Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

Otak Emosional dan Pembelajaran



Otak emosional berpusat di sistem limbik. Sistem ini secara evolusi jauh lebih tua daripada bagian cortex cerebri. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan otak manusia dimulai dengan pikiran emosional sebelum pikiran rasional berfungsi untuk merespon lingkungannya. Keputusan bijak dan cerdas merupakan hasil kerjasama antara otak emosional dengan otak rasional.
Kecerdasan emosional didefinisikan oleh Goleman (1997) sebagai kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.
Suasana hati positif seperti perasaan senang dan santai sebelum dan pada saat belajar akan mempertinggi efektivitas belajar. Sebagai guru kita sering mengabaikan penciptaan suasana belajar yang menyenangkan. Sehebat apa pun paparan yang disampaikan guru, peserta didik baru menerima sebagai kebenaran apabila emosinya telah mengatakan bahwa hal itu benar. Dengan demikian seseorang baru merasa bahwa sesuatu itu benar atau penting kalau sistem limbik menerima hal itu sebagai sesuatu yang benar dan penting.
Untuk itulah pada saat meyakinkan peserta didik, guru harus menggunakan suara lantang dinamis dan ekspresi kuat penuh perasaan. Kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral. Banyak bukti menunjukkan bahwa sikap etik dasar dalam kehidupan berasal dari kemampuan emosional yang melandasinya.
Kemampuan mengendalikan dorongan hati merupakan basis kemauan (will) dan watak (character), sedangkan cinta sesama merupakan akar dari empati. Goleman (1997) mengatakan bahwa apabila disuruh memilih dua sikap moral yang dibutuhkan untuk zaman sekarang, ia akan memilih kendali diri dan kasih sayang.
Warisan genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang menentukan temperamen kita, namun pelajaran emosi yang kita peroleh pada saat anak-anak baik di rumah maupun di sekolah dapat membentuk sirkuit emosi dan meningkatkan kecerdasan emosional kita. Sekolah unggulan berlomba untuk menawarkan pengajaran keterampilan sosial dan emosional serta pembentukan watak yang sangat diperlukan untuk menapaki masa depan. Memang kita tidak boleh menyerahkan pendidikan emosi pada nasib, lembaga sekolah harus harus berusaha mengajarkan kepintaran dan sekaligus kepekaan rasa pada peserta didiknya (Caine, 1991).
Kurikulum berbasis kompetensi yang dikelola dengan benar sangat memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran tersebut. Kecerdasan emosional pada dasarnya terdiri atas lima wilayah yaitu: 1) mengenali emosi diri; 2) mengelola emosi; 3) memotivasi diri; 4) mengenali emosi orang lain, dan 5) membina hubungan.
Pembelajaran dengan model diskusi kelompok memungkinkan peserta didik mengembangkan kelima wilayah kecerdasan emosionalnya. Berbeda dengan IQ, EQ lebih dapat diajarkan dan dikembangkan. Peran pengendalian emosi (penundaan kepuasan) dalam menentukan kualitas hidup telah diteliti pada tahun 1960 di TK Kampus Stanford University oleh Walter Mischel.
Pada dasarnya tes tersebut menghadapkan anak pada dua pilihan, sehubungan dengan diletakkannya satu permen coklat dihadapannya. Dia boleh mengambil permen coklat tersebut, namun apabila dia mau menunggu 20 menit lagi, peneliti akan menambahkan satu coklat lagi untuknya. Peneliti meninggalkan ruang dan diam-diam mengamati tingkah laku anak-anak umur empat tahun tersebut. Sungguh perjuangan sangat berat bagi anak umur empat tahun untuk mengekang dorongan hati, dan mengendalikan diri dalam rangka menunda pemuasan hasratnya. Beberapa anak memilih melewati godaan dengan menutup
mata, menaruh kepala di lengan, bernyanyi dan berbicara sendiri tanpa melihat coklat dihadapannya. Beberapa anak yang lain langsung menyambar coklat dihadapannya begitu peneliti selesai bicara.
Setelah diikuti sampai usia remaja, terlihat bahwa anak yang mampu menahan godaan pada umur empat tahun merupakan remaja yang secara sosial lebih cakap, secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, dan lebih mampu menghadapi kekecewaan hidup. Mereka tidak mudah hancur, menyerah, atau surut dibawah beban stres, atau bingung bila tertekan.
Mereka mencari dan siap menghadapi tantangan, bukannya menyerah sekalipun harus menemui berbagai kesulitan. Mereka percaya diri dan yakin akan kemampuannya, dapat dipercaya dan diandalkan, serta sering mengambil inisiatif dan terjun langsung menangani proyek. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, mereka tetap mampu menunda pemuasan demi mengejar tujuan.
Sepertiga anak yang tergoda coklat cenderung kurang memiliki sifat-sifat diatas. Waktu remaja mereka cenderung menjauhi hubungan sosial, keras kepala dan peragu, mudah kecewa, menganggap dirinya tak berharga, mundur atau terkalahkan oleh stres, lebih mudah iri hati dan cemburu, menanggapi gangguan dengan cara kasar dan berlebihan. Bertahun-tahun kemudian, mereka masih belum mampu menunda pemuasan. Kemampuan menunda pemuasan sangat besar sumbangannya bagi kemampuan intelektual (Goleman, 1997)

Blog Archive