Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

PERLINDUNGAN HAM PADA ANAK


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Setiap manusia  dilahirkan merdeka  dan sama dalam martabat dan hak-haknya. Artinya, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak yang  melekat pada diri manusia, yang bersifat  sangat mendasar dan mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita dan martabatnya. Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Anak merupakan salah satu pihak yang rentan mengalami objek pelanggaran Hak Asasi. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Anak sebagai makhluk Allah SWT dan juga sebagai makhluk Sosial sejak dalam kandungan sampai melahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.Oleh karena itu tidak ada setiap manusia atau pihak yang boleh merampas hak atas hidup dan merdeka tersebut. Bila anak tersebut masih dalam kandungan orang tua dan orang tua tersebut selalu berusaha untuk menggugurkan anaknya dalam kandungannya, maka orang tua tersebut akan diproses hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Palagi anak yang telah melahirkan, maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak dasar dan kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi harus dilindungi dan diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut.
Karena hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik Hukum Nasional seperti yang termuat dalam dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak baik itu perlindungan anak secara umum maupun perlindungan anak secara khusus atau perlindungan anak yang menghadapi permasalahan hukum (sebagai pelaku TP), maupun Hukum Internasional seperti Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan Internasional on Civil and Political Rights (ICPR).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut :
1.     Bagaimana Perkembangan Perlindungan Hak Asasi Manusia pada anak ?
2.     Bagaimana Upaya Pelaksanaan Perlindungan Anak ?

C. Tujuan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1.     Untuk mengetahui perkembangan Perlindungan HAM pada anak.
2.     Untuk mengetahui upaya pelaksanaan perlindungan pada anak.






BAB II
PEMBAHASAN


A. Perkembangan Perlindungan Hak Asasi Manusia Pada Anak
Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian dari seluruh elemen bangsa. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak.
Dari segi regulasi[4], peraturan terkait perlindungan terhadap hak asasi anak dimulai dengan Convention on the Rights of the Child/Konvensi tentang Hak-hak Anak (KHA). Konvensi ini disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (konvensi tentang hak-hak anak) tanggal 25 Agustus 1990. Dalam Convention on the Rights of the Child terkandung 4 (empat) prinsip dasar yaitu prinsip non-diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universalitas HAM (Pasal 2 KHA); prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (best interest of the child) artinya bahwa di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama (Pasal 3 KHA); prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival, and development) artinya harus diakui bahwa hak hidup anak melekat pada diri setiap anak dan hak anak atas kelangsungan hidup serta perkembangannya juga harus dijamin (Pasal 6 KHA); serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child) artinya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan (Pasal 12 KHA).
Selanjutnya, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan juga mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi anak. Hal ini dapat dilihat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[5], dimana hak asasi anak mendapat tempat tersendiri dalam Undang-undang ini. Anak merupakan subjek hukum yang sangat rentan dalam proses penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan. Hak anak dalam proses peradilan menurut Undang-Undang antara lain yaitu:
  1. Tidak dianiaya, disiksa, atau dihukum secara tidak manusiawi;
  2. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup:
  3. Tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum;
  4. Tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara secara melawan hukum, atau jika sebagai upaya yang terakhir (measure of the last resort);
  5. Diperlakukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana;
  6. Hak atas bantuan hukum, untuk membela diri dan memperoleh keadilan di Pengadilan Anak yang bebas dan tidak memihak.
Perlindungan anak juga diatur dalam Undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Beberapa ketentuan yang diatur secara umum dalam Undang-Undang ini antara lain prinsip-prinsip dasar sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak, Hak dan Kewajiban Anak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah, Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat, Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, Kedudukan Anak, Pengasuhan dan pengangkatan anak, Penyelenggaraan perlindungan anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Berkaitan dengan masalah pekerja anak, pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tentang Pengakhiran Bentuk Bentuk Terburuk Pekerja Anak melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition  and Immediate Action for Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). bentuk-bentuk  pekerjaan  terburuk  untuk  anak”[6] mengandung pengertian :
  1. segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
  2. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
  3. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
  4. pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak.
Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi mengenai usia minimum anak diperbolehkan bekerja, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja). Sebelumnya, dalam Konvensi No. 5 Tahun 1919 mengenai Usia Minimum untuk sektor Industri, Konvensi No. 7 Tahun 1920 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Kelautan, Konvensi No. 10 Tahun 1921 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Agraria, dan Konvensi No. 33 Tahun 1932 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri, menetapkan bahwa usia minimum untuk bekerja 14 (empat belas) tahun. Selanjutnya Konvensi No. 58 Tahun 1936 mengenai Usia Minimum untuk Kelautan, Konvensi No. 59 Tahun 1937 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Industri, Konvensi No. 60 Tahun 1937 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri, dan Konvensi No. 112 Tahun 1959 mengenai Usia Minimum untuk Pelaut, mengubah usia minimum untuk bekerja menjadi 15 (lima belas) tahun. Dalam penerapan berbagai Konvensi tersebut di atas di banyak negara masih ditemukan berbagai bentuk penyimpangan batas usia minimum untuk bekerja. Oleh karena itu ILO merasa perlu menyusun dan mengesahkan konvensi yang secara khusus mempertegas batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang berlaku di semua sektor yaitu 15 (lima belas) tahun.
Perkembangan Perlindungan HAM anak lainnya secara kelembagaan telah terdapat kementerian yang mempunyai tugas dan kewenangan dalam menangani masalah anak yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang tugasnya melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak[7].
Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990 “anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Disamping itu menurut pasal 1 ayat 5 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, “anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.
Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Hal yang menarik perhatian adalah pelanggaran Hak Asasi yang menyangkut masalah Pekerja Anak, Perdagangan Anak untuk tujuan pekerja seks komersial, dan anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Kekerasan terhadap anak terjadi pada ruang-ruang sosiologis yang sangat intim dan dekat dengan kehidupan anak. Locus kekerasan tersebut terjadi pada: Kekerasan terhadap anak  di ranah rumah dan keluarga (Violence against Children in the Home and the Family), Kekerasan terhadap anak  di ranah sekolah (Violence against Children in Schools), Kekerasan terhadap anak  di ranah Institusi (Violence against Children in Institutions), Kekerasan terhadap anak  di ranah tempat bekerja (Violence against Children in Work Situations), Kekerasan terhadap anak  di ranah komunitas dan jalan (Violence against Children in the Community and on the Street), Kekerasan terhadap anak  di ranah Institusi peradilan pidana (Violence against Children in Conflict with the Law)[8].

B. Upaya Perlindungan Anak
Guna mewujudkan perlindungan anak yang memadai, diperlukan intervensi faktor-faktor pembentukan kualitas hidup yang setara dengan perkembangan peradaban manusia pada jamannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa proses menuju tercapainya tingkat perlindungan anak akan ditentukan pada kurun waktu tersebut. Dalam hal ini setiap jaman memiliki standar perlindungan anak tersendiri, yang disepakati secara luas dengan mengacu pada nilai-nilai yang universal.
Analogisnya dapat dilihat dalam iklim kehidupan bangsa Indonesia, yang menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang panjang, telah berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat sebagai bagian dari proes peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya dan akan berkaitan dengan pemberian perlindungan anak yang meningkat pula.
Perwujudan perlindungan anak yang berkualitas sebaiknya mulai dipersiapkan sejak dini, bahkan kalau mungkin sejak anak dalam kandungan. Insa kecil terebut membutuhkan perlindungan dari orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmai, rohani maupun sosial kelaknya, sehingga kelak akan menjadi pewaris masa depan yang mempunyai kualitas.
Oleh karena itu, apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan keejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan serta peran sertanya dalam kehidupan selanjutnya, maka perlindungan anak yang baik mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.       Para partisipan harus mempuyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan masalah perlindungan anak.
2.       Perlindungan anak harus dilaksanakan bersama antara setiap warganegara, anggota masyarakat secara induvidual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama, kepentingan nasional untuk mencapai aspirasi bangas Indonesia.
3.       Kerjasama dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan
4.       Dalam rangka membuat kebijakan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu diusahakan inventariasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan perlindungan anak, dan harus bersifat perspektif (masa depan).
5.       Dalam membuat ketentuan-ketentuan yang menyinggung dan mengatur perlindungan anak dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita harus mengutamakan perseptif yang diatur dan bukan yang mengatur

Di kota kota besar dan di daerah perbatasan kota banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan proses pembentukan pi badi mereka, sehingga sering terjadi kenakalan anak. Hal ini terjadi karena mereka lepas dari kendali, pengawasan dan pertumbuhan mental di luar pengamatan orang tua atau walinya.Untuk mengikuti gaya hidup anak masa kini, tanpa memperhitungkan resiko mereka telah terperangkap dalam:
I. Eksploitasi fisik, diataranva seperti:
a. Pekerja / bunih anak di sektor industri atau perusahaan yang berbahaya.
b. Pengemisan anak terlantar (anak jalanan)
II. Ekploitasi seksual, diataranya seperti:
a. Prostitusi anak
b. Sodomi anak
Perundangan - undangan dalam bidang hukum perdata untuk anak yang kita miliki adalah jauh lebih memadai daripada bidang hukum pidana untuk anak. Pada hakekatnya perlindungan anak dalam bidang hukum perdata meliputi banyak aspek hukum, di antaranya:
1. Kedudukan anak
2. Pengakuan anak
3. Pengangkatan anak (Adopsi)
4. Pendewasaan
5. Kuasa asuh ( hak dan kewajiban) orang tua terhadap anak.
6. Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh orang tua
7. Perwalian (termasuk Balai Harta Peninggalan)
8. Tindakan untuk mengatur yang dapat diambil guna perlindungan anak
9. Biaya hidup anak yang ditanggung orang tua akibat perceraian (ahmentasi)
Demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam keluarga, mat. kepastian hukum haruslah diupayakan. Guna menjamin adanya kepastian hukum bagi perlindungan anak, haruslah dibentuk undang undang yang mengatur mengenai hak dan kewajiban secara timbal balik antara yang dilindungi dan yang melindungi.Oleh karena kebahagiaan anak merupakan pula kebahagiaan orang tua, dan berarti kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi.
Hak-hak anak dalam bidang hukum perdata diatur secara garis besar antara lain yang terdapat dalam :
1.       Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2.       Undang-undarig nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.
3.       Undang-undang nomor I tahun 2000 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk - bentuk pekerjaan terburuk untuk anak
4.       Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan anak bagi anak yang mempunyai masalah
5.       Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah
6.       Peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1991 tentang pendidikan luar sekolah
7.       Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tentang orang
8.       Kompilasi hukum Islam di Indonesia
Mengenai hak - hak anak, timbul suatu pertanyaan, sampai dimanakah tanggung jawab kuasa asuh orang tua terhadap anak? Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya.Kewajiban orang tua berlaku hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.Kewajiban mana berlaku terus walaupun perkawman antara kedua orang tua telah putus. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasannva. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar gedung pengadilan.
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik sewaktu dalam kandungan ibu maupun setelah lahir.Anak yang ada dalarn kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Sedang meninggal sewaktu dilahirkan, maka dianggaplah ia tak pemah telah ada.
Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sehat, cerdas, berbudi pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang - barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan terkecuali jika kepentingan anak menghendakinya.
Sementara anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Bila anak telah mencapai dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Selanjutnya timbul lagi pertanyaan, apakah dapat diadakan pencabutan kuasa asuh orang tua terhadap anak?Undang-undang mengenal alasan- alasan untuk mencabut kuasa asuh orang tua terhadap anaknya. yaitu:
1. Salah seorang atau kedua orangtua dapatlah dicabut kekuasaannya terhadap seorang atau beberapa orang anak untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan putusan pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan amat buruk.
Walaupun orang tua telah dicabutnya kekuasaannya.mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan terhadap anak tersebut.
2. Bilamana orang tua terbukti melalaikantanggungjawabnya dalarn mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani, rohani maupun sosial, sehingga mengakibatkan timbulnya hanibatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua,, maka ia berada di bawah kekuasaan waii. Perwalian tersebut adalah mengenai pribadi si anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum Ia meninggal, dengan surat wasiat ataupun dengan ucapan lisan asalkan dihadapkan 2 orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambil dan keluarga anak tersebut atau orang lain yang telah dewasa, berpikiran sehat, adil dan jujur, serta berkelakuan balk. Adapun kewajiban wali, ialah:
1.   Mengurus anak yang berada di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik mungkin dengan menghormati agama dan kepercayaan si anak.
2.   Membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya sewaktu memulai jabatannya dan mencatat segala perubahan-pwrubahan harga benda itu.
3.   Memberi ganti rugi terhadap harta benda anak yang berada di bawah perwalianya, itupun atas tuntutan anak atau keluarga anak itu sendiri dengan suatu keputusan pengadilan. Kerugian mana lebih adalah karena kesalahan atau kelalaian wali dalam hal mengurus harta benda tadi.
Menurut Undang-Undang Perkawinan produk anak bangsa di jaman orde baru itu, seseorang yang berpredikat sebagai wali temyata dapat dicabut dari kekuasaan perwaliannya, karena lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan berperilaku sangat jelek terhadap anak. Dalam hal kekuasaan wali dicabut, maka oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Sedang menurut kompilasi hukum Islam di negeri ini, pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum kepada orang lain atas permohonan kerabatnya jika wali tersebut ternyata penjudi, pemabok, gila dan menyalahgunakan hal sebagai wali, demi kepentingan orang yang yang berada di bawah perwaliannya.
BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Upaya yang harus menjadi prioritas utama (high priority) untuk melindungi anak dari tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat  melalui reformasi hukum. Reformasi hukum tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi paradigma hukum yang menjadi spririt upaya reformasi hukum tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak. Regulasi dan kebijakan dan penegakkan hukum harus sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma KHA dan instrumen hukum HAM internasional utama lainnya. Sebagai contoh, hal ini mulai dilihat dengan mengamandemen UU Pengadilan Anak dengan lebih melakukan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach).
Perlu penegakan hukum (Law Enforcement) dari instansi pemerintah yang berwenang dengan meningkatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan guna meningkatkan pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kelompok rentan khususnya anak. Supremasi hukum harus ditegakan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil, para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan kepadanya dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat pencari keadilan. Dalam menegakkan hukum, perlu panduan agar hak anak dapat terlindungi sebagai contoh antara lain: Menghapus semua bentuk penghukuman fisik terhadap anak, Tindakan terhadap anak harus disesuai kan dengan usia anak.



B. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi lainnya antara lain pengawasan dari setiap unsur masyarakat untuk memonitor setiap pelanggaran HAM yang melibatkan anak; memastikan bahwa semua tersangka yang sedang diinvestigasi dalam proses peradilan pidana harus teregistrasi termasuk termasuk anak-anak;  Memperluas upaya yang telah dilakukan saat ini guna mengatasi masalah pelecehan, penelantaran, termasuk pelecehan seksual, dan memastikan bahwa ada suatu sistem nasional yang menerima, mengawasi dan menyelidiki laporan tentang anak, dan bilamana perlu membawa kasus ke pengadilan dengan cara yang berpihak pada anak serta menjamin kerahasiaan korban; pendidikan publik (public education) kepada masyarakat tentang perlindungan hak anak dan praktek-praktek pelanggaran terhadap hak anak, sehingga diharapkan masyarakat dapat sejak dini potensi pelanggaran hak asasi terhadap anak.


















DAFTAR PUSTAKA


[1] Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, (The Hague: Netherlands ministry of foreign Affairs, 1994), hlm. 73.
[2] Lihat Pasal 19 (1) KHA: Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selam dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak.”
[3] Lihat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 b ayat (2).
[4] Lihat peraturan terkait perlindungan hak asasi anak antara lain: UU No. 4 Tahun 1979  Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1930 No. 29 tentang kerja Paksa (Staatsblad Hindia Belanda tahun 1933 No. 261) dan Konvensi ILO tahun 1957 No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, 12 (2), dan 13 (3), UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal14 (1), 18 (4), 23 (4), dan 24), Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional Konvensi HakAnak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak(2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam konflik bersenjata (2006), Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A).
[5] Dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, hak Asasi anak diatur dalam bagian tersendiri dalam bagian kesepuluh.
[6] Lihat Pasal 3 Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
[7] Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
[8] Yayasan Pemantau Hak Anak, Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan: Langkah-Langkah   Implementasi Rekomendasi Komite Anti Penyiksaan PBB.