Di ujung Desa Kedung, di mana jalanan berbatu selalu diselimuti debu putih dari bukit kapur, berdirilah SD Negeri 03. Di sana mengajar Bu Lastri, guru wali kelas 6, satu-satunya guru yang tidak pernah mengeluh meski gajinya sering terlambat.
Murid-muridnya memanggilnya 'Ibu Senja', bukan karena ia datang saat senja, tetapi karena matanya selalu memancarkan kehangatan seperti jingga di akhir hari.
Di antara 25 muridnya, ada seorang anak bernama Dika. Dika adalah anomali di kelas itu. Ia cerdas, tetapi ia juga murung dan cenderung menjauh. Seragamnya selalu kotor, dan ia sering tertidur di meja. Ketika Bu Lastri bertanya mengapa, Dika hanya menjawab, "Malam saya panjang, Bu."
Suatu sore di bulan Juli, saat semua murid pulang, Bu Lastri melihat Dika masih duduk di teras sekolah, tas kainnya diletakkan di sampingnya.
"Dika, kenapa belum pulang? Sudah mau magrib," tanya Bu Lastri lembut.
Dika menunduk. "Rumah sepi, Bu. Ayah masih di pasar sayur. Saya... saya harus menunggu," jawabnya pelan.
Bu Lastri tahu, ayah Dika adalah pedagang sayur keliling. Mereka hidup sangat pas-pasan. Malam panjang Dika ternyata bukan tentang bermain, melainkan tentang membantu ayahnya menyiapkan dagangan.
"Bawa sini tasmu. Kau temani Ibu membersihkan papan tulis," ajak Bu Lastri.
Sejak hari itu, rutinitas baru terbentuk. Setelah jam sekolah usai, Dika akan tinggal. Bu Lastri tidak memaksanya belajar, ia hanya membiarkan Dika membantunya merapikan buku, menyiram tanaman kembang sepatu di halaman, atau kadang hanya duduk diam sambil mendengarkan radio tua di meja guru.
Suatu hari, Dika melihat Bu Lastri sedang memperbaiki sebuah globe tua yang retak.
"Kenapa Ibu tidak beli yang baru?" tanya Dika.
Bu Lastri tersenyum. "Uangnya bisa dipakai untuk membeli kapur tulis lebih banyak, Nak. Selain itu, sesuatu yang retak tidak berarti tak berguna. Kita hanya perlu sedikit usaha untuk menyambungnya kembali. Lihat, bumi ini masih bulat, 'kan?"
Kata-kata itu menancap di benak Dika. Ia merasa seperti globe tua itu—retak, tetapi masih berharga.
Tiga bulan kemudian, hari ujian nasional tiba. Dika, yang dulunya sering tidur di kelas, kini menjadi yang paling fokus. Ia belajar bukan hanya untuk lulus, tetapi karena janji yang diam-diam ia buat pada dirinya sendiri: ia tidak akan mengecewakan Ibu Senja.
Hasil ujian keluar. Dika meraih nilai tertinggi se-kecamatan.
Saat perpisahan, Bu Lastri memberikan Dika sebuah bingkai foto. Di dalamnya, ada gambar Bu Lastri dan Dika, sedang duduk di teras sekolah, ditemani globe yang sudah mulus diperbaiki.
"Dika, kamu adalah murid yang paling Ibu banggakan. Ingat, Nak. Hidupmu mungkin pernah retak, tapi itu hanya peta, bukan takdir. Sekarang, sambunglah sendiri peta masa depanmu," bisik Bu Lastri, air matanya menetes.
Tahun berganti, debu kapur masih beterbangan di Desa Kedung. Bu Lastri masih mengajar di sana. Suatu pagi, sebuah mobil hitam mengkilap berhenti di depan SD Negeri 03. Keluar dari mobil itu, seorang pria muda mengenakan jas rapi.
Itu adalah Dika. Ia bukan lagi anak dengan seragam kotor. Ia telah menyelesaikan kuliahnya dan menjadi seorang arsitek sukses.
Dika menghampiri Bu Lastri yang terkejut. Ia tidak membawa hadiah mewah. Ia hanya mengeluarkan sebuah kotak kecil.
"Bu, ini untuk sekolah," kata Dika. Kotak itu berisi kunci.
"Kunci apa, Nak?" tanya Bu Lastri, bingung.
"Kunci perpustakaan, Bu. Saya tidak bisa memperbaiki semua jalan di desa, tapi saya bisa memperbaiki tempat di mana anak-anak bisa bermimpi. Ibu benar, sesuatu yang retak hanya butuh usaha untuk disambung," jawab Dika, matanya memancarkan cahaya jingga seperti senja di mata gurunya.
Bu Lastri tersenyum tulus. Ia sadar, hadiah terindah bagi seorang guru bukanlah uang atau jabatan, melainkan melihat benih yang ia tanam tumbuh menjadi pohon yang rindang, siap menaungi generasi berikutnya.