BAB I
PENDAHULUAN
Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam, yang maksudnya bermula ialah
hendak zuhud dari pada dunia yang fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur
gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian
agama dari bangsa lain itu ke dalamnya. Karena Tasawuf bukanlah agama,
melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya
pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya
pengajaran agama lain dan terikuti dengan tidak diingat.
Menurut Ibnu Khaldun, tasawuf adalah semcam ilmu syar’iyah yang timbul
kemudian di dalam agama. Asalnya ialah
bertekun beribadat dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya
menghadap Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci
perkara-perkara yang selalu memperdaya orang-orang banyak, kelezatan harta
benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan
‘ibadat’.
Demikianlah kalau kita dengarkan penjelasan Ibnu Khaldun, yang meneropong
suatu perkara dari segi ilmu pengetahuan. Tetapi ahli-ahli tasawuf yang
terbesar mempunyai pula qa’idah sendiri-sendiri tentang arti tasawuf itu. Ada
yang berkata: “Tasawuf ialah putus hubungan dengan makhluk dan kuatnya hubungan
dengan Sang Khalik.”
Junaid menyatakan bahwa Tasawuf ialah keluar dari budi, perangai yang
tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji. Yang paling hebat ialah
menurut yang diartikan Al Hallaj. Seketika dia telah disalibkan dan menunggu
ajal, sebab dia berkepercayaan bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan, maka datang
seorang bertanya kepadanya, “Di waktu sekarang patut engkau tinggal kata keapda
kami, apakah arti yang sejati dari pada tasawuf itu?”
Darah telah titik dari tubuh dan dari dalam matanya, punggungnya telah
hangus kena panas, hanya menunggu tubuhnya akan dipotong-potong. Waktu itu dia
berkata, kata yang terakhir, “Tasauf adalah yang engkau lihat dengan matamu
ini. Inilah dia tasawuf.”
Tatkala kerajaan Islam bertambah besar dan pemeluk agama Islam bertambah
tersiar keluar tanah Arab, bertemulah dia dengan bangsa-bangsa dan agama-agama
serta pikiran-pikiran baru. Masuklah paham filsafat ke dalam dunia Islam dan
suburlah ahli pikir Mu’tazilah dan mulailah timbul kaum tasauf itu.
Ketika itu kemajuan telah menyebabkan bingung, kekayaan bertimbun masuk
ke dalam dunia Islam, kehidupan sangat megah, sehingga mahar Al Ma’mun kepada
Bauran anak wazirnya saja lebih semiliun dinar. Di samping itu dalam majlis
istana terjadi bantahan ahli-ahli fakir tentang Ketuhanan apakah Tuhan itu mentakdirkan
juga akan kejahatan manusia. Tentang manusia sendiri, apakah ia masih tetap
Islam kalau sekiranya dia mengerjakan dosa besar. Tentang Al-Qu'an, adakah dia
Hadits atau Qadim, dan lain-lain sebagainya. Sehingga kadang-kadang dapat
menimbulkan sengketa, dan perbantahan menyebabkan lalai mengerjakan ibadat.
Tentu saja, timbul golongan yang merasa jemu melihat itu lalu menyisihkan
dirinya. Maka ini menjauhkan diri dari orang dunia, dari orang yang katanya
pintar tetapi telah terlampau pintar, atau orang yang dilalaikan hartanya.
Orang yang menyisih inilai asal-usul kaum Shufi itu, yang mulanya
bermaksud baik, tetapi telah banyak tambahnya. Maksud mereka hendak memerangi
hawa nafsu, dunia dan setan, tetapi kadang-kadang mereka tempuh jalan yang
tidak digariskan oleh agama. Terkadang mereka haramkan keapda diri sendiri
barang yang dihalalkan Tuhan, bahkan ada yang tidak mau lagi mencari rezeki,
menyumpahi harta, membelakangi huru-hara dunia, membenci kerajaan. Kemudian
ketika bala tentara Mongol masuk ke negeri Islam, tidaklah ada lagi senjata
yang tajam buat menangkis, sebab orang telah terbagi dan terpecah. Sebagian
menjadi budak harta, yang lebih saying kepada hartanya dari agamanya. Sebagian
lagi menjadi budak Fiqhi, bertengkar dengan bersitegang urat leher,
mempertanyakan apakah batal wudhu kalau sekiranya darah lekat pada baju. Dan
ada pula orang di dalam khalwatnya, dengan pakaian Shufnya, tidak peduli
apa-apa, tidak menangkis serangan, karena merasa “lezat” di dalam kesunyian
tasawuf itu.
Tasawuf yang demikian
tidaklah berasal dari ajaran Islam. Zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan
Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang. Semangat berkorban, bekerja,
bukan semangat malas, lemah dan melempem.
Agama Islam adalah agama
yang menyeru umatnya mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab buat mencapai
kemuliaan, ketinggian dan keagungan dalam perjuangan hidup bangsa-bangsa.
Bahkan agama Islam menyerukan menjadi yang dipertuan di dalam alam dengan dasar
keadilan, memungut kebaikan dimanapun juga bersuanya, dan membolehkan mengambil
peluang mencari kesenangan yang diizinkan.
K.H. Mas Mansur
menyatakan bahwa 80% ajaran Islam menekankan pada hal yang berhubungan dengan
keakheratan dan 20 % pada keduniaan. Tetapi kita telah lupa dan mementingkan
yang 20% itu sehingga kita menjadi hina.
Menurut Said Rasyid
Ridha, perkataan itu jauh dari pada kebenaran. Sebab meminta tambahan harta
yang halal itu tidaklah haram, tidaklah siksa. Kalau sekiranya meminta tambahan
yang halal itu haram, dan siksa pula mengapa dia dihalalkan? Dan bukan pula dia
makruh. Jatuh hukum haramnya ialah jika harta yang halal menjadi tangga untuk
mencapai yang haram, dan dimakruhkan jika menyebabkan perbuatan tercela.
Sahabat-sahabat yang besar, demikian juga Ulama-ulama Tabi’in dan beberapa orang
yang saleh-saleh ialah orang kaya-kaya yang mempunyai harta benda lebih dari
pada yang perlu. Sehingga menjadi pertikaian faham di antara Ulama-ulama,
manakah yang utama di sisi Allah SWT, seorang kaya syukur dengan seorang fakir
yang sabar.
Adapun berlebih-lebihan
memasukkan rasa kebencian terhadap harta kekayaan dunia itu ke dalam hati
sabunari, adalah salah satu sebab kelemahan kaum Muslimin dan salah satu sebab
mereka dapat dikalahkan oleh musuhnya. Kesenangan yang menyebabkan sombong atau
lalai dari melakukan kewajiban atau menyebabkan suka kepada haram.
BAB II
HASAN AL-BASHRI
A.
RIWAYAT HIDUP
Hasan
Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang
zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada
tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H
(728M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang
sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 600 sahabat lainnya.
Dialah yang mula-mula
menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian
akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Mesjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang
kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi, sahabat Nabi yang masih
hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Suatu ketika seseorang datang
kepada Anas bin Malik sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama.
Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain
dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata : “Bergurulah kepada Syekh ini.
Saya sudah saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang Tabi’in pun
yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.”
Karir pendidikan Hasan
Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh Ulama di sana.
Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur
dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana.
B.
PEMIKIRAN TASAWUF
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri
sebagai berikut : “Takut (Khauf) dan pengharapan (Rafa’) tidak akan dirundung
kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu ingat Allah.”
Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh
perintah Allah dan menjadi seluruh larangan-Nya. Sya’ram pernah berkata :
“Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya
dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri).”
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran Tasawuf Hasan
Al-Bashri seperti :
a.
“Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik daripada rasa tentram yang
menimbulkan perasaan takut”
b. “Dunia
adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci
dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang
siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia,
ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat
ditanggungnya.”
c.
“Dunia ini adalah seorang janda yang telah tua renta
bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya.”
d.
“Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang
senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya.”
e.
“Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal
saleh.”
C. KONTEKS SOSIAL
Tabiat manusia senantiasa suka
kepada kelebihan yang ada pada dirinya sendiri, kelebihan badan kasar, keenakan
tubuh, dan tabiatnya berusaha menolak segala bahaya yang akan menimpa dirinya.
Pada dirinya ada “kekuatan”. Dengan kekuatan itulah segala yang dicita-citakan
akan dicapainya dan segala yang dibenci dijauhinya. Dengan cara demikian
tercapailah kemajuan perikehidupan, bertemulah dalam riwayat bangsa manusia
tampil ke muka dan tidak pernah mundur ke belakang.
Meskipun bagaimana, kemajuan tidak bisa ditahan. Tetapi pemuka-pemuka agama
mencoba menahan kemajuan itu, mencoba menghambat air yang hendak mengalir ke
lautan. Mereka tidak memegang ubun-ubun bangsa dan mesti ikut segala aturan
yang mereka buat menurut kehendak mereka. Mereka takut kalau manusia beroleh
kebebasan akan terlepas dari cengkeramannya. Sebab itulah mereka perbuat
bermacam aturan-aturan dan undang-undang, mengatakan bahwa orang yang mencari
kebahagiaan dalam dunia akan sesat, orang yang tertipu oleh ahwa nafsu. Mereka
perbuat pelajaran-pelajaran zuhud, membenci dunia, memutuskan pertalian dengan
dunia, padahal masih hidup dalam dunia, tidak peduli akan keadaan sekelilignya
atau di dalam alam sekalian. Sehingga kelihatan tiap-tiap orang yang telah
berpegang dengan agama menjadi orang bodoh, dungu, tidak teratur pakaian dan
kediamannya, tersisih dalam pergaulan. Padahal bukan begitu hakikat pelajaran
agama yang hanya bikinan sempit paham kepala-kepala agama saja.
Banyak
bangsa-bangsa yang dapat pelajaran agama yang demikian, jatuhlah derajat mereka
sampai ke kuruk tanah, lemah dan tertindas di medan perjuangan, tidak maju
kemuka, tetapi surut ke belakang. Sehingga timbul persangkaan bahwa segala
ibadat itu adalah menjauhi kesenangan badan kasar. Lantaran itu kalahlah
pikiran dan akal, menanglah ragu-ragu dan syakwasangka, berlawanan hukum agama
dengan hukum kehidupan. Kepala-kepala agama memegang teguh pendirian ini tidak
mau berkisar. Tidak mau melepaskan kuduk manusia dari pengaruh dan
cengekramannya. Sebab itu terjadilah perang diantara kemajuan dengan agama,
agama mengatakan kemajuan itu kafir, kemajuan mengatakan agama itu kebodohan.
Perang yang tidak henti-hentinya, hebat selama-lamanya, payah didamaikan.
Dengan
agama, iman, Islam dan i’tikad yang putus, sudah dapat tercapai bahagia batin
dan hubungan yang baik dengan Allah SWT. Tetapi kesempurnaan ibadat bergantung
pula kepada kesempurnaan budi dan otak. Keutamaan otak ialah dapat membedakan
antara jalan bahagia dengan yang hina. Yakin akan kebenaran barang yang benar
dan berpegang kepadanya yang tahu akan kesalahan barang yang salah dan
menjauhinya, semuanya didapat dengan otak yang cerdas, bukan karena
ikut-ikutan, bukan karena taklid kepada pendapat orang lain saja.
Adapun
keutamaan budi adalah menghilangkan segala perangai yang buruk-buruk, adat
istiadat yang rendah, yang oleh agama telah dinyatakan mana yang mesti dibuang
dan mana yang mesti dipakai. Serta biasakan perangai-perangai yang terpuji,
yang mulia, berbekas di dalam pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang
adat mulia itu.
BAB III
PENUTUP
Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis
telah dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini merupakan
salah satu tugas dari Mata Kuliah Akhlak Tasawuf dengan Dosen Bpk. Syahri
Ahyar Tanjung, S.Fil.I.
Makalah ini membahas mengenai
Tasawuf serta salah satu tokohnya yaitu Hasan Al-Bashri. Salah satu ajaran
tasawuf beliau sebagaimana ditulis oleh
Hamka adalah “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia
dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah
darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya
tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan
yang tidak dapat ditanggungnya.”
Akhirnya penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendorong dan
memberi motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada
Bapak Syahri Ahyar Tanjung, S.Fil.I selaku dosen Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
yang telah banyak memberikan pengetahuan mengenai akhlak tasawuf.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka, (1981). Tasawuf Modern. Yayasan Nurul Islam.
Jakarta
Nasution,
Harun. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Mu’tazilah. Jakarta: Universitas Indonesia Press
www.wikipedia/tasawuf