Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

Cerpen tentang Hari Pahlawan

 Sepatu Tua dan Janji di Surabaya

Desember 2024. Kota Surabaya terasa gerah, namun hiruk pikuknya tak pernah padam. Di sudut Jalan Tunjungan, di balik tumpukan buku tua dan kartu pos usang, duduklah Pak Harjo. Usianya sudah 95 tahun, punggungnya sedikit bungkuk, tetapi matanya masih menyimpan nyala api yang tajam.


Hari itu, 10 November, adalah Hari Pahlawan. Pak Harjo hanya diam, tangannya memegang sepasang sepatu bot tentara yang sudah usang dan koyak, dibungkus kain beludru pudar.


Seorang pemuda bernama Rizky, mahasiswa sejarah yang sedang mencari referensi, menghampirinya.


"Permisi, Kek. Hari ini 10 November. Semarak pahlawan terasa, tapi Kakek kok kelihatan sedih?" tanya Rizky sopan.


Pak Harjo tersenyum tipis, senyum yang membawa beban ratusan kisah. "Sedih bukan, Nak. Hanya mengenang. Sepatu ini... sepatu ini saksi bisu, Nak. Milik sahabat Kakek, namanya Bambang."


Rizky duduk bersila di lantai, matanya tertarik pada sepatu itu.


"Tahun 1945, Surabaya neraka, Nak. Belanda datang lagi, Inggris ikut campur. Kami, arek-arek Suroboyo, cuma punya bambu runcing dan keberanian," Pak Harjo memulai kisahnya, suaranya serak namun mantap.


Bambang, sahabatnya, adalah pemuda paling berapi-api. Ia selalu berkata, "Lebih baik hancur daripada dijajah lagi, Jo!"


Pada puncaknya pertempuran, saat pabrik gula dilebur menjadi benteng pertahanan, pasukan Bambang terdesak hebat. Peluru memberondong tanpa ampun. Saat itulah, Pak Harjo melihat Bambang terhuyung.


"Dia tertembak, Nak. Tapi sebelum roboh, Bambang melemparkan sepatu ini pada Kakek, lalu berteriak, 'Hidupkan Indonesia, Jo! Jangan biarkan mereka mengambilnya lagi!' Setelah itu... dia gugur." Air mata Pak Harjo menggenang, namun tidak jatuh.


Rizky menunduk, merasakan getaran kisah itu.


"Kakek selamat, dan kami terus berjuang. Sepatu ini adalah janji Kakek pada Bambang, dan pada semua yang gugur di hari itu. Janji untuk selalu menghidupkan Indonesia. Bukan dengan perang, tapi dengan jujur, dengan belajar, dengan bekerja keras," lanjut Pak Harjo, mengelus sepatu tua itu.


"Lalu, apa arti Hari Pahlawan bagi Kakek, sekarang?" tanya Rizky perlahan.


Pak Harjo mengangkat kepala, menatap lurus ke arah pemuda itu.


"Hari Pahlawan, Nak, bukan hanya tentang mengenang tanggal gugurnya seseorang. Tapi tentang menjaga janji yang mereka titipkan. Kau, yang sekarang sekolah tinggi, yang punya teknologi di tanganmu—kau adalah penerus Bambang. Pahlawan hari ini adalah mereka yang berjuang melawan kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan. Teruslah belajar, Nak. Itu caramu menghidupkan Indonesia."


Rizky berdiri, hatinya dipenuhi rasa haru dan motivasi baru. Ia tahu, Hari Pahlawan bukan sekadar upacara, melainkan warisan tanggung jawab.


"Terima kasih, Kek. Saya mengerti. Saya akan menjaga janji itu," kata Rizky sambil membungkuk hormat.


Pak Harjo hanya tersenyum, kembali meremas sepatu tua di tangannya. Di luar, suara klakson dan riuh kota Surabaya berlanjut. Namun, bagi Pak Harjo, suara itu kini terdengar seperti gema janji seorang sahabat yang gugur 79 tahun silam, janji yang harus dijaga oleh generasi kini dan nanti.