BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap
manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam martabat dan hak-haknya.
Artinya, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak yang melekat pada
diri manusia, yang bersifat sangat mendasar dan mutlak diperlukan agar
manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita dan martabatnya. Bahwa
hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara
kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi
hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang
tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Anak merupakan
salah satu pihak yang rentan mengalami objek pelanggaran Hak Asasi. Pengertian
Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok
masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah
orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Anak
sebagai makhluk Allah SWT dan juga sebagai makhluk Sosial sejak dalam kandungan
sampai melahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat
perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.Oleh
karena itu tidak ada setiap manusia atau pihak yang boleh merampas hak atas
hidup dan merdeka tersebut. Bila anak tersebut masih dalam kandungan orang tua
dan orang tua tersebut selalu berusaha untuk menggugurkan anaknya dalam
kandungannya, maka orang tua tersebut akan diproses hukum
untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Palagi
anak yang telah melahirkan, maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagai hak
dasar dan kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi
harus dilindungi dan diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut.
Karena hak asasi anak tersebut
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan
hukum baik Hukum Nasional seperti yang termuat dalam dalam Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang
tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan
pada anak UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak baik itu perlindungan
anak secara umum maupun perlindungan anak secara khusus atau perlindungan anak
yang menghadapi permasalahan hukum (sebagai pelaku TP), maupun Hukum
Internasional seperti Universal
Declaration of Human Right (UDHR) dan Internasional
on Civil and Political Rights (ICPR).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di
atas maka makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Perkembangan
Perlindungan Hak Asasi Manusia pada anak ?
2. Bagaimana Upaya
Pelaksanaan Perlindungan Anak ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk :
1. Untuk mengetahui
perkembangan Perlindungan HAM pada anak.
2. Untuk mengetahui upaya
pelaksanaan perlindungan pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Perlindungan Hak Asasi
Manusia Pada
Anak
Berbagai upaya
yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia merupakan hal
yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian dari seluruh elemen bangsa.
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan
kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya. Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan
tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak.
Dari segi regulasi[4], peraturan terkait perlindungan terhadap hak asasi anak
dimulai dengan Convention on the Rights of the Child/Konvensi tentang
Hak-hak Anak (KHA). Konvensi ini disetujui oleh Majelis Umum PBB pada
tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The
Child (konvensi tentang hak-hak anak) tanggal 25 Agustus 1990. Dalam Convention
on the Rights of the Child terkandung 4 (empat) prinsip dasar yaitu prinsip non-diskriminasi artinya semua
hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak
tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip
universalitas HAM (Pasal 2 KHA); prinsip
kepentingan yang terbaik bagi anak (best interest of the child)
artinya bahwa di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang
terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama (Pasal 3 KHA); prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan
perkembangan (the rights to life, survival, and development)
artinya harus diakui bahwa hak hidup anak melekat pada diri setiap anak dan hak
anak atas kelangsungan hidup serta perkembangannya juga harus dijamin (Pasal 6
KHA); serta prinsip penghargaan
terhadap pendapat anak (respect for the views of the child)
artinya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi
kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan (Pasal 12
KHA).
Selanjutnya,
beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan juga mengatur tentang
pentingnya perlindungan terhadap hak asasi anak. Hal ini dapat dilihat dalam UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[5], dimana hak asasi anak mendapat tempat tersendiri dalam
Undang-undang ini. Anak merupakan subjek hukum yang sangat rentan dalam proses
penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan. Hak anak dalam proses
peradilan menurut Undang-Undang antara lain yaitu:
- Tidak dianiaya, disiksa, atau
dihukum secara tidak manusiawi;
- Tidak dijatuhi pidana mati atau
pidana seumur hidup:
- Tidak dirampas kebebasannya secara
melawan hukum;
- Tidak ditangkap, ditahan atau
dipenjara secara melawan hukum, atau jika sebagai upaya yang terakhir (measure
of the last resort);
- Diperlakukan secara manusiawi
dalam proses peradilan pidana;
- Hak atas bantuan hukum, untuk
membela diri dan memperoleh keadilan di Pengadilan Anak yang bebas dan
tidak memihak.
Perlindungan anak juga diatur dalam Undang-undang tersendiri yaitu
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Beberapa
ketentuan yang diatur secara umum dalam Undang-Undang ini antara lain
prinsip-prinsip dasar sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak, Hak dan Kewajiban
Anak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah, Kewajiban dan
Tanggung Jawab Masyarakat, Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua,
Kedudukan Anak, Pengasuhan dan pengangkatan anak, Penyelenggaraan perlindungan
anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Berkaitan dengan masalah pekerja anak,
pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tentang Pengakhiran Bentuk
Bentuk Terburuk Pekerja Anak melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and
Immediate Action for Elimination of The Worst Forms of Child Labour
(Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak”[6] mengandung pengertian :
- segala bentuk perbudakan atau
praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan
anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja
paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau
wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
- pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk
pertunjukan-pertunjukan porno;
- pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan
perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional
yang relevan;
- pekerjaan yang sifatnya atau
lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan,
atau moral anak-anak.
Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi mengenai usia minimum anak
diperbolehkan bekerja, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment
(Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja). Sebelumnya,
dalam Konvensi No. 5 Tahun 1919 mengenai Usia Minimum untuk sektor Industri,
Konvensi No. 7 Tahun 1920 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Kelautan, Konvensi
No. 10 Tahun 1921 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Agraria, dan Konvensi No.
33 Tahun 1932 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri, menetapkan bahwa
usia minimum untuk bekerja 14 (empat belas) tahun. Selanjutnya Konvensi No. 58
Tahun 1936 mengenai Usia Minimum untuk Kelautan, Konvensi No. 59 Tahun 1937
mengenai Usia Minimum untuk Sektor Industri, Konvensi No. 60 Tahun 1937
mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri, dan Konvensi No. 112 Tahun
1959 mengenai Usia Minimum untuk Pelaut, mengubah usia minimum untuk bekerja
menjadi 15 (lima belas) tahun. Dalam penerapan berbagai Konvensi tersebut di
atas di banyak negara masih ditemukan berbagai bentuk penyimpangan batas usia
minimum untuk bekerja. Oleh karena itu ILO merasa perlu menyusun dan
mengesahkan konvensi yang secara khusus mempertegas
batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang berlaku di semua sektor
yaitu 15 (lima belas) tahun.
Perkembangan Perlindungan HAM anak lainnya secara kelembagaan telah
terdapat kementerian yang mempunyai tugas dan kewenangan dalam menangani
masalah anak yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) yang tugasnya melakukan sosialisasi seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan
penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak; memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka perlindungan anak[7].
Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan
yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut
mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990 “anak adalah
setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku
bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Disamping itu
menurut pasal 1 ayat 5 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, “anak adalah setiap
manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.
Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi,
tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi. Hal yang menarik perhatian adalah pelanggaran Hak
Asasi yang menyangkut masalah Pekerja Anak, Perdagangan Anak untuk tujuan
pekerja seks komersial, dan anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakan isu
sosial yang sukar dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan
aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Kekerasan terhadap anak terjadi pada ruang-ruang sosiologis yang sangat
intim dan dekat dengan kehidupan anak. Locus kekerasan tersebut terjadi
pada: Kekerasan terhadap anak di ranah rumah dan keluarga (Violence
against Children in the Home and the Family), Kekerasan terhadap anak
di ranah sekolah (Violence against Children in Schools), Kekerasan
terhadap anak di ranah Institusi (Violence against Children in
Institutions), Kekerasan terhadap anak di ranah tempat bekerja (Violence
against Children in Work Situations), Kekerasan terhadap anak di
ranah komunitas dan jalan (Violence against Children in the Community and on
the Street), Kekerasan terhadap anak di ranah Institusi peradilan
pidana (Violence against Children in Conflict with the Law)[8].
B. Upaya Perlindungan Anak
Guna mewujudkan perlindungan anak yang
memadai, diperlukan intervensi faktor-faktor pembentukan kualitas hidup yang
setara dengan perkembangan peradaban manusia pada jamannya. Fenomena ini
menunjukkan bahwa proses menuju tercapainya tingkat perlindungan anak akan
ditentukan pada kurun waktu tersebut. Dalam hal ini setiap jaman memiliki
standar perlindungan anak tersendiri, yang disepakati secara luas dengan
mengacu pada nilai-nilai yang universal.
Analogisnya dapat dilihat dalam iklim
kehidupan bangsa Indonesia, yang menunjukkan bahwa pembangunan nasional yang
panjang, telah berhasil meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat
sebagai bagian dari proes peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dan
masyarakat Indonesia seluruhnya dan akan berkaitan dengan pemberian
perlindungan anak yang meningkat pula.
Perwujudan perlindungan anak yang
berkualitas sebaiknya mulai dipersiapkan sejak dini, bahkan kalau mungkin sejak
anak dalam kandungan. Insa kecil terebut membutuhkan perlindungan dari orang
tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik jasmai, rohani maupun
sosial kelaknya, sehingga kelak akan menjadi pewaris masa depan yang mempunyai
kualitas.
Oleh karena itu, apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan keejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan serta peran sertanya dalam kehidupan selanjutnya, maka perlindungan anak yang baik mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
Oleh karena itu, apabila anak mendapatkan jaminan perlindungan dan keejahteraan yang memadai terutama terpenuhinya kebutuhan untuk kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan serta peran sertanya dalam kehidupan selanjutnya, maka perlindungan anak yang baik mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Para
partisipan harus mempuyai pengertian-pengertian yang tepat berkaitan dengan
masalah perlindungan anak.
2.
Perlindungan
anak harus dilaksanakan bersama antara setiap warganegara, anggota masyarakat
secara induvidual maupun kolektif dan pemerintah demi kepentingan bersama,
kepentingan nasional untuk mencapai aspirasi bangas Indonesia.
3.
Kerjasama
dan koordinasi diperlukan dalam melancarkan kegiatan perlindungan anak yang
rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat antar para partisipan yang bersangkutan
4.
Dalam
rangka membuat kebijakan dan rencana kerja yang dapat dilaksanakan perlu
diusahakan inventariasi faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kegiatan
perlindungan anak, dan harus bersifat perspektif (masa depan).
5.
Dalam
membuat ketentuan-ketentuan yang menyinggung dan mengatur perlindungan anak
dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita harus mengutamakan perseptif
yang diatur dan bukan yang mengatur
Di kota kota besar dan di daerah
perbatasan kota banyak anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai
dengan proses pembentukan pi badi mereka, sehingga sering terjadi kenakalan
anak. Hal ini terjadi karena mereka lepas dari kendali, pengawasan dan
pertumbuhan mental di luar pengamatan orang tua atau walinya.Untuk mengikuti
gaya hidup anak masa kini, tanpa memperhitungkan resiko mereka telah
terperangkap dalam:
I.
Eksploitasi fisik, diataranva seperti:
a.
Pekerja / bunih anak di sektor industri atau perusahaan yang berbahaya.
b.
Pengemisan anak terlantar (anak jalanan)
II.
Ekploitasi seksual, diataranya seperti:
a.
Prostitusi anak
b.
Sodomi anak
Perundangan - undangan dalam bidang
hukum perdata untuk anak yang kita miliki adalah jauh lebih memadai daripada
bidang hukum pidana untuk anak. Pada hakekatnya perlindungan anak dalam bidang
hukum perdata meliputi banyak aspek hukum, di antaranya:
1.
Kedudukan anak
2.
Pengakuan anak
3.
Pengangkatan anak (Adopsi)
4.
Pendewasaan
5.
Kuasa asuh ( hak dan kewajiban) orang tua terhadap anak.
6.
Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh orang tua
7.
Perwalian (termasuk Balai Harta Peninggalan)
8.
Tindakan untuk mengatur yang dapat diambil guna perlindungan anak
9.
Biaya hidup anak yang ditanggung orang tua akibat perceraian (ahmentasi)
Demi kelangsungan kegiatan perlindungan
anak dan mengoptimalkan pelaksanaan perlindungan anak dalam keluarga, mat.
kepastian hukum haruslah diupayakan. Guna menjamin adanya kepastian hukum bagi
perlindungan anak, haruslah dibentuk undang undang yang mengatur mengenai hak
dan kewajiban secara timbal balik antara yang dilindungi dan yang
melindungi.Oleh karena kebahagiaan anak merupakan pula kebahagiaan orang tua,
dan berarti kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi.
Hak-hak anak dalam bidang hukum perdata diatur secara garis besar antara lain yang terdapat dalam :
Hak-hak anak dalam bidang hukum perdata diatur secara garis besar antara lain yang terdapat dalam :
1.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan
2.
Undang-undarig nomor 4 tahun 1979
tentang kesejahteraan anak.
3. Undang-undang nomor I
tahun 2000 tentang pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk - bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak
4. Peraturan Pemerintah
nomor 2 tahun 1988 tentang usaha kesejahteraan anak bagi anak yang mempunyai
masalah
5. Peraturan Pemerintah
nomor 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah
6. Peraturan pemerintah
nomor 73 tahun 1991 tentang pendidikan luar sekolah
7. Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, tentang orang
8.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia
Mengenai hak - hak anak, timbul suatu
pertanyaan, sampai dimanakah tanggung jawab kuasa asuh orang tua terhadap anak?
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya.Kewajiban orang tua
berlaku hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.Kewajiban mana berlaku
terus walaupun perkawman antara kedua orang tua telah putus.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak
dicabut dari kekuasannva. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan
hukum di dalam dan di luar gedung pengadilan.
Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan baik sewaktu dalam kandungan ibu maupun setelah lahir.Anak yang
ada dalarn kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana juga kepentingan anak menghendakinya. Sedang meninggal sewaktu
dilahirkan, maka dianggaplah ia tak pemah telah ada.
Orang tua adalah yang pertama-tama
bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak
mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga
anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sehat, cerdas, berbudi
pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa
dan berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa.
Orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang - barang tetap yang dimiliki anaknya
yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan terkecuali jika
kepentingan anak menghendakinya.
Sementara anak wajib menghormati orang
tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Bila anak telah mencapai dewasa, ia
wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya. Selanjutnya timbul lagi
pertanyaan, apakah dapat diadakan pencabutan kuasa asuh orang tua terhadap
anak?Undang-undang mengenal alasan- alasan untuk mencabut kuasa asuh orang tua
terhadap anaknya. yaitu:
1.
Salah seorang atau kedua orangtua dapatlah dicabut kekuasaannya terhadap
seorang atau beberapa orang anak untuk waktu yang tertentu atas permintaan
orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan putusan
pengadilan dalam hal-hal:
a.
Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b.
Ia berkelakuan amat buruk.
Walaupun
orang tua telah dicabutnya kekuasaannya.mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan terhadap anak tersebut.
2. Bilamana orang tua terbukti melalaikantanggungjawabnya dalarn mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani, rohani maupun sosial, sehingga mengakibatkan timbulnya hanibatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua,, maka ia berada di bawah kekuasaan waii. Perwalian tersebut adalah mengenai pribadi si anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
2. Bilamana orang tua terbukti melalaikantanggungjawabnya dalarn mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani, rohani maupun sosial, sehingga mengakibatkan timbulnya hanibatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua,, maka ia berada di bawah kekuasaan waii. Perwalian tersebut adalah mengenai pribadi si anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua
yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum Ia meninggal, dengan surat wasiat
ataupun dengan ucapan lisan asalkan dihadapkan 2 orang saksi. Wali
sedapat-dapatnya diambil dan keluarga anak tersebut atau orang lain yang telah
dewasa, berpikiran sehat, adil dan jujur, serta berkelakuan balk. Adapun
kewajiban wali, ialah:
1. Mengurus anak yang
berada di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik mungkin dengan
menghormati agama dan kepercayaan si anak.
2. Membuat daftar harta
benda anak yang berada di bawah kekuasaannya sewaktu memulai jabatannya dan
mencatat segala perubahan-pwrubahan harga benda itu.
3. Memberi ganti rugi
terhadap harta benda anak yang berada di bawah perwalianya, itupun atas
tuntutan anak atau keluarga anak itu sendiri dengan suatu keputusan pengadilan.
Kerugian mana lebih adalah karena kesalahan atau kelalaian wali dalam hal
mengurus harta benda tadi.
Menurut Undang-Undang Perkawinan produk anak bangsa di jaman orde baru itu, seseorang yang berpredikat sebagai wali temyata dapat dicabut dari kekuasaan perwaliannya, karena lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan berperilaku sangat jelek terhadap anak. Dalam hal kekuasaan wali dicabut, maka oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Menurut Undang-Undang Perkawinan produk anak bangsa di jaman orde baru itu, seseorang yang berpredikat sebagai wali temyata dapat dicabut dari kekuasaan perwaliannya, karena lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan berperilaku sangat jelek terhadap anak. Dalam hal kekuasaan wali dicabut, maka oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Sedang menurut kompilasi hukum Islam di
negeri ini, pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan
hukum kepada orang lain atas permohonan kerabatnya jika wali tersebut ternyata
penjudi, pemabok, gila dan menyalahgunakan hal sebagai wali, demi kepentingan
orang yang yang berada di bawah perwaliannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya yang harus
menjadi prioritas utama (high priority) untuk melindungi anak dari
tindakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat melalui reformasi hukum. Reformasi hukum
tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi paradigma hukum yang menjadi
spririt upaya reformasi hukum tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum
dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi
anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak. Regulasi dan
kebijakan dan penegakkan hukum harus sesuai dengan prinsip-prinsip dan
norma-norma KHA dan instrumen hukum HAM internasional utama lainnya. Sebagai
contoh, hal ini mulai dilihat dengan mengamandemen UU Pengadilan Anak dengan
lebih melakukan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi
anak (a child-centred approach).
Perlu penegakan
hukum (Law Enforcement) dari instansi pemerintah yang berwenang dengan
meningkatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan guna meningkatkan
pemenuhan dan perlindungan HAM bagi kelompok rentan khususnya anak. Supremasi
hukum harus ditegakan, sistem peradilan harus berjalan dengan baik dan adil,
para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban tugas yang dibebankan
kepadanya dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat
pencari keadilan. Dalam menegakkan hukum, perlu panduan agar hak anak dapat
terlindungi sebagai contoh antara lain: Menghapus semua bentuk penghukuman
fisik terhadap anak, Tindakan terhadap anak harus disesuai kan dengan usia
anak.
B. Rekomendasi
Beberapa
rekomendasi lainnya antara lain pengawasan dari setiap unsur masyarakat untuk
memonitor setiap pelanggaran HAM yang melibatkan anak; memastikan bahwa semua
tersangka yang sedang diinvestigasi dalam proses peradilan pidana harus
teregistrasi termasuk termasuk anak-anak; Memperluas upaya yang telah
dilakukan saat ini guna mengatasi masalah pelecehan, penelantaran, termasuk
pelecehan seksual, dan memastikan bahwa ada suatu sistem nasional yang
menerima, mengawasi dan menyelidiki laporan tentang anak, dan bilamana perlu
membawa kasus ke pengadilan dengan cara yang berpihak pada anak serta menjamin kerahasiaan
korban; pendidikan publik (public education) kepada masyarakat tentang
perlindungan hak anak dan praktek-praktek pelanggaran terhadap hak anak,
sehingga diharapkan masyarakat dapat sejak dini potensi pelanggaran hak asasi
terhadap anak.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Willem van
Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, (The Hague: Netherlands ministry of
foreign Affairs, 1994), hlm. 73.
[2] Lihat Pasal 19
(1) KHA: ”Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan
legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi
anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau
penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau
eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selam dalam pengasuhan (para) orang
tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh
anak.”
[3] Lihat
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 b ayat (2).
[4] Lihat peraturan
terkait perlindungan hak asasi anak antara lain: UU No. 4 Tahun 1979
Kesejahteraan Anak, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 19
Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1930 No. 29 tentang kerja Paksa (Staatsblad
Hindia Belanda tahun 1933 No. 261) dan Konvensi ILO tahun 1957 No. 105 tentang
Penghapusan Kerja Paksa, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal
10, 12 (2), dan 13 (3), UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal14
(1), 18 (4), 23 (4), dan 24), Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Ranham
2004-2009 tentang Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional Konvensi HakAnak
tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak(2005) dan
Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan anak dalam konflik
bersenjata (2006), Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(ESKA), Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak (RAN P3A).
[5] Dalam UU Nomor 39
tahun 1999 tentang HAM, hak Asasi anak diatur dalam bagian tersendiri dalam
bagian kesepuluh.
[6] Lihat Pasal 3
Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
[7] Pasal 3 Keputusan
Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia.
[8] Yayasan Pemantau
Hak Anak, Perlindungan Anak dari Tindak Kekerasan: Langkah-Langkah
Implementasi Rekomendasi Komite Anti Penyiksaan PBB.