Kegiatan bercerita memberikan nilai pembelajaran
yang banyak bagi proses belajar dan perkembangan anak serta dapat menumbuhkan
minat dan kegemaran membaca, Jensen (Solehuddin, 2000: 91) “membacakan cerita
dengan nyaring kepada anak secara substansial dapat berkontribusi terhadap
pengetahuan cerita anak dan kesadarannya tentang membaca”. Solehuddin (2000:
90):
Di samping dapat menciptakan suasana menyenangkan,
bercerita dapat mengundang dan merangsang proses kognisi, khususnya aktivitas
berimajinasi, dapat mengembangkan kesiapan dasar bagi perkembangan bahasa dan
literacy, dapat menjadi sarana untuk belajar, serta dapat berfungsi untuk
membangun hubungan yang akrab.
Cerita bagi anak-anak harus sesuai dengan tahap
perkembangan anak. Tampubolon (Dhieni, 2005: 6.9) “ isi cerita hendaknya sesuai
dengan tingkatan pikiran dan pengalaman anak”. Bercerita sesuai dengan
perkembangan anak dalam konsep Development Appropriate Practice (DAP)
dari The National Association for The Education of Young Children (NAEYC),
yaitu bercerita sesuai dengan pedoman pendidikan anak (Musfiroh, et al, 2005: 3),
cerita yang dimaksud mengandung beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh
para pendidik, yakni:
a.
Memahami pengertian dan permasalahan
seputar cerita dan bercerita.
Pada konsep ini,
pendidik perlu memastikan apa pengertian bercerita, apa perbedaannya mendongeng,
serta bagaimana konsep penyajian bercerita yang mendukung perkembangan anak
dalam berbagai aspeknya.
b.
Memahami asumsi dasar anggapan
perkembangan anak.
Pendidik perlu
menyadari bahwa anak berkembang menurut fase-fase tertentu. Anak usia 4-7 tahun
berada pada fase praoprasional dengan ciri perkembangan yang berbeda dengan
anak-anak di atas usia itu.
c.
Memahami arti dan tugas perkembangan
anak.
Pada masa TK,
anak-anak perlu diperkenalkan konsep baik buruk melalui contoh agar membantu
mereka mencapai tugas perkembangan moral usia tersebut.
d.
Memahami domain dan teori perkembangan
yang dianut.
Peserta didik
perlu mengetahui mengenai teori perkembangan dan meyakininya agar dalam praktik
bercerita (khususnya) dan pembelajaran (umumnya) tidak buta arah. Setiap teori
perkembangan memiliki karakteristik yang membedakannya dengan teori yang lain.
e.
Memahami konsep belajar dan mengajar.
Pencerita perlu memahamia
peserta didik belajar bukan melalui ceramah, tetapi melalui keaktifan dan
interaksi aktif peserta didik dengan materi belajar. Melalui cerita, peserta
didik melibatkan diri secara aktif, senang hati dan bermotivasi intrinsik untuk
membangun konsep “baik-buruk”, “benar-salah”, “tepat-tidak” yang tersaji dalam
cerita.
f.
Memahami konsep “sesuai perkembangan”
dalam pedoman praktik pembelajaran atau Development Appropriate Practic (DAP).
Pendidik perlu
menyadari bahwa cerita seyogyanya disesuaikan dengan taraf perkembangan peserta
didik, meliputi abilitas peserta didik dalam berbahasa, berpikir, bersosial-emosi,
motorik dan moral, tanpa pemahaman ini cerita akan menjadi terlalu sulit
(sehingga tidak dimengerti peserta didik) atau terlalu mudah (membosankan bagi
peserta didik).