BAB I
TASHAWUF AKHLAKI
A. AL-QUSYAIRI
1. Riwayat Hidup AL-Qusyairi
Nama
lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin lahir tahun 376 di Istiwa,
kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya.
Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq. Seorang sufi terkenal.
Al-Qusyairi selalu menghadiri majelis gurunya dan dari gurunyalah Al-Qusyairi
menenpuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan untuk mengawasinya dengan
mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu mempelajari fiqih pada
seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi (wafat tahun 405 H),
dan mempelajari ilmu kalam serta Ushul Fiqh pada Abu Bakr bin Farauk (wafat
tahun 406). Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayini (wafat tahun
418) dan menelaah karya-karya Al-Baqillani. Dari situlah Al-Qusyairi berhasil
menguasai doktrin Ahlussunah waljama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan
muridnya.
Al-Qusyairi
adalah pembela paling tangguh dari aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran
Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia
mendapat serangan keras dan dipenjarakan sebulan lebih atas perintah Tughrul
Bek yang terhasut seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafidhah.
Bencana yang menimpa dirinya itu yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam
karyanya, Sykayah Ahl As-Sunnah. Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.
2. Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Qusyairi
Seandainya
karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan tampak
jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan
doktrin Ahlus sunnah, secara implisif dalam ungkapan Al-Qusyairi terkandung
penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengungkapkan penuh kesan
terjadinya perpaduan antara sifat-sifat Ketuhanan, khususnya sifat
terdahulu-Nya, dan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya.
Selain
itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya yang gemar
mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka bertentangan
dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah, lebih penting dibandingkan dengan pakaian
lahiriyah.
B. AL-GHAZALI
1. Biografi singkat Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali karena
dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M,
tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Ayah
Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin yang taat, menyenangi ulama,
dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayah
menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada orang sufi. Selang
beberapa tahun kemudian, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin
Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian memasuki Sekolah Tinggi Nizhamiyah di Naisabur,
dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat tahun 478 H /
1086 M), hingga ia menguasai ilmu Mantiq, Ilmu Kalam, Fiqh, Ushul Fiqh,
Filsafat, Tasawuf, dan Retorika perdebatan.
Selama
di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga
mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf Al-Nasaj
kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf sekalipun hal itu belum
mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya. Al-Juwaini menjuluki
Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (Lautan yang menghanyutkan). Setelah
Imam Haramain wafat (478 H / 1086), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota
tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H/1091 M). Kota ini
merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan
antara ulama-ulama terkenal.
Sejak
saat itu, Nama Al-Ghazali menjadi termasyur di kawasan Kerajaan Saljuk. Kemasyuran itu menyebabkan dipilihnya
oleh Nizam Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah,
Baghdad, pada tahun 483 H / 1090 M, meskipun usianya baru 30 tahun.
Karena menimbulkan pergolakan dalam ini
Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan batin. Ia pun memutuskan
pergi menuju Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekah untuk
mencari kepuasan. Maka, setelah memperoleh kebenaran, ia mengembuskan nafas terakhir
di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau pada hari Senin 14 Jumadil
Akhir tahun 505 Hijriah dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
2. Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali, jalan untuk
menuju tasawufnya dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa,
serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari
segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa
sosok sufi menempuh jalan kepada Allah. Perjalanan hidup mereka adalah yang
terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang
paling bersih. Sebab, gerak, dan diam mereka, baik lahir maupun bathin, diambil
dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya
yang lebih mampu memberi penerangan.
Al-Ghazali
sangat menolak paham hulul dan ijtihad. Untuk itu, ia menyodorkan
paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (Taqarrub ila
Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan
ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ringkasnya Al-Ghazali patut
disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah SWT. Ma’rifat menuju versi
Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh
fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan
(ahwal).
a.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui
rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.
Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb dan roh. Harun
Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi
bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya
Tuhan, Qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan Sir, Qalb
dan roh yang telah suci dan kosong. Pada saat itulah, ketiganya menerima
iluminasi (Kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi
sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Disinilah sampailah ia ke
tingkat ma’rifat.
Ringkasnya, Ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti
Ma’rifat menurut orang awam, maupun ma’rifat ulama/mutakallimin, tetapi
ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf Illahi.
Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya tanpa melalui
perantara atau langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh
langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara Nabi
dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali
mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari
Allah.
b.
Pandangan Al-Ghazali tentang As-Sa’adah
Di dalam Kitab Kimlya ‘As-Sa’adah, ia menjelaskan
bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabi’at), sedangkan
watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak ketika
melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika
mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh mempunyai
kenikmatan tersendiri. Kenikmatan Qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat
terletak ketika melihat Allah. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi
kenikmatan yang lainnya.
BAB II
TASAWUF IRFANI
A. ABU YAZID AL-BUSTAMI
1. Riwayat hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di
daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya
bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi
pemeluk Islam di Bustam.
Suatu
kali gurunya menerangkan suatu ayat dari Surat Luqman yang berbunyi “Berterima
kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan
hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya.
Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan
Allah.
Sebelum
membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu telah menjadi
seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia
mengajarkan ilmu Tauhid, ilmu hakikat dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Dalam
menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun
pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yang sedikit sekali.
2. Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran
tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa. Dari segi bahasa, fana berasal dari
kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana
adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
Pencapaian
Abu Yazid ke tahap fana dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain
kepada Allah. Jalan menuju fana menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya
menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai pada-Mu?” Tuhan
menajwab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.’ Abu Yazid sendiri
sebenarnya pernah melontarkan kata fana pada salah satu ucapannya:
“Aku
tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana, kemudian aku tahu pada-Nya
melalui diri-Nya maka aku pun hidup.”
Adapun
baqa’ berasal dari kata baqiyu. Arti dari segi bahasa adalah
tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat
terpuji kepada Allah. Dengan fana-nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi
ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syathahat
yang diucapkannya.
B. ABU MANSHUR AL-HALLAJ
1. Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama
lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad
Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun
244H/855 M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Pada usia 16 tahun,
ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin Abdullah
At-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru pada
‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun 878 M, ia memasuki kota
Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid.
Dalam
semua perjalanan dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam, seperti
Khurasan, Ahwaz, India, Turkistan dan Mekah. Al-Hallaj telah banyak memperoleh
pengikut. Ia kemudin kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M. Di kota ini
pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap
kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan ia
bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr Al-Qusyairi, yang
mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintahan yang bersih.
Gagasan
“pemerintahan yang bersih” dari Nasr Al-Qusyairi dan Al-Hallaj ini jelas
berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata
dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama, aliran-aliran keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan
subur. Hal ini membuat pemerintah sangat khawatir terhadap kecaman-kecamannya
yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam struktur politk. Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj “Ana
Al-Haqq” yang tidak dapat dimaafkan
para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan alasan untuk
menangkapnya dan memenjarakannya.
Setahun kemudian ia dapat meloloskan diri dari
penjara berkat pertolongan sipir penjara, tetapi empat tahun kemudian ia
tertangkap lagi di kota Sus. Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj
dihukum gantung. Sebelum digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh
kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Dan akhirnya Al-Hallaj wafat pada tahun
922 M.
2. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang
paling terkenal adalah Al-hulul dan wahdat Asy-syuhud yang
kemudian melahirkan paham wahdat Al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembangkan Ibn’ Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan
(hulul). Kata Al-hulul
berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun
menurut istilah ilmu tasawuf, Al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Tampaknya
Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat
ketuhanan-Nya sendiri (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut
Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut
tidak dapat bersatu dengan manusia kecuali dengan cara menempati tubuh setelah
sifat-sifat kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa.
Menurut
Al-Hallaj, pada hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia adalah
kehendak Illahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian
juga tindakannya. Namun di lain waktu Al-Hallaj mengatakan : “Barangsiapa
mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun
kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya
dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan
mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa hulul yang terjadi pada Al-Hallaj
tidaklah nyata karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara
hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya sekedar
kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut
ungkapnya sekedar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat
dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.
BAB III
PENUTUP
Dengan mengucapkan
Alhamdulillahirobbil’alamin, makalah ini telah diselesaikan sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan. Makalah ini merupakan salah satu tugas Mata Kuliah
Akhlak Tasawuf dengan Dosen Bpk. Syahri Ahyar Tanjung, S.Fil.I.
Makalah ini terdiri dari dua pokok
bahasan mengenai Tasawuf yaitu tasawuf Irfani dan tasawuf Akhlaki beserta
tokoh-tokoh yang menganut paham tasawuf tersebut. Tokoh-tokoh yang menganut
paham tasawuf Irfani diantaranya Abu
Yazid Al-Bustami sedangkan tokoh yang menganut paham tasawuf Akhlaki
diantaranya Al-Ghazali.
Akhirnya penulis menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendorong dan
memberi motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, (1981). Tasawuf Modern. Yayasan Nurul Islam.
Jakarta
www.wikipedia/tasawuf