendiri. Anak diajak untuk mengungkapkan mengapa perbuatan ini benar
atau buruk. Dalam pendekatan ini anak diajak untuk mendiskusikan isu-isu
moral.Pertanyaan yang muncul, apakah pendekatan ini dapat digunakan untuk anak
AUD? Ternyata jawabannya dapat, karena anak AUD yang berumur 6 tahun berada
dalam masa transisi ke arah perkembangan moral yang lebih tinggi, sehingga
mereka perlu dilatih untuk melakukan penalaran dan keterampilan bertindak
secara moral sesuai dengan pilihan-pilihannya (Dwi Siswoyo (2005:76).
7. Teladan atau Contoh
Anak AUD mempunyai kemampuan yang menonjol
dalam hal meniru. Oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat dijadikan
teladan atau contoh dalam bidang moral. Baik kebiasaan baik maupun buruk dari
guru akan dengan mudah dilihat dan kemudian diikuti oleh anak. Figur seorang
guru sangat penting utuk pengembangan moral anak. Artinya nilai-nilai yang
tujuannya akan ditanamkan oleh guru kepada anak seyogyanya sudah mendarah
daging terlebih dahulu pada gurunya. Menurut Cheppy Hari Cahyono (1995 :
364-370) guru moral yang ideal adalah mereka yang dapat menempaAUDan dirinya
sebagai fasilitator, pemimpin, orang tua dan bahkan tempat menyandarkan
kepercayaan, serta membantu orang lain dalam melakukan refleksi.Dalam
pendekatan ini profil ideal guru menduduki tempat yang sentral dalam pendidikan
moral. Banyak para ahli yang berpendapat dalam hal ini, diantaranya Durkheim,
John Wilson dan Kohlberg. Durkheim, misalnya ia berpendapat bahwa belajar
adalah satu proses sosial yang berkaitan dengan upaya mempengaruhi peserta
didik sedemikian rupa sehingga mereka dapat tumbuh selaras dengan posisi, kadar
intelektualitas, dan kondisi moral yang diharapkan oleh lingkungan sosialnya
(Dwi Siswoyo, 2005:76). Sementara, Kohlberg berpendapat bahwa tugas utama guru
adalah memberi kontribusi terhadap proses perkembangan moral anak. Tugas guru
disini adalah mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berpikir,
mempertimbangkan dan mengambil keputusan.
8. Pembiasaan dalam Perilaku
Kurikulum yang berlaku di AUD terkait dengan
penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan tingkah
laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum
dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru
dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan
sebagainya. Pembiasaan ini hendaknya dilakukan secara konsisten. Jika anak
melanggar segera diberi peringatan.Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam
penanaman nilai moral menurut W. Huitt (2004) diantaranya adalah inculcation,
moral development, analysis, klarifikasi nilai, dan action learning.
1. Inculcation
1. Inculcation
Pendekatan ini bertujuan untuk
menginternalisasikan nilai tertentu kepada siswa serta untuk mengubah
nilai-nilai dari para siswa yang mereka refleksikan sebagai nilai tertentu yang
diharapkan. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya
modeling, penguatan positif atau negatif, alternatif permainan, game dan
simulasi, serta role playing.
2. Moral development
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu
siswa mengembangkan pola-pola penalaran yang lebih kompleks berdasarkan
seperangkat nilai yang lebih tinggi, serta untuk mendorong siswa mendiskusikan
alasan-alasan pilihan dan posisi nilai mereka, tidak hanya berbagi dengan
lainnya, akan tetapi untuk membantu perubahan dalam tahap-tahap penalaran moral
siswa. Metode yang dapat digunakan diantaranya episode dilema moral dengan
diskusi kelompok kecil
3. Analysis
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa
menggunakan pikiran logis dan penelitian ilmiah untuk memutuskan masalah dan
pertanyaan nilai, untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional,
proses-proses analitik, dalam menghubungkan dan mengkonseptualisasikan
nilai-nilai mereka, serta untuk membantu siswa menggunakan pikiran rasional dan
kesadaran emosional untuk mengkaji perasaan personal, nilai-nilai dan pola-pola
perilakunya. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini diantaranya
diskusi rasional terstruktur yang menuntut aplikasi rasio sama sebagai
pembuktian, pengujian prinsip-prinsip, penganalisaan kasus-kasus analog dan
riset serta debat.
4. Klarifikasi nilai
Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu
siswa menjadi sadar dan mengidentifikasi nilai-nilai yang mereka miliki dan
juga yang dimiliki oleh orang lain, membantu siswa mengkomunikasikan secara
terbuka dan jujur dengan orang lain tentang nilai-nilai mereka, dan membantu
siswa menggunakan pikiran rasional dan kesadaran emosional untuk mengkaji
perasaan personal, nilai-nilai dan pola berikutnya. Metode yang dapat digunakan
dalam pendekatan ini antara lain, role playing games, simulasi, menyusun atau
menciptakan situasi-situasi nyata atau riil yang bermuatan nilai, latihan
analisis diri (self analysis) secara mendalam, aktivitas melatih kepekaan
(sensitivity), aktivitas di luar kelas serta diskusi kelompok kecil.
5. Action learning
Tujuan dari pendekatan ini adalah memberi
peluang kepada siswa agar bertidak secara personal ataupun sosial berdasarkan
kepada nilai-nilai mereka, mendorong siswa agar memandang diri mereka sendiri
sebagai makhluk yang tidak secara otonom interaktif dalam hubungan sosial
personal, tetapi anggota suatu sistem sosial. Metode yang dapat digunakan dalam
pendekatan ini adalah metode-metode didaftar atau diuruAUDan untuk analisis dan
klarifikasi nilai, proyek-proyek di dalam sekolah dan praktek kemasyarakatan, keterampilan
praktis dalam pengorganisasian kelompok dan hubungan antar pribadi.
B. Instrument penilaian untuk pengembangan nilai-nilai keagamaan AUD
Penilaian itu menekankan pada proses
pembelajaran. Oleh sebab itu, data yang dikumpulkan harus diperoleh dari
kegiatan nyata yang dikerjakan anak pada saat melakukan proses pembelajaran.
Karakteristik penilaian yang ideal adalah dilaksanakan selama dan sesudah
pembelajaran berlangsung, bisa digunakan untuk formatif performasi,
berkesinambungan, terintegrasi dan dapat digunakan sebagai feed back. Untuk
menjaring data hasil belajar, anda dapat menggunakan hal-hal yang bisa
memberikan masukan penilaian prestasi anak seperti: hasil dari kegiatan/
proyek, pekerjaan rumah, karya wisata, penampilan anak, demonstrasi dan catatan
observasi. Instrumen yang dapat Anda digunakan untuk penilaian di Taman
Kanak-kanak dengan memperhatikan sifat dan karakteristiknya adalah hasil kerja
anak (portofolio) yang meliputi hasil karya, hasil penugasan, kinerja anak, tes
tertulis, dan format observasi.
Alat Penilaian dalam
Pengembangan Moral Anak
Penilaian bertujuan untuk
mengetahui ketercapaian kemampuan yang telah ditetapkan dalam Garis-garis Besar
Program Kegiatan Belajar Taman Kanak-kanak. Penilaian hasil belajar anak didik
dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar anak didik secara berkesinam-bungan.
Prinsip-prinsip penilaian
adalah menyeluruh, berkesinambungan, berorientasi pada proses dan tujuan,
objektif, mendidik, kebermaknaan, dan kesesuaian.
Pada saat kita akan melakukan
penilaian dalam berbagai hal termasuk di dalamnya menilai perkembangan moral,
kita perlu menentukan alat penilaian yang tepat dengan kondisi anak yang
sesungguhnya. Alat pendukung tersebut adalah:
· pemberian tugas meliputi tes perbuatan dan pertanyaan lisan
sebagai latihan mengungkapkan gagasan dan keberanian berbicara.
Untuk mengekspresikan proses
kegiatan belajar, guru perlu melakukan penilaian atau evaluasi. Penilaian perlu
dilaksanakan agar guru Taman Kanak-kanak mendapat umpan balik tentang kualitas
keberhasilan dalam kegiatan anak yang diarahkan untuk pengembangan perilaku dan
moralitas secara keseluruhan.
Penilaian yang dilakukan guru
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan belajar, baik yang
menggunakan metode bercakap-cakap, bercerita, maupun bermain peran. Tanpa
adanya penilaian, tidak dapat diketahui secara rinci apakah tujuan pengembangan
aspek perilaku dan moralitas anak dapat dicapai secara maksimal. Hasil
penilaian kualitas keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran tersebut,
memberikan masukan kepada guru untuk membuat keputusan pembelajaran, dalam
rangka meningkatkan mutu pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan metode
tersebut dimasa yang akan datang.
Taman Kanak-kanak merupakan
lembaga pendidikan yang pertama, yang keberadaannya sangat strategis untuk
menumbuhkan jiwa keagamaan kepada anak-anak, agar mereka menjadi orang-orang
yang kuat, terbiasa, dan peduli terhadap segala aturan agama yang diajarkan
kepadanya.
Pendidikan nilai-nilai
keagamaan merupakan pondasi yang kokoh dan sangat penting keberadaannya, dan
jika hal itu telah tertanam serta terpatri dalam setiap insan sejak dini, hal
ini merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak bangsa untuk menjalani
jenjang pendidikan selanjutnya.
Bangsa ini sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai keagamaan. Nilai-nilai keagamaan ini pun dikehendaki agar
dapat menjadi motivasi spiritual bagi bangsa ini dalam rangka melaksanakan
sila-sila pertama dan sila berikutnya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Oleh karena itu, pendidikan yang merupakan kunci dalam membentuk
kehidupan manusia ke arah peradabannya menjadi sesuatu yang sangat strategis
dalam mencapai tujuan itu semua.
Potret, Hakikat, dan Target
Anak Taman Kanak-kanak dalam Belajar Nilai-nilai Keagamaan
Setiap potensi apapun yang
muncul dari anak seyogianya kita kembangkan dengan jelas dan terprogram dengan
baik. Tidak hanya perkembangan bahasa, daya pikir, keterampilan dan jasmani
saja, namun aspek keagamaan pun seharusnya menjadi salah satu pokok
pengembangan dan pembinaan yang harus dikelola, diprogram dan diarahkan dengan
sempurna
Kaitannya dengan hakikat
belajar anak Taman Kanak-kanak pada nilai-nilai keagamaan, seharusnya kita
pahami bahwa hal itu harus berorientasi pada fungsi pendidikan di Taman
Kanak-kanak itu sendiri, yaitu sebagai fungsi adaptasi, fungsi pengembangan dan
fungsi bermain. Penyelenggaraannya pun harus sesuai dengan 6 prinsip, yaitu
prinsip pengamatan, peragaan, bermain sambil belajar, otoaktivitas, kebebasan
dan prinsip keterkaitan dan keterpaduan.
Target dalam mengembangkan
nilai-nilai keagamaan kepada anak Taman Kanak-kanak adalah diharapkan mampu
mewarnai pertumbuhan dan perkembangan dari diri mereka. Sehingga diharapkan
akan muncul suatu dampak positif yang berkembang meliputi fisik, akal pikiran,
akhlak, perasaan kejiwaan, estetika, dan kemampuan sosialisasinya diwarnai
dengan nilai-nilai keagamaan.
Petunjuk Penggunaan Instrumen Penilaian
Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Anak Taman Kanak-kanak
Alat penilaian yang digunakan untuk menilai
bidang pengembangan nilai-nilai agama adalah sebagai berikut: pengamatan
(observasi) dan pencatatan anekdot (anecdotal record), penugasan melalui tes
perbuatan, pertanyaan lisan dan menceritakan kembali. Hal-hal yang dapat
dicatat guru sebagai bahan penilaian adalah: anak-anak yang belum dapat
menyelesaikan tugas dan anak-anak yang dapat menyelesaikan tugas dengan cepat,
kebiasaan/perilaku anak yang belum sesuai dengan yang diharapkan dan
kejadian-kejadian penting yang terjadi pada hari penulisan pelaporan hasil
penilaian pada laporan perkembangan anak. Sebelum uraian (deskripsi), terlebih
dahulu dilaporkan perkembangan anak secara umum untuk tiap-tiap program
pengembangan. Untuk laporan secara lisan dapat dilaksanakan dengan bertatap
muka dan mengadakan hubungan atau informasi timbal balik antara pihak AUD dan
orang tua/wali dari si anak..
Sejak jaman dahulu, anak-anak – manusia dan
binatang senantiasa bermain. Pada dinding-dinding kuil dan kuburan orang-orang
Mesir kuno ditemukan relief-relief yang menggambarkan anak-anak sedang bermain.
Menurut sebagian para ahli, bola yang terbuat dari kain atau kulit-kulit
binatang merupakan salah satu alat bermain yang tertua. Demikian juga “gasing”,
yang disebut oleh filosof Plato dalam bukunya Republic , dan dijadikan sebagai
simbol kehidupan oleh salah seorang penyair Romawi. “Hidup kita ini, “ katanya,
“bagaikan gasing. Ia ditarik dengan tali namun tetap berputar dan menari”.
Bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang
serius, namun mengasyikan. Melalui aktivitas bermain, berbagai pekerjaannya
terwujud. Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena
menyenangkan, bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa anak adalah pembangun teori yang aktif (theory
builder). Bermain adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk
pertumbuhannya. Bermain adalah medium, di mana anak mencobakan diri, bukan saja
dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif. Bila anak bermain secara
bebas, sesuai kemauan maupun sesuai kecepatannya sendiri, maka ia melatih
kemampuannya untuk belajar. (Agustin, 2005).
Para ahli memiliki keragaman pandangan tentang
bentuk-bentuk pembelajaran anak usia dini. Pandangan dengan berbagai latar
belakang filosofisnya tersebut banyak disebut dengan sitilah model
pembelajaran. Apakah model ? Model secara sederhana adalah ”gambaran” yang
dirancang untuk mewakili kenyataan. Model didefinisikan sebagai “a replica of
the fhenomena it attempts to explain” (Runyon, dalam Rakhmat, 1988:59). Jadi
dalam kegiatan pembelajaran model dapat dimaknai sebagai suatu pola atau
gambaran yang menjelaskan tentang berbagai bentuk, pandangan yang terkait
dengan kegiatan pembelajaran.
Adapun model-model pembelajaran anak usia dini
dapat didefinisikan sebagai serangkaian pola, bentuk, kegiatan ataupun cara
pandang kelompok tertentu terhadap kegiatan belajar anak usia dini.
A. Kesimpulan
Anak usia dini merupakan anak yang memiliki
karakteristik suka bergerak (tidak suka diam), mempunyai rasa ingin tahu
(curiosity) yang tinggi, senang bereksperimen dan menguji, mampu
mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi, dan senang berbicara.
Anak memerlukan dan menuntut untuk bergerak yang melibatkan AUD
mengkoordinasikan otot kasar. Anak juga memerlukan kesempatan untuk menggunakan
tenaga sepenuhnya saat melakukan kegiatan. Oleh karena itu diperlukan ruang
yang luas serta sarana dan prasarana (peralatan) yang memadai. Setiap guru akan
menggunakan metode sesuai dengan gaya melaksanakan kegiatan.
Menurut Kohlberg perkembangan
moral anak usia prasekolah (PAUD) berada pada tingkatan yang paling dasar yang
dinamakan dengan penalaran moral prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum
menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral (secara kokoh). Namun sebagian anak
usia PAUD ada yang sudah memiliki kepekaan atau sensitivitas yang tinggi dalam
merespon lingkungannya (positif dan negatif). Misalkan ketika guru/orang tua
mentradisikan atau membiasakan anak-anaknya untuk berperilaku sopan seperti
mencium tangan orang tua ketika berjabat tangan, mengucapkan salam ketika akan
berangkat dan pulang sekolah, dan contoh-contoh positif lainnya maka dengan
sendirinya perilaku seperti itu akan terinternalisasi dalam diri anak sehingga
menjadi suatu kebiasaan mereka sehari-hari. Demikian pula sebaliknya kalau
kebiasaan negatif itu dibiasakan kepada anak maka perilaku negatif itu akan
terinternalisasi pula dalam dirinya.
Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini sangatlah
bervariasi, diantaranya bercerita, bernyanyi, bermain, bersajak dan karya
wisata.
B. Saran
Dalam mendesain pendekatan pembelajaran nilai-nilai moral dan
agama bagi anak usia dini,terlebih dahulu seorang guru harus melihat
kesesuaian pendekatan dengan tingkat perkembangan kebutuhan anak, agar
pendekatan yang digunakan dapat digunakan dengan maksimal bdan dapat
mengembangkan berbagai aspek perkembangan pada diri anak, terutama aspek
perkembangan nilai moral dan agama AUD.
Guru hendaknya juga mempertimbangkan suatu pendekatan apakah sudah merngacu
pada kurikulum yang sesuai untuk anak usia dini dan berorientasi pada anak.
Sebelum mendesain syuatu kegiatan pembelajaran, guru hendaknya terlebih dahulu
mengetahui langkah-langkah kegiatan yang akan diajarkan pada anak. Kegiatan
yang dilakukan hendaknya mengacu pada tujuan dan hasil belajar yang nyata
sehingga memperlihatkan bahwa kegiatan tersebut bermanfaat bagi anak.
Dalam penilaian hendaknya guru menggunakan berbagai instrument penilaian
sehingga aspek yang dinilai dari anak lebih terlihat jelas atau sesuai dengan
yang diinginkan
DAFTAR PUSTAKA
Lilis Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dsar Anak Usia Dini. Jakarta: Universitas Terbuka.