Menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, sejak UU Nomor 22 Tahun 1999 (tentang pemerintahan
daerah) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 (tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah) ditetapkan. Perbincangan tentang kebijakan pembangunan hanya terbatas
mengenai pemanfaatan sumberdaya alam daerah untuk kepentingan ekonomi sesaat.
Sasarannya: menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Belum terlihat usaha-usaha
menerapkan otonomi daerah untuk menangani kawasan-kawasan rawan bencana, atau
sebaliknya membuat strategi penanggulangan bencana dalam konteks otonomi
daerah. Hal ini berdampak saat otonomi daerah diberlakukan, penanggulangan
bencana terkesan lamban. Benarkah ada “saling ketidak pedulian” antara pusat
dan daerah? Di satu sisi, daerah perlu bantuan mendesak; di sisi lain,
pemerintah pusat menyatakan tidak ada dana khusus untuk penanggulangan bencana.
Dan begitu pula antara masyarakat dengan pemerintah di daerahnya. Ini merupakan
tantangan tersendiri buat otonomi daerah.
Dimana penanggulangan bencana
yang berbasis pada kemampuan masyarakat di kawasan rawan bencana merupakan
jawaban atas kelemahan-kelemahan tersebut. Penanggulangan ini dilakukan dengan
asas pemberdayaan yang memposisikan masyarakat selaku stakeholder internal
tempatan sebagai subyek. Dengan segala keterbatasan yang ada, maka masyarakat
diberdayakan untuk mampu membangun dan mengelola sistem penanggulangan bencana
di daerahnya. Sementara, kita para stakeholder eksternal, yang bukan
masyarakat tempatan, dengan penuh kesadaran menjadi pendukung.
Seterusnya dalam perpektif
penanggulangan bencana berbasis komunitas, bencana alam dan lingkungan sebagai
fenomena sosial tidak akan muncul begitu saja, tetapi sangat berhubungan dengan
kapasitas komunitas. Bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan
akan membuat komunitas semakin rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh
kondisi-kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak aman yang
melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan-tekanan
dinamik, baik internal maupun eksternal. Dinamika-dinamika internal tersebut
bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi karena terdapat akar permasalahan yang
menyertainya, baik secara internal maupun eksternal.
Selanjutnya di beberapa wilayah,
kerentanan tersebut disebabkan oleh (1) didominasi oleh posisi dan tidak aman,
(2) meningkatnya aktifitas pembangunan yang tidak selaras dengan alam dan
lingkungan, (3) organisasi sosial di dalam penanggulangan bencana yang belum
terbangun dan mempunyai kapasitas yang rendah, (4) institusi penanggulangan
bencana di tingkat lokal yang tidak aktif dan mempunyai kapasitas yang lemah
dalam penanggulangan bencana.
Seluruh kondisi tersebut
merupakan hasil proses dinamis; antara lain (1) kebijakan pembangunan regional
tidak selaras alam dan lingkungan, (2) komunitas seluruh waktunya digunakan
untuk kepentingan ekonomi instan, dalam keterbatasan waktu, uang dan pikiran
untuk pemberdayaan, (3) pertumbuhan populasi yang tinggi, dan terbatasnya
dukungan untuk penanggulangan bencana. Pada akhirnya akar permasalahannya
adalah (1) tidak ada hukum positif dalam penanggulangan bencana, (2)
penanggulangan bencana dipahami sepotong-sepotong, dan (3) kebijakan bias dalam
perpektif penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana secara
menyeluruh, baik melalui pengurangan dampak maupun menghilangkan penyebab
bencana, bukan pekerjaan yang sederhana. Para pelaku perlu melakukan
transformasi penanggulangan bencana secara menyeluruh dan sinergis, baik secara
struktural maupun proses. Individu, keluarga, komunitas dan unit sosial yang
lebih tinggi, maupun pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan transformasi
perilaku, kebijakan, hukum dan institusi. Direkomendasikan para pihak melakukan
penanggulangan bencana dengan mereduksi kerentanan dan kondisi tidak aman,
tekanan-tekanan dinamis dan akar permasalahan.
Mengacu pada kerentanan dapat
dengan cara (1) meningkatkan kapasitas individu, keluarga dan komunitas dalam
melakukan penyesuaian dan adaptasi terhadap tipologi kawasan yang rendah dan
cekung, (2) membangun praktek penanggulangan bencana secara terprogram,
menyeluruh, multi pihak dan berbasis pada kebutuhan, (3) meningkatkan
keanekaragaaman aset dan sumberdaya masyarakat, (4) membangun organisasi
masyarakat di bidang penanggulangan bencana, (5) membangun keanekaragaman
produksi dan sumber pendapatan masyarakat, (6) membangun institusi
penanggulangan bencana di tingkat lokal.
Mengacu pada faktor-faktor
penekan dinamis yang ada, maka reduksi faktor penekan dapat dengan cara (1)
membangun kebijakan dan praktek pengaturan kelahiran, (2) membangun kebijakan
dan praktek pengelolaan sumberdaya yang peka lingkungan, tidak berorientasi
sesaat, adil dan mutualis. (3) membangun kebijakan dan praktek pengelolaan tata
ruang yang peka permasalahan lingkungan, holistik, dan tidak berorientasi
sesaat (4) memperkuat hubungan antar keluarga, dan unit sosial di atasnya (5)
membangun kebijakan, praktek dan institusi penanggulangan bencana secara utuh
di tingkat pemerintah daerah.
K. Peran Penganggaran
Pada kondisi kita
saat ini yang terbiasa dengan mekanisme “top-down”, proses partisipasi
alias “bottom-up” tidak akan mudah muncul dengan sendirinya. Pemerintah
sebagai pemilik mandat utama dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana perlu
mendorong proses tersebut, dan memperbesar ruang peran masyarakat. Karena
penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan penyelenggaraan pembangunan, maka mekanisme musyawarah perencanaan
pembangunan desa sampai tingkat kabupaten misalnya, dapat digunakan sebagai
salah satu mekanisme perencanaan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Tidak cukup ruang
peran dalam partisipasi, tetapi perlu alokasi dana yang cukup untuk memperbesar
peran tersebut. Misalnya melalui alokasi dana desa (ADD) yang memadai bagi desa
kawasan rawan bencana maupun SKPD-SKPD yang berhubungan erat dengan
penyelenggaraaan penanggulangan bencana. SKPD pertanian, kehutanan, pendidikan,
kepemudaan dan olahraga adalah contoh-contoh SKPD yang dapat digunakan untuk
memperbesar peran tersebut.
Partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana juga dapat dilakukan dengan
memperbesar pos-pos anggaran yang dimungkinkan digunakan untuk itu, misalnya
melalui pos kegiatan kepemudaan dan olahraga. Tentu sangat tidak adil apabila
dana kegiatan keolahragaan di suatu kabupaten yang rawan bencana mencapai 10
milyar, sementara dana untuk kegiatan kepemudaan hanya 1 milyar.
Padahal jelas-jelas
partisipasi pemuda untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana hanya dapat
digunakan melalui kegiatan kepemudaan, baik Pramuka, Karang Taruna, Palang
Merah Indonesia dan lainnya. Bukan memalui kegiatan olahraga. Mengapa dana
olahraga besar? Ah, rupanya alokasi yang besar itu diperlukan karena kita harus
membayar pemain asing untuk sepakbola. Hati kita yang dapat menjawab: itu sesat
pikir atau tidak?