BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dinasti
Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syiah dalam sejarah Islam. Dinasti ini
didirikan di Tunisia pada tahun 909 M. sebagai tandingan bagi penguasa dunia
muslim saat itu yang terpusat di Baghdad, yaitu bani Abbasiyah. Dinasti
Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husain, kemungkinan keturunan pendiri kedua
sekte Islamiyah. Berakhirnya kekuasaan Daulah Abbasiyah di awal abad kesembilan
ditandai dengan munculnya disintegrasi wilayah. Di berbagai daerah yang selama
ini dikuasai, menyatakan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah di Baghdad
dan membentuk daulah-daulah kecil yang berdiri sendiri (otonom). Di bagian
timur Baghdad, muncul dinasti Tahiriyah, Saariyah, Samaniyah, Gasaniyah,
Buwaihiyah, dan Bani Saljuk. Sementara ini di bagian barat, muncul dinasti
Idrisiyah, Aglabiyah, Tuluniyah, Fatimiyah, Ikhsidiyah, dan Hamdaniyah. Dinasti Fathimiyah
adalah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki
andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Sama halnya pengutusan
Muhammad SAW sebagai Rasulullah telah menoreh sejarah Islam, yang pada awalnya
hanya merupakan bangsa jahiliyah yang tidak mengenal kasih sayang dan saling
menghormati. Dari paparan di
atas penulis tertarik untuk membahas lebih dalam lagi tentang Dinasti
Fathimiyah ini dalam bab selanjutnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah berdirinya Dinasti Fathimiyah?
2. Bagaimana
perkembangan dan kemajuan Dinasti Fathimiyah?
3. Bagaimana
puncak kejayaan Dinasti Fathimiyah?
4. Apa
saja faktor penyebab kemunduran dan runtuhnya Dinasti Fatmiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
berdirinya Dinasti Fathimiyah.
Dinasti
Fathimiyah berdiri pada tahun 297 H/910 M, dan berakhir pada 567H/1171 M yang
pada awalnya hanya merupakan sebuah gerakan keagamaan yang berkedudukan di
Afrika Utara, dan kemudian berpindah ke Mesir. Dinasti ini dinisbatkan kepada
Fatimah Zahra putri Nabi Muhammad SAW dan sekaligus istri Ali bin Abi Thalib
Radhiallahu anhu. Dan juga dinasti ini mengklaim dirinya sebagai keturunan
garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah Zahra binti
Rasulullah SAW. Namun masalah nasab keturunan Fathimiyah ini masih dan terus
menjadi perdebatan antara para sejarawan. Dari dulu hingga sekarang belum ada
kata kesepakatan diantara para sejarawan mengenai nasab keturunan ini, hal ini
disebabkan beberapa faktor diantaranya:
1. Pergolakan
politik dan madzhab yang sangat kuat sejak wafatnya Rasulullah SAW.
2. Ketidakberanian
dan keengganan keturunan Fatimiyah ini untuk mengiklankan nasab mereka, karena
takut kepada penguasa, ditambah lagi penyembunyian nama-nama para pemimpin
mereka sejak Muhammad bin Ismail hingga Ubaidillah al Mahdi. Dinasti Fatimiyah beraliran syiah
Ismailiyah dan didirikan oleh Sa’id bin Husain al Salamiyah yang bergelar
Ubaidillah al Mahdi. Ubaidillah al Mahdi berpindah dari Suria ke Afrika Utara
karena propaganda Syiah di daerah ini mendapat sambutan baik, terutama dari
suku Barber Ketama. Dengan dukungan suku ini, Ubaidillah al Mahdi menumbangkan
gurbernur Aglabiyah di Afrika, Rustamiyah Kharaji di Tahart, dan Idrisiyah Fez
dijadikan sebagai bawahan. Pada awalnya, Syiah Ismailiyah
tidak menampakkan gerakannya secara jelas, baru pada masa Abdullah bin Maimun
yang mentransformasikan ini sebagai sebuah gerakan politik keagamaan, dengan
tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyah. Secara rahasia ia mengirimkan misionaris
ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah.
Kegiatan inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang berdirinya dinasti
Fatimiyah. Pasca kematian
Abdullah ibn Maimun, tampuk pimpinan dijabat oleh Abu Abdullah al-Husain,
melalui propagandanya ia mampu menarik simpati suku Khitamah dari kalangan
Berber yang bermukim didaerah Kagbyle untuk menjadi pengikut setia. Dengan
kekuatan ini, mereka menyeberang ke Afrika Utara dan berhasil mengalahkan
pasukan Ziyadat Allah selaku Penguasa Afrika Utara saat itu. Syi’ah Islamiyah
mulai menampakkan kekuatannya setelah tampuk Pemerintahan dijabat oleh Sa’id
ibn Husain al-Islamiyah yang menggantikan Abu Abdullah al-Husain. Di bawah kepemimpinannya,
Syi’ah Islamiyah berhasil menaklukkan Tunisia sebagai pusat kekusaan daulah
Aglabiyah pada tahun 909 M. Said memproklamasikan dirinya sebagai imam dengan
gelar Ubaidillaj al Mahdi. Sa’id mengaku
dirinya sebagai putera Muhammad al-Habib seorang cucu imam Islamiyah. Namun
kalangan Sunni berpendapat bahwa Sa’id berasal dari keturunan Yahudi sehingga
dinasti yang didirikannya pada awalnya disebut dinasti Ubaidillah. Sementara
Ibn Khaldun, Ibn al-Asir dan Philip K. Hitti berpendapat bahwa Sa’id memang
berasal dari garis keturunan Fatimah puteri Nabi Muhammad SAW, yang bersambung
garis keturunannya hingga Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah
merupakan khalifah pertama daulah Fatimiyah. Ia memerintah selama lebih kurang
25 tahun (904-934 M). Dalam masa pemerintahannya, al-Mahdi melakukan perluasan
wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika, meliputi Maroko, Mesir, Multa, Alexandria,
Sardania, Corsica, dan balerick. Pada 904 M, Kahalifah al-Mahdi mendirikan kota
baru dipantai Tunisia yang diberi nama kota Mahdiyah yang didirikan sebagai
ibukota pemerintahan. Di Afrika Utara
kekuasaan mereka segera menjadi besar. Pada tahun 909 mereka dapat menguasai
dinasti Rustamiyah dan Tahert serta menyerang bani Idris di Maroko. Pekerjaan
daulah Fatimiyah yang pertama adalah mengambil kepercayaan ummat Islam bahwa
mereka adalah keturunan Fatimah binti Rasulullah dan istri dari Ali bin Abu
Muthalib. Daulah Fatimiyah
memasuki era kejayaan pada masa pemerintahan Abu Tamin Ma’Abu Daud yang
bergelar al-Mu’iz (953-997). Al-Mu’iz behasil menaklukkan Mesir dan memindahkan
pemerintahan ke Mesir. Pada masa ini rakyat merasakan kehidupan yang makmur dan
sejahtera dengan kebijakan-kebijakan untuk mensejahterakan rakyatnya.
Indikatornya adalah banyaknya bangunan fisik seperti Mesjid, Rumah sakit,
Penginapan, jalan utama yang dilengkapi lampu dan pusat perbelanjaan. Pada masa
ini pula berkembang berbagai jenis perusahaan dan kerajinan seperti tenunan,
kermik, perhiasan emas, dan perak, peralatan kaca, ramuan, obat-obatan. Kesuksesan
lainnya adalah dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan. Besarnya minat
masyarakat kepada ilmu pengetahuan mendapat dukungan penguasa dengan membangun
Dar al-Hikmah pada tahun 1005 M dan perguruan tinggi al-Azhar (yang sebelumnya
adalah bangunan masjid), yang mengajarkan ilmu kedokteran, Fiqh, Tauhid,
Al-Bayan, Bahasa Arab, Mantiq, dan sebagainya.
B. Perkembangan
dan kemajuan Dinasti Fatimiyah.
Pada masa
pemerintahan Fatimiyah, persoalan agama dan negara tidak dapat dipisahkan. Agama
dipandang sebagai pilar utama dalam menegakkan daulah/negara. Untuk itu,
pemerintah Fatimiyah sangat memperhatikan masalah keberagamaan masyarakat
meskipun mereka berstatus sebagai warga negara kelas dua seperti orang Yahudi,
Nasrani, Turki, Sudan. Menurut Ali, mayoritas khalifah
Fatimiyah bersikap moderat, bahkan penuh perhatian terhadap urusan agama non
muslim sehingga orang-orang Kristen Kopti Armenia tidak pernah merasakan
kemurahan dan keramahan selain dari pemerintahan Muslim. Banyak orang Kristen,
seperti al-Barmaki, yang diangkat jadi pejabat pemerintah dan rumah ibadah
mereka dipugar oleh pemerintah. Akan
tetapi, Kemurahan hati yang ditampilkan Khalifah Fatimiyah terhadap orang
Kristen tidak urung menimbulkan isu negatif. Al-Mu’iz yang dikenal dengan
kewarakan dan ketaqwaannya diisukan telah murtad, mati sebagai orang Kristen
dan dikubur di gereja Abu Siffin di Mesir kuno. Namun, menurut Hasan, isu
tersebut tidak benar sebab tidak ada sejarawan yang menyebutkan seperti itu,
dan hanya cerita karangan (Khurafat) yang sengaja dienduskan oleh orang-orang
yang tidak senang kepadanya termasuk dari sisa-sisa penguasa Abbasiyah yang
sengaja ingin melemahkan kekuatan Fatimiyah.
Sementara itu,
agama yang didakwahkan Fatimiyah adalah ajaran Islam, menurut pemahaman Syi’ah
Islamiyah yang ditetapkan sebagai mazhab negara. Untuk itu, para missionaris
daulah Fatimiyah sangat gencar mengembangkan ajaran tersebut dan berhasil
meraih pengikut yang banyak sehingga masa kekuasaan daulah Fatimiyah dipandang
sebagai era kebangkitan dan kemajuan mazhab Islamiyah. Meskipun para Khalifah berjiwa moderat, akan tetapi
terhadap orang yang tidak mau mengakui ajaran Syi’ah Islamiyah langsung dihukum
bunuh. Pada tahun 391 H khalifah al-Hakim membunuh seorang laki-laki yang tidak
mau mengakui keutamaan/fadhilah Ali bin Abi Thalib, dan di tahun 395 H,
al-Hakim juga memerintahkan agar di mesjid, pasar dan jalan-jalan ditempelkan
tulisan yang mencela para sahabat. Jelasnya peranan
agama sangat diperhatikan sekali oleh penguasa untuk tujuan mempertahankan
kekuasaan. Buktinya, sikap tegas khalifah Fatimiyah terhadap orang yang tidak
mau mengakui mazhab Isma’iliyah dapat berupa apabila sikap seperti dapat
berakibat munculnya instabilitas negara. Al-Hakim misalnya, agar terjalin
hubungan yang baik dengan rakyatnya yang berpaham sunni, al-Hakim mulai
bersikap lunak dengan menetapkan larangan mencela sahabat khususnya khalifah
Abu Bakar dan Umar. Al-Hakim juga membangun sebuah madrasah yang khusus
mengajarkan paham sunni, memberikan bantuan buku-buku bermutu sehingga warga
Syi’ah ketika merasa senang sebab merasakan tengah hidup dikawasan sunni. Sikap
yang diambil para khalifah Fatimiyah tidak sekejam yang dilakukan Abdullah
al-Saffah yang berusaha mengikis habis siapa-siapa pengikut Bani Ummayyah di
awal masa kekuasaannya. Dalam hal ini para khalifah Fatimiyah memberlakukan
masyarakat secara sama selama mereka bersedia mengikuti ajaran Syi’ah
Isma’iliyah yang merupakan madzhab negara. Ketidaksenangan khalifah Fatimiyah
kepada Abbasiyah tidak menunjukkan dalam bentuk kekerasan. Hanya saja, Khalifah
Fatimiyah melarang menyebut-nyebut bani Abbasiyah dalam setiap khutbah jum’at
dan mengharamkan pemakain jubah hitam serta atribut bani Abbasiyah lainnya.
Pakaian yang dipakai untuk khutbah adalah berwarna putih. Meskipun al-Mu’iz
menuntaskan pemberontakan, akan tetapi ia akan selalu menempuh jalan damai
terhadap pera pemimpin dengan Gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada
yang bersedia menunjukkan loyalitasnya. Banyak diantara para Gubernur yang
bersedia mengikuti mazhab Isma’iliyah, padahal mereka sebelumnya adalah
Gubernur yang diangkat khalifah Abbasiyah. Sikap mereka ini juga dilakukan oleh
penganut Yahudi dan Nasrani. Mereka bersedia masuk Islam dan menganut mazhab
Isma’iliyah ketika mereka ditawarkan memegang jabatan tertentu didalam
pemerintahan. Tindakan
tegas dalam bentuk pemberian hukum bunuh baru dilakukan terhadap orang yang
menolak paham Isma’iliyah. Hanya satu peristiwa yang diambil tindakan tegas
terhadap orang yang tidak mau mengikuti faham Isma’iliyah, yaitu ketika raja
muda Zarida di Afrika yang bernama Mu’iz ibn Badis menghina dinasti Fatimiyah
dengan tidak menyebut-nyebut nama khalifah Fatimiyah al-Muntasir pada saat
khutbah jum’at melainkan menyebut-nyebut nama khalifah Abbasiyah. Tidak
diambinya tindakan tegas dikarenakan al-Muntasir lebih tertarik pada
pemberontakan Al-Bassasiri terhadap pemerintahaan Abbasiyah. Momen ini dinilai
al-Muntasir sebgai kesempatan untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Asia
Barat setelah Tughril menegakkan kekuasaan Abbasiyah di wilayah itu. Dalam bidang administrasi pemerintahan tidak
benyak berubah. Sistem administrasi yang dikembangkan khalifah Abbasiyah masih
tyerus saja dipraktekkan. Khalifah menjabat sebagai kepala negara baik dalam
urusan keduniaan maupun dalam urusan spritual. Ia berwenang mengangkat
sekaligus menghentikan jabatan-jabatan di bawahnya. Selain itu sakralisasi
khalifah yang muncul di masa pemerintahan Abbasiyah masih tetap dipertahankan
yang indikatornya dapat dilihat dari gelar yang disandang para khalifah
Fatimiyah seperti al-Mu’iz dinillah, al-Aziz billah, al-Hakim bin Amrullah dan
sebagainya.
Ada tiga hal yang dapat disoroti
mengenai perkembangan dan kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Fatimiyah
berkuasa yakni :
1. Kemajuan
Administrasi Pemerintahan
Pengelolaan
negara yang dilakukan Dinasti Fatimiyah ialah dengan mengangkat para menteri.
Dinasti Fatimiyah membagi kementrian menjadi dua kelompok. Pertama kelompok
militer yang terdiri dari tiga jabatan pokok yaitu pejabat militer dan pengawal
khalifah, petugas keamanan, resimen-resimen. Yang kedua adalah kelompk sipil
yang terdiri atas Qadhi (Hakim dan direktur percetakan uang), Ketua Dakwah yang
memimpin pengajian, Inspektur pasar (pengawas pasar, jalan, timbangan dan
takaran), Bendaharawan negara (menangani Bait Maal), Kepala urusan rumah tangga
raja, Petugas pembaca Al Qur'an, dan Sekretaris berbagai Departemen.selain
pejabat pusat, disetiap daerah terdapat pejabat setingkat guberbur yang diangkat
oleh khalifah untuk mengelola daerahnya masing-masing. Administrasi dikelola
oleh pejabat setempat.
2. Penyebaran
faham Syiah
Ketika Al Muiz
berhasil menguasai Mesir, di kawasan ini berkembang empat madzhab Fikih :
Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hanbali, sedangkan Al Muiz sendiri menganut madzhab
Syiah. Dalam menyikapi hal ini Al Muiz mengangkat hakim dari kalangan Sunni dan
Syiah. Akan tetapi jabatan-jabatan penting diserahkan kepada ulam Syiah
sedangkan Sunni hanya menduduki jabatan rendahan. Pada tahun 973 M, semua
jabatan di berbagai bidang politik, agama dan militer dipegang oleh Syiah. Oleh
karena itu sebagian pejabat Fathimiyah yang Sunni beralih ke Syiah supaya
jabatannya meningkat. Disisi lain al Muiz membangun toleransi agama sehingga pemeluk
agama lain seperti Kristen diperlakukan dengan baik dan diantara mereka
diangkat menjadi pejabat istana.Dari mesir Dinasti Fatimiyah tumbuh semakin
luas sampai ke Palestina, dan kemudian propaganda Syiah Ismailiyah semakin
tersebar luas melalui sebuah gerakan agen rahasia.
3. Perkembangan
ilmu pengetahuan
Dinasti
Fatimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Fatimiyah
membangun masjid Al Azhar yang akhirnya di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga berdirilah Universitas Al Azhar yang
nantinya menjadi salah satu perguruan Islam tertua yang dibanggakan oleh ulama
Sunni. Al Hakim berhasil mendirikan Daar al Hikmah, perguruan Islam yang
sejajar dengan lembaga pendidikan Kordova dan Baghdad. Perpustakaan Daar al
Ulum digabungkann dengan Daar al Himmah yang berisi berbagai buku ilmu
pengetahuan. Beberapa ulama yang muncul pada saat itu adalah sebagai berikut:
- Muhammad
al Tamimi (ahli Fisika dan Kedokteran)
- Al
Kindi (ahli sejarah dan filsafat)
- Al
nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim)
- Ali
bin Yunus (ahli Astronomi)
- Ali
Al Hasan bin al Khaitami (ahli Fisika dan Optik)
Disamping itu
kemajuan bangunan fisik sungguh luar biasa. Indikasi-indikasi kemajuan tersebut
dapat diketahui dari banyaknya bangunan-bangunan yang dibangun berupa
masjid-masjid, universitas, rumah sakit dan penginapan megah. Jalan-jalan utama
dibangun dan dilengkapi dengan lampu warna-warni, dalam bidang industri telah
dicapai kemajuan besar khususnya yang berkaitan dengan militer seperti
alat-alat perang, kapal dan sebagainya.
C. Puncak
Kejayaan Dinasti Fatimiyah.
Sepanjang
kekuasaan Abu Mansyur Nizar al-Aziz (975-996), Kerajaan Mesir senantiasa
diliputi kedamaian. Ia adalah khalifah Fatimiyah yang kelima dan khalifah
pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Di bawah kekuasaannyalah dinasti
Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya. Nama sang khalifah selalu disebutkan
dalam khutbah-khutbah jum’at disepanjang wilayah kekuasaanya yang berbentang
dari Atlantik hingga laut Merah, juga di mesjid-mesjid Yaman, Mekkah, Damaskus,
Bahkan di Mosul. Kalau dihitung-hitung, kekuasannya meliputi wilayah yang
sangat luas. Di
bawah kekuasaannya kekhalifahan Mesir tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi
kekhalifaan di Baghdad, tapi bisa dikatakan bahwa kekhalifaan itu telah
menenggelamkan penguasa Baghdad dan ia berhasil menempatkan kekhalifaan
Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Meditera Timur. Al-Aziz
menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang dibangun menyaingi
istana Abbasiyah, musuhnya yang diharapkan akan dikuasai setelah Baghdad
berhasil ditaklukkan. Seperti pendahulunya ia melirik wilayah Spanyol, tetapi
khalifah Kordova yang percaya diri itu ketika menerima surat yang pedas dari
raja Fatimiyah memberikan balasan tegas dengan berkata, “Engkau meremehkan kami
karena kau telah mendengar tentang kami. Jika kami mendengar apa yang telah dan
akan kau lakukan kami akan membalasnya”. Bisa
dikatakan bahwa diantara para khalifah Fatimiyah khalifah Al-Aziz adalah
khalifah yang paling bijaksana dan paling murah hati. Dia hidup di kota Kairo
yang mewah dan cemerlang, dikelilingi beberapa mesjid, istana, jembatan, dan
kanal-kanal yang baru, serta memberikan toleransi yang terbatas kepada umat
Kristen, sesuatu yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sikap dan
prilakunya ini tidak pelak lagi dipengaruhi oleh wazirnya yang beragama Kristen
“Isa ibn Nasthir” dan isterinya yang berasal dari Rusia, ibu dari anak laki-laki
dan pewarisnya, Al-Hakim, saudara perempuan dari dua bangsawan keluarga Melkis
yang berkuasa di Iskandariyah dan Yerussalem. Menurut
Harun Nasution, dalam masa kejayaan ini tergores sejarah yang menunjukkan
kegemilangan Fatimiyah bahwa salah satu golongan sekte syiah yang bernama
Qaramithah (Carmatian) yang dibentuk oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir abad IX,
menyerang Makkah pada tahun 951 M dan merampas Hajar Aswad dengan mencurinya
selama dua puluh tahun. Hal ini disebabkan mereka meyakini bahwa hajar aswad
adalah merupakan sumber takahayul. Gerakan ini menentang pemerintahan Pusat
Bani Abbas, namun Hajar Aswad ini akhirnya dikembalikan oleh Bani Fathimiyah
setelah didesak oleh kalifah Al Mansur pada tahun 951 M.
D. Masa
Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Fatimiyah.
Gejala-gejala
yang menunjukkan kemunduran dinasti Fatimiyah telah terlihat di penghujung masa
pemerintahan Al-Aziz namun baru kelihatan wujudnya pada masa pemerintahan
al-Muntasir yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan adalah Fatimiyah
pada masa pemerintahan al-Adid 567 H / 1171 M.
Adapun faktor yang menyebabkan
kemunduran dan runtuhnya dinasti Fatimiyah dapat diklarifikasikan kepada faktor
internal dan eksternal:
1. Faktor
Internal
Faktor
internal yang paling signifikan dalam menghantarkan kemunduran dinasti
Fatimiyah adalah di karenakan lemahnya kekuasaan pemerintah. Menurut Ibrahim
Hasan, para khalifah tidak lagi memiliki semangat juang yang tinggi seperti
yang ditunjukkan para pendahulu mereka ketika mengalahkan tentara Berber di
Qairawan. Kehidupan para khalifah yang bermewah-mewah merupakan penyebab utama
hilangnya semangat untuk melakukan ekspansi. Selain itu, para
khalifah kurang cakap dan memerintah sehingga roda pemerintahan tidak bejalan
secara efektif, ketidak efektifan ini dikarenakan khalifah yang diangkat banyak
yang masih berusia relatif muda sehingga kurang cakap dalm mengambil kebijakan.
Tragisnya mereka ibarat boneka ditangan para wajir karena peranan wajir begitu
dominan dalam mengatur pemerintahan. Fenomena ini muncul pasca wafatnya
al-Aziz, setelah al-Aziz wafat ia digantikan puternya bernama Abu Mansur
al-Hakim yang pada saat pengangkatannya masih berusia 11 tahun. Kebijakan dalam
pemerintahannya sangat tergantung kepada keputusan Gubernur bernama Barjawan
yang meskipun pada akhirnya dihukum al-hakim karena penyalahgunaan kekuasaan. Bukti
lain ketidakcakapan khalifah adalah munculnya perlawanan orang Kristen terhadap
penguasa. Perlawanan ini muncul dikarenakan orang Kristen tidak senang dengan maklumat
al-Hakim yang dianggap menghilangkan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Maklumat tersebut berisikan tiga alternatif pilihan yang berat bagi orang
Kristen. Masuk Islam, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung salib sebagai
simbol kehancuran. Setelah
al-Hakim wafat, ia digantikan puteranya bernama Abu Hasyim Ali yang bergelar
al-Zahir. Pada saat pengangkatannya al-Zahir masih berusia 16 tahun dan
kebijakan pemerintahan berada ditangan bibinya bernama Siti al-Mulk,
sepeninggalan bibinya al-Zahir menjadi raja boneka ditangan para wajirnya.
Pengangkatan khalifah dalam usia relatif muda masih terus berlanjut hingga masa
akhir pemerintahan daulah Fatimiyah, bahkan khalifah ke tiga belas yang bernam
al-Faiz dinobatkan pada saat masih balita nanun keburu meninggal dunia sebelum
berusia dewasa. Sementara khalifah terakhir bernam al-Adid dinobatkan disaat
berusia sembilan tahun. Faktor
lainnya diperparah oleh peristiwa alam. Wabah penyakit dan kemarau panjang
sehingga sunagi Nil kering, menjadi sebab perang saudara. Setelah meninggal Abu
Tamim Ma’ad al Muntashir diganti oleh anaknya al Musta’li. Akan tetapi Nizar,
(anak Abu Tamim Ma’ad yang tertua) melarikan diri ke Iskandariyah dan
menyatakan diri sebagai khalifah. Oleh sebab ini fatimiyah terpecah menjadi
dua. Selain itu, faktor internal
lainnya sebagai penyebab kehancuran dinasti Fatimiyah adalah persaingan dalam
memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-Adid sebagai khalifah
terakhir misalnya, terjadi persaingan antara Abu Sujak Syawar dan Dargam untuk
merebutkan jabatan wajir yang akhirnya dimenangkan Dargam. Karena sakit hati,
Syawar meminta bantuan Nur Al-Din al-Zanki untuk memulihkan kekuasannya di
Mesir, jika berhasil ia berjanji untuk menyerahkan sepertiga hasil penerimaan
negara kepadanya. Tawaran
ini diterima Nur al-Din, lalu ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh dan
keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini mampu mengalahkan Dargam
sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya kepada Nur
al-Din. Perebutan kekuasaan ditingkat wazir ini merupakan awal munculnya
kekuasaan asing yang pada akhirnya mampu merebut kekuasaan dari tangan dinasti
Fatimiyah dan membentuk dinasti baru bernama Ayyubiyah.
2. Faktor
Eksternal Adapun faktor eksternal yang
menjadi penyebab runruhnya dinasti Fatimiyah adalah menguatnya kekuasaan Nur
al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki adalah Gubernur Syiria yang masih berada
di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada saat ia
mampu mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak
mampu mengalahkan tentara salib. Dikarenakan rasa cemburunya
kepada Syirkuh yang memiliki pengaruh kuat di istana dianggap sebagai saingan
yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melakukan perlawanan. Agar
mampu menguat kekuasannya, Syawar meminta bantuan tentara Salabiyah dan
menawarkan janji seperti yang dilakukannya terhadap Nural-Din. Tawaran ini
diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu
kesempatan untuk dapat menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan
pasukan Syirkuh dapat mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri dapat ditangkap
dan dihukum bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah. Dengan
kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir dan pada tahun 565 H /
1117 M. setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din
Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah setelah
al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan
daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah
orientasinya dari paham syi’ah ke sunni. Khalifah Fatimiyah berakhir pada
tahun 567 H / 1117 M. Untuk mengantipasi perlawanan dari kalangan Fatimiyah,
Salah al-Din membangun benteng bukit di Muqattam dan dijadikan sebagai pusat
pemerintahan dan militer. Yang kini bangunan benteng tersebut masih berdiri
kokoh di kawasan pusat Mishral qadim (Mesir lama) yang terletak tidak jauh dari
Universitas dan juga dekat dengan perumahan Mahasiswa Asia di Qatamiyah.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dinasti Fatimiyah merupakan
salah satu imperium besar sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, daulah ini
hanya berupa dinasti kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan dinasti
Abbasiyah. Mereka mampu memerintah lebih dua abad sebelum ditaklukkan oleh
dinasti Ayyubiyah dibawah kepemimpinan Salah al-Din al-Ayyubi. Dalam masa pemerintahannya,
daulah Fatimiyah sangat konsern dengan pengembangan paham Syi’ah Isma’iliyah.
Untuk kesuksesannya, mereka mewajibkan seluruh aparat di jajaran pemerintahan
dan warga masyarakat untuk menganut paham tersebut. Upaya ini cukup berhasil
yang ditandai dengan banyaknya masyarakat yang bersedia menerimanya meskipun
berasal dari non muslim. Kemunduran dinasti
Fatimiyah dikarenakan tidak efektifnya kekuasaan pemerintah dikarenakan pra
khalifah hanya sebagai raja boneka sebab roda pemerintah didominasi oleh
kebijakan para wazir sementara khalifah hanya hidup menikmati kekuasaannya
didalam istana yang megah.
B.Saran
Kita harus mengetahui sepanjang
sejarah islam,agar kita bisa tau salah satu imperium sejarah islam yang dulunya
hanya dinasti kecil.
C.Tujuan Penulis
Agar tau sejarahnya islam yang
salah satunya Dinasti Fatimiyah yang merupakan salah satu imperium besar
sepanjang sejarah islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta:
Prenada Media, 2003.
Abati Hawa. 2008. Dinasti Fatimiyah,http://abatihawa.blogspot.com/2008/07/dinasti-fatimiah-297-h-322-h-910-m-934.html. 10
Juni 2013.
Ibrahim. 2012. Makalah Dinasti Fathimiyah, http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/05/dinasti-fathimiyah.html.12
Juni 2013.