Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

Karakteristik Kajian Antropologi



Sejak lama manusia, terutama para ahli ilmu sosial dan para filsuf, mempertanyakan ”sebenarnya siapa manusia itu, dari mana manusia itu berasal, dan mengapa berperilaku seperti yang mereka lakukan”. Pertanyaan tersebut terus berkumandang sampai metode ilmiah ditemukan dan menjadi salah satu cara dalam menemukan sesuatu. Antropologi yang menjadi salah satu ilmu yang terkait dengan itu berusaha juga untuk menjawab pertanyaan di atas.
Sebelumnya, masyarakat memperoleh jawaban atas pertanyaan di atas dari mite (myth) dan cerita rakyat (folklore) yang diturunkan dari generasi ke generasi. Mite atau legenda merupakan unsur sastra yang masih dipercayai kebenarannya oleh para pendukung sastra tersebut. Mereka percaya saja pada apa yang diceritakan secara turun-temurun oleh orang tua atau nenek kakek mereka. Setiap suku bangsa memiliki kepercayaan sendiri atas siapa sebenarnya manusia itu, dari mana mereka berasal, dan mengapa mereka berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Orang yang tinggal di pegunungan biasanya beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari puncak gunung (bagian atas) yang memang sulit dijangkau oleh manusia biasa. Sedangkan bagi orang-orang yang tinggal di sekitar laut seperti para nelayan biasanya beranggapan bahwa nenek moyang mereka berasal dari laut yang paling dalam.
Antropologi sebagai sebuah ilmu, sudah sekitar 200 tahun yang lalu berupaya mencari jawaban atas pertanyaan di atas. Antropologi kemudian dikenal sebagai ilmu yang mempelajari makhluk manusia (humankind) di mana pun dan kapan pun. Para antropolog mempelajari homo sapiens, sebagai spesies paling awal, sebagai nenek moyang, dan sesuatu (makhluk) yang memiliki hubungan terdekat dengan makhluk manusia, untuk mengetahui kemungkinan siapa nenek moyang manusia itu, dan bagaimana mereka hidup (Haviland, 1991).
Perhatian utama dari para antropolog adalah merupakan upaya mereka mempelajari manusia secara hati-hati dan sistematis. Beberapa orang menempatkan antropologi sebagai ilmu sosial atau ilmu perilaku. Akan tetapi di lain pihak beberapa orang mempertanyakan sejauh mana kajian antropologi dapat diakui sebagai ilmu pengetahuan (science).
Apa sesungguhnya arti di balik kata ilmu pengetahuan atau science itu? Ilmu pengetahuan adalah suatu metode atau cara yang bersifat berpengaruh dan tepercaya guna memahami fenomena di dunia ini. Ilmu pengetahuan berupaya mencari penjelasan mengenai berbagai fenomena yang dapat teramati (observed) untuk menemukan prinsip-prinsip atau hukum-hukum yang berlaku universal atas fenomena tersebut (Haviland, 1999). Ada dua ciri mendasar dari ilmu pengetahuan, yaitu imajinasi (imagination) dan skeptisisme (skepticism). Imajinasi berhubungan dengan kemampuan berpikir untuk mengarahkan kita keluar dari ketidakbenaran, yaitu dengan cara mengusulkan hal-hal baru untuk menggantikan hal-hal yang lama atau ketidakbenaran itu.
Skeptisisme adalah pemikiran yang membimbing kita untuk dapat membedakan antara sebuah fakta (fact) dan khayalan (fancy). Sebuah kebenaran yang dihasilkan melalui  sebuah khayalan bukanlah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan membangun kebenaran berdasarkan pengkajian empiris melalui uji hipotesis, yang kemudian menghasilkan sebuah teori.
Sebuah kebenaran atau teori dalam ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran absolut tetapi hanya sebagai sebuah pilihan kebenaran yang paling diakui tentang sebuah fenomena. Tanpa metode ilmiah suatu ilmu pengetahuan bukanlah ilmu, melainkan hanya suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai fenomena baik alam ataupun masyarakat karena tidak berusaha untuk mencari kaidah hubungan antara satu gejala dengan gejala lainnya.
Keseluruhan pengetahuan dapat diperoleh oleh para ahli di bidangnya masing-masing melalui tiga tahap yaitu, (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap penentuan ciri-ciri umum dan sistem, serta (3) tahap verifikasi. Untuk bidang antropologi sosial atau budaya, tahap pengumpulan data merupakan peristiwa penting dalam upaya memperoleh informasi tentang peristiwa atau gejala masyarakat dan kebudayaan.
Sebagai ilmu sosial yang relatif baru, antropologi juga mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang telah berkembang, terutama pendekatan yang berkembang dalam ilmu sosial. Berawal dari filsafat, beberapa kajian yang lebih spesifik akhirnya memisahkan diri dan memproklamirkan diri sebagai ilmu baru.
Bahkan spesifikasi kajian dari masing-masing ilmu tadi dianggap telah membelenggu diri untuk tidak menerima hasil pengkajian dari ilmu lain. Kondisi ini kemudian disadari merupakan gejala yang tidak baik, karena sangat tidak bermanfaat untuk memahami hakikat objek (masyarakat) yang sesungguhnya. Hakikat objek, perilaku sosial atau masyarakat hanya dapat dipahami secara menyeluruh dengan kajian berbagai bidang ilmu.
J. Gillin mencoba menyatukan kembali beberapa pendekatan melalui beberapa ahli seperti ahli antropologi, sosiologi dan psikologi untuk membicarakan kemungkinan kerja sama antara ketiga bidang ilmu tersebut. Hasil pembicaraan tersebut menghasilkan sebuah buku yang cukup penting berjudul “For A Secience of Social Man” yang terbit pada tahun 1955 yang di redaksi oleh Gillin sendiri.

Blog Archive