BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerajaan
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan maritim besar pada masanya yang
menguasai jalur perdagangan di selat Malaka khususnya dan jalur perdagangan di
Asia Tenggara pada umumnya. Jalur perdagangan ini menghubungkan antara kawasan
Asia Timur yaitu Cina dengan kawasan Asia Barat seperi India dan Persia.
Keberadaan Sriwijaya sangat berperan penting dalam hubungan dagang tersebut.
Karena
berada di jalur perdagangan antar kawasan maka sebagian besar penduduk
Sriwijaya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Selain itu juga didukung
dengan wilayah Sriwijaya yang sebagian besar memiliki kawasan perairan sehingga
kerajaan ini dijuluki kerajaan maritim.
1.2 Maksud dan Tujuan
Makalah
ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah
Asia Tenggara.
Adapun
maksud pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
- Menguraikan
Sejarah yang terjadi di Asia Tenggara.
- Mendeskripsikan
Salah satu kerajaan yang pernah berdiri di kawasan Asia Tenggara yaitu kerajaan
Sriwijaya.
1.3 Sistematika Makalah
Terdiri dari :
I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Maksud dan Tujuan
1.3 Sistematika Makalah
II.
Pembahasan
III.
Penutup
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB
II
PEMBAHASAN
Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah
disebut sebagai kerajaan maritim yang menguasai jalur dagang di Laut Cina
Selatan dan Selat Malaka. Kerajaan ini menjadi aktor utama dan mampu
memanfaatkan posisi strategisnya dalam perdagangan antara Cina dan India.
Informasi tentang kerajaan Sriwijaya
diperoleh dari sumber - sumber asing dan dalam negeri. Sumber dalam negeri
berupa prasasti - prasasti seperti berikut ini :
1.
Prasasti Kedukan Bukit (683 M) di Palembang
2. Prasasti
Talang Tuo (684 M) di Palembang
3.
Prasasti Kotakapur (686 M) di Pulau Bangka
4.
Prasasti-prasasti Siddhayatra (tidak berangka tahun) di
Palembang
5.
Prasasti Telaga Batu (683 M) di Palembang, dan
6.
Prasasti Karang Birahi (tidak berangka tahun) di Jambi
Sumber –
sumber asing diperoleh dari Cina, India (antara lain Prasasti Nalanda, dan
Cola), Srilangka, Arab, dan Parsi, serta Prasasti Ligor, Tanah Genting Kra,
Malaysia yang berangka tahun 775 M.
Kerajaan
Sriwijaya bercorak Budha dan menjadi pusat kajian agama Budha di Asia Tenggara.
Berdasarkan catatan
perjalanan pendeta Budha Cina bermana I-Tsing banyak pelajar Cina yang hendak
belajar agama Budha di India belajar terlebih dahulu dasar-dasar agama Budha di
Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Pada zaman keemasannya, kota Palembang
menjadi pusat peziarah pendeta Budha. Kemungkinan, bahasa Melayu telah menjadi
bahasa pengantar dalam sistem pendidikan Sriwijaya. Berdasarkan beberapa
prasasti yang ditemukan di Palembang, bahasa yang digunakan dalam
prasasti-prasati tersebut bukan bahasa Sansekerta melainkan bahasa Melayu kuno.
Dengan demikian, kerajaan ini telah mengembangkan bahasa sendiri tanpa
menggunakan bahasa asing.
Penduduk
kerajaan yang pada umumnya menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan dan
pedagang lebih bersifat terbuka terhadap pengaruh asing. Mereka bisa
berkomunikasi dan bergaul dengan berbagai bangsa yang menyinggahi
pelabuhan-pelabuhan dagang di Sriwijaya. Meskipun menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar, mereka juga mengadopsi budaya dari India, seperti
penggunaan nama-nama India, adat istiadat, serta tradisi dalam agama Budha.
Pada masa
pemerintahan Balaputra Dewa, kerajaan Sriwijaya mengalami perkembangan pesat
yang ditandai dengan tumbuhnya perdagangan di perairan Sriwijaya sebagai jalur
dagang internasional. Raja-raja Sriwijaya memiliki pandangan jauh mengenai
pemanfaatan posisi strategis kerajaannya di jalur perdagangan internasional.
Untuk memajukan perdagangan, ibukota yang semual terletak di Palembang
dipindahkan ke Minanga Tamwan, suatu daerah pertemuan antara Sungai Kampar
Kanan dan Kampar Kiri. Daerah ini dianggap lebih strategis dibandingkan dengan
Palembang.
Pada tahun
775 M, seperti tertera dalam Prasasti Ligor, Sriwijaya membangun ibukota baru
di Semenanjung Malaysia. Tujuannya agar pemerintah lebih mampu mengawasi
keghiatan dagang di Selat Malaka serta untuk mencegah para pedagang memotong
jalur darat melewati Tanah Genting Kra. Dengan demikian, semua pedagang yang
berasal dari Cina atau Asia Tenggara yang menuju Sriwijaya dan India atau
sebaliknya harus melewati Selat Malaka, selat yang dikuasai oleh Sriwijaya.
Kegiatan
dagang telah meningkatkan tarap kemakmuran Sriwijaya. Menurut berita dari Cina,
raja-raja Sriwijaya sangat terkenal karena kekayaannya. Menurut sebuah legenda
Cina, salah seorang raja Sriwijaya telah membuang sebungkal emas ke kolam pada
setiap hari ulang tahunnya. Legenda ini, walaupun diragukan kebenarannya,
menunjukkan bahwa raja-raja Sriwijaya mengalami kemakmuran karena kegiatan
dagang.
Di bidang pendidikan serta kajian ajaran Budha,
kerajaan ini bukan hanya pusat pendidikan Budha dengan mendatangkan pelajar
dari luar negeri melainkan juga mengirimkan pelajar-pelajarnya untuk belajar
agama Budha dan ilmu pengetahuan di India. Berdasarkan
berita yang termuat dalam Prasasti Nalanda (India), hubungan raja Sriwijaya,
Balaputra Dewa, dengan raja Benggala, India, bernama Raja Dewapaladewa, sangat
erat. Raja dari India menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan asrama bagi
pelajar dari Sriwijaya yang belajar di Nalanda. Raja-raja Sriwijaya yang
terbuka terhadap pengaruh asing memiliki pandangan positif untuk memajukan rakyatnya
dengan belajar dari negara lain, India. Hasilnya adalah lahirnya beberapa
pelajar terkemuka yang menguasai ilmu pengetahuan serta bidang agama Budha.
Hubungan
diplomatik dengan kerajaan Cola, India, juga terpelihara dengan baik, sebelum
kerajaan ini menyerangnya pada abad ke-11. ketika hubungan baik terpelihara,
salah seorang raja Sriwijaya, telah memberikan hadiah sebuah desa untuk
diabdikan kepada sang Budha di Cola. Begitu juga hubungan dengan kerajaan Cina
di Utara. Pada abad ke-11, maharaja Sriwijaya membantu membiayai sebuah
perbaikan kuil milik penganut Taois di kanton. Hubungan baik dengan negeri Cina
dianggap penting agar negeri tersebut tidak menjalin perjanjian dagang langsung
dengan negara-negara saingan Sriwijaya. Hasil dari hubungan tersebut adalah
terpeliharanya barang-barang dagangan Sriwijaya dari ancaman kerugian yang
disebabkan oleh penentuan harga pihak pedagang lain. Hubungan luar negeri yang
bersifat aktif tersebut menunjukkan peran besar Sriwijaya dalam menjalin
persahabatan dengan negara-negara tetangga.
Berdasarkan
prasasti-prasasti yang ditemukan di Sumatera, raja-raja Sriwijaya sangat taat
dalam menjalankan ajaran Budha serta sangat keras sikapnya terhadap pelanggaran
– pelanggaran yang dilakukan oleh raja-raja kecil taklukkannya. Sikap keras
juga ditujukan terhadap para pelanggar aturan raja, termasuk anggota keluarga
raja. Sikap demikian diperlukan agar
segala aturan dalam negara maritim ini bisa ditegakkan serta kegiatan dagang
bisa berjalan dengan baik. Untuk mempertahankan perannya sebagai negara dagang,
kerajaan ini menjalin hubungan diplomatik serta menunjukkan sikap ekspansif
terhadap negara tetangganya. Hubungan baik dengan negara tetangganya tidak
selamanya bisa dipertahankan karena sikap ekspansif tersebut.
Negara – negara tetangga yang semula bersikap
positif menaruh curiga terhadap tindak tanduk Sriwijaya. Pada abad ke-11,
Sriwijaya mendapat serangan dari kerajaan Cola, India, yang berambisi menguasai
Selat Malaka. Dalam serangan itu raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama
Wijayattunggawarman ditawan. Namun, kerajaan ini masih tetap eksis dan tetap
bisa menguasai jalur dagang di Selat Malaka. Pada abad ke-13, salah satu
taklukkan Sriwijaya, yaitu kerajaan Melayu, berhasil dikuasai Singasari,
kerajaan dari Jawa yang dipimpin oleh Raja Kertanegara. Melalui ekspedisi
Pamalayu, Raja Kertanegara berhasil menjalin hubungan baik dengan kerajaan
Melayu, sementara kerajaan Sriwijaya yang mulai lemah tidak bisa mencegah
negara taklukkannya menjalin hubungan dengan negara saingan di Jawa. Kelemahan
Sriwijaya benar-benar bisa dimanfaatkan oleh kerajaan Sukhodaya dari Thailand
di bawah raja Kamheng. Wilayah Sriwijaya semenanjung Malaysia, berhasil direbut
sehingga selat Malaka bisa dikontrolnya. Pada akhir abad ke – 14, Sriwijaya benar-benar
runtuh akibat serangan Majapahit dari Jawa.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kerajaan Sriwijaya
sebagai salah satu kerajaan yang pernah berdiri dan berkuasa di kawasan Asia
Tenggara khususnya di Kawasan Selat Malaka memiliki peranan penting di kawasan
tersebut. Selat Malaka mengalami perkembangan pesat sebagai salah satu jalur perdagangan
baik antar pedagang yang datang dari dari Asia Timur seperti dari Cina hingga
pedagang yang berasal kawasan Asia Barat seperti Gujarat, Persia.
Perkembangan Kerajaan Sriwijaya tidak
didukung dengan pertahanan kerajaan yang kuat. Selain itu dengan semakin
banyaknya kerajaan-kerajaan kecil taklukkan Sriwijaya banyak yang memberontak
sehingga hal ini menyebabkan kekuatan Sriwijaya menjadi lemah. Sriwijaya
kemudian diserang oleh kerajaan dari Thailand serta kerajaan Majapahit sehingga
Sriwijaya menjadi hancur.
DAFTAR PUSTAKA
Ratmaningsih, (1995), Sejarah Nasional dan Umum, Bandung: Ganeca Exact
Supriatna, N., (1997), Sejarah Nasional Indonesia dan Umum, Bandung:
Grafindo Media Pratama