BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan
keluarga merupakan tempat seseorang memulai kehidupannya. Keluarga membentuk
suatu hubungan yang sangat erat antara ayah, ibu dan anak. Hubungan tersebut
terjadi karena anggota keluarga saling berinteraksi. Dari lingkungan itulah
anak mengalami proses pendidikan dan sosialisassi awal.
Keluarga
memberikan pendidikan pertama bagi anak. Sifat dan tabiat anak seebagian besar
di ambil dari kedua orang tuanya, dengan kata lain sifat dan kepribadian anak
merupakan cerminan perilaku atau didikan orang tuanya. Namun terkadang orang
tua tidak mengetahui apa peranan mereka selaku keluarga dalam mendidik
anak sebagai lembaga pendidikan pertama. Maka dari itu makalah ini saya
berjudul “perana keluarga dalam mendidik anak sebagai lembaga pendidikan
pertama” untuk mengetahui apa peran keluarga,bagaimana peran keluarga dan apa Manfaat peran keluarga dalam mendidik anak
sebagai lembaga pendidikan pertama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di
atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa peran keluarga dalam mendidik anak sebagai lembaga pendidikan pertama?
2.
Bagaimana pelaksanaan peran keluarga dalam mendidik anak sebagai lembaga
pendidikan pertama ?
3.
Bagaimana Pelaksanaan Pendidikan Integratif dalam keluarga ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa peran keluarga dalam mendidik anak sebagai lembaga
pendidikan pertama.
2.
Untuk mengetahui bagaiman pelaksanaan peran keluarga dalam mendidik anak
sebagai lembaga pendidikan pertama .
3.
Untuk mengetahui pendidikan integratif dalam keluarga.
D.Manfaat Penulisan
Untuk diketahui
oleh orang tua selaku keluarga bagaimana mereka menjalankan peranan keluarga
dalam mendidik anak sebagai lembaga pendidikan pertama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran
Keluarga dalam Mendidik Anak Sebagai Lembaga Pendidikan Pertama
Lingkungan keluarga merupakan
lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga inilah anak
pertamam-tama mendapatkan didikan dan bimbingan. Juga di katakana lingkungan
yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak termasuk
peletak dasar bagi pendidikan ahlak dan pandangan hidup keagamaan adalah dalam
keluarga (Dalyono, 1997).
Factor
orang tua sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dalam belajar anak
karna. tinggi rendahnya pendidikan orang tua, besar kecil penghasilan, cukup
atau kurang perhatian dan bimbingan orang tua, rukung atau tidaknya kedua orang
tua, akrab tidaknya hubungan orang tua dengan anak-anak tenang atau tidaknya
situasi dalam rumah, semua itu turut mempengaruhi pencapaian hasil belajar anak
(Daryanto. 2010).
Di dalam pasal 1 UU perkawinan
Nomor 1 tahun 1974, dinyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagian dan sejahterah, berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Anak yang lahir dari perkawinan ini adalah anak yang sah menjadi hak
serta tanggung jawab kedua orang tuanya memelihara dan mendidiknya, dengan
sebaik-baiknya . kewajiban kedua orang tua mendidik anak ini terus berlanjut
sampai ia di kawinkan atau dapat berdiri sendiri, bahkan menurut pasal 45 ayat
2 UU perkawinan ini , kewajiban dan tanggung jawab orang tua akan kembali
apabila perkawinan antara keduanya putus sesuatu hal. Maka anak ini kembali
Keluarga
merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat dimana ia menjadi
diri pribadi atau. Sebagai mana dalam teori Sigmun freud yang menyatakan bahwa
“ Das ueber ich” atau aspek sosiologis dan nilai-niai
tradisional serta cita-cita masyarakat bagaimanadi tafsirkan orang tua terhadap
anaknya.
Disamping
itu merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada
tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tertinggi dengan demikian jelaslah
bahwa orang yang pertama dan utama bertanggung jawab terhadap kelangsungan
hidup dan pendidikan anak adalah orang tua.
B. Pelaksanaan
Peran Keluarga dalam mendidik Anak Sebagai Lembaga Pendidikan Pertama
1. Cara keluarga menjalankan fungsi dan
peranannya dalam mendidik anak yaitu:
a. Memberikan pengalaman pertama pada masa
kanak-kanak
Di dalam
keluarga anak didik mulai mengenal hidupnya. Hal ini harus di sadari dan di
mengerti oleh tiap keluarga, bahwa anak dilahirkan di dalam lingkungan keluarga
yang tumbuh dan berkembang sampai anak melepaskan diri dari ikatan keluarga.
Lembaga
pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama yang merupakan factor
penting dalam perkembangan pribadi anak. Suasana penidikan keluarga ini sangat
penting di perhatikan, sebab dari sinilah keseimbangan jiwa didalam perkembangan
individu selanjutnya ditentukan.
kehadiran
anak didunia ini disebabkan hubungan kedua orang tuanya. Mengingatkan orang tua
adalah orang dewasa, maka merekalah yang bertanggung jawab memelihara
eksistensi anak untuk menjadikannya kelak sebagai seseorang
pribadi, tetepi juga memberikan pendidikan anak sebagai individu yang tumbuh
dan berkembang. karna seseorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak
berdaya, dalam keadaan penuh ketergantungan dengan orang lain, tidak mampu
berbuat apa-apa bahkan tidak mampu menolong dirinya sendiri. Ia lahir dalam
keadaan suci bagaikan meja lilin berwarna putih( a sheet of white paper
avoid of all characters) Atau yang lebih dikenal dengan istilah
tabularasa. Di dalam islam
secara jelas bahwa Nabi Muhammad SAW bahwa ”Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci, maka orang tuanya yang dapat menjadikannya yahudi,nasrani atau
majusi”.
b. Menjamin kehidupan emosional anak
Suasana di dalam
keluarga merupakan suasana yang diliputi rasa cinta dan simpati yang
sewajarnya, suasana yang aman dan tentram, suasana percaya
mempercayai. Untuk itulah melalui pendidikan keluarga ini, kehidupan emosional
atau kebutuhan anak akan rasa kasih sayang dapat dipenuhi atau dapat berkembang
dengan baik hal ini di karenakan adanya hubungan darah antara pendidik dengan
anak didik. Namun sering kali terdapat klainan-kelainan dalam perkembangan
emosional di antaranya:
1)
Anak yang sejak kecil di pelihara di panti asuhan, umumnya
mengalami kelainan dalam sistem perkembangan emosionalnya misalnya: pemalu,
agresif dan lain-lain.
2)
Banyak terjadi kejahatan yang diteliti menunjukan bahwa,tumbuhnya kejahatan
itu disebabkan kurangnya kasih sayang yang di peroleh anak dari orang tua.
Dengan
demikian anak tidak akan berkesempatan untuk mendapatkan perhatian dari orang
tuanya. Padahal adahal anak sangat membutuhkan dorongan dari orang tua
bila anak sedang belajar.
c. Menanamkan dasar
pendidikan moral
Keluarga
juga merupakan penanam nilai moral dasar pada anak. Perilaku orang tua
merupakan teladan bagi anaknya. hubungan ini Ki Hajar Dewantata menyatakan
bahwa “Rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaaan jiwa yang
pada umumnya sanagt berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan, teristimewa
pendidikan budi pekerti terdapatlah dalam keluarga dalam sifat yang kuat dan
murni, sehingga tak dapat pusat-pusat pendidikan lainnya menyamainya”.
d. Memberikan dasar
pendidikan sosial
Di dalam
keluarga merupakan basis penting dalam meletakan dasar-dasar pendidikan moral. Sebab pada dasarnya keluarga
merudakan lembaga sosial resmi sosial pada anak dapat di pupuk sedini
mungkin, terutama lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa tolong-menolong,
menolong saudara atau tetengga yang sakit, bersama-sama menjaga ketertiban,
kedamaian, kebersihan dan keserasian dalam segala hal.
e. Peletak
dasar-dasar keagamaan
Untuk
merespkan dasar-dasar hidup beragama. Anak-anak seharusnya dibiasakan ikut
serta ke masjid berama-sama untuk menjalankan ibadah, mendengarkan
ceramah. Kegiatan ini besar sekali pengaruhnya terhadaap kepriban anak karna
anak dapat mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.
Namun apabila hal tersebut tidak ditanamkan sejak dini maka setelah dewasa
mereka tidak ada perhatian terhadap hidup keagamaan.
C. Pendidikan Integratif Dalam Keluarga
Ada delapan sisi yang harus ditanamkan dalam proses
pendidikan integratif dalam keluarga, yaitu pendidikan iman, pendidikan moral,
pendidikan fisik, pendidikan intelektual, pendidikan emosi (psikis), pendidikan
sosial, pendidikan seksual, dan pendidikan politik.
a) Pendidikan Iman
Pendidikan iman merupakan pondasi yang kokoh bagi
seluruh bagian-bagian pendidikan. Pendidikan iman ini yang akan membentuk
kecerdasan spiritual. Komitmen iman yang tertanam pada diri setiap anggota
keluarga akan memungkinkannya mengembangkan potensi fitrah dan beragam bakat.
Yang dimaksud dengan keimanan adalah keyakinan akan keberadaan Tuhan Yang Maha
Esa, Tuhan Yang Maha Melihat perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Membalas
perbuatan manusia, Tuhan Yang Maha Adil dalam memberikan hukuman dan
pembalasan, Tuhan Yang Maha Mengetahui segala apa yang tampak dan tersembunyi.
Inilah hakikat iman yang paling fundamental. Setiap orang merasa dirinya berada
dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan.
Perasaan bertuhan menjadi sebuah landasan imunitas
bagi semua manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seorang ayah akan
bekerja dengan benar untuk menghidupi keluarganya karena merasa diawasi oleh
Tuhan Yang Maha Melihat. Seorang pejabat akan menunaikan amanah dengan benar, tidak
menyalahgunakan wewenang walaupun ada banyak kesempatan ditemui, karena merasa
diawasi oleh Tuhan.
Nilai-nilai keimanan harus dijadikan perhatian utama
dalam membentuk imunitas keluarga dalam menghadapi arus globalisasi. Penanaman
nilai-nilai keimanan dalam keluarga merupakan pengamalan Pancasila khususnya
sila pertama. Apabila iman sudah tertanam dengan kuat, akan melahirkan pula
kepatuhan manusia terhadap hukum dan aturan yang datang dari Tuhan. Semua hukum
dan aturan yang diberikan oleh Tuhan untuk manusia adalah untuk kebaikan
kehidupan manusia dan menghindarkan manusia dari kerusakan. Keluarga dibiasakan
dan dilatih untuk mentaati hukum dan aturan dari Tuhan, agar kehidupan
yang terbangun dapat berada dalam jalan yang benar.
Lebih jauh lagi, keimanan juga membentuk pemikiran dan
cara pandang yang khas, yaitu manusia dalam memandang segala sesuatu dengan
perspektif ketuhanan. Sebagai manusia beragama, semestinya dituntut memandang
segala sesuatu dengan cara pandang yang bertuhan. Pragmatisme dan perbuatan
fatalistik yang banyak dilakukan masyarakat saat menghadapi kesulitan hidup,
merupakan contoh pemikiran dan cara pandang yang mengabaikan ketuhanan
b) Pendidikan Moral
Pendidikan moral akan menjadi bingkai kehidupan
manusia, setelah memiliki landasan kokoh berupa iman. Pada saat masyarakat
mengalami proses degradasi moral, maka penguatan moralitas melalui pendidikan
keluarga menjadi semakin signifikan kemanfaatannya. Pada hakekatnya moral
adalah ukuran-ukuran nilai yang telah diterima oleh suatu komunitas(4). Moral
berupa ajaran-ajaran atau wejangan, patokan-patokan atau kumpulan peraturan
baik lesan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar menjadi manusia yang baik. Setiap agama memiliki doktrin moral, setiap
budaya masyarakat juga memiliki standar nilai moral, yang apabila itu
diaplikasikan akan menyebabkan munculnya kecerdasan moral pada indiviudu,
keluarga maupun masyarakat dan bangsa.
Pendidikan dalam keluarga juga tidak cukup sebatas
upaya preventif terhadap munculnya ketidakbaikan. Eksplorasi optimal terhadap
potensi-potensi kebaikan harus dimunculkan secara seimbang dalam keluarga.
Pendidikan moral sangat penting membiasakan kebiasaan yang baik dalam hubungan
antara manusia dengan manusia yang lainnya, dan antara manusia dengan alam dan
lingkungannya. Karena perbuatan baik manusia tidak hanya diatur dan digerakkan
oleh faktor hukum, namun juga oleh faktor etika moral atau akhlak. Misalnya
ajaran agar berlaku baik kepada tetangga, lebih bercorak ajaran moral daripada hukum.
Kalau hukum mengatur dengan sangat detail tentang ketentuan pelaksanaan dan
pelanggaran, sedangkan aspek moral lebih bernuansa membangun kesadaran
bertindak.
c) Pendidikan Emosi
Pendidikan emosi (psikis) membentuk berbagai karakter
positif kejiwaan, seperti keberanian, kejujuran, kemandirian, kelembutan, sikap
optimistik, dan seterusnya. Karakter ini akan menjadi daya dorong manusia
melakukan hal-hal terbaik bagi urusan dunia dan akhiratnya. Memasuki abad 21,
paradigma lama tentang anggapan bahwa IQ (Intelligence/Intelectual Quotient)
sebagai satu-satunya tolok ukur kecerdasan, yang juga sering dijadikan
parameter keberhasilan dan kesuksesan kinerja Sumber Daya Manusia, digugurkan
oleh munculnya konsep atau paradigma kecerdasan lain yang ikut menentukan
terhadap kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya(5).
Menurut Goleman(6), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and
its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Menurut Goleman, orang-orang yang hanya memiliki
kecerdasan akademis tinggi, mereka cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak
beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan
cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila
didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang
seperti ini sering menjadi sumber masalah, karena cenderung akan terlihat
sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah
percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung
putus asa bila mengalami stress.
Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan
pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John
Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas
emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer
mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut emotional
quotient (EQ) sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan
pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan”(7).
d) Pendidikan Fisik
Pendidikan fisik atau pendidikan jasmani tak kalah
penting untuk mendapat perhatian. Keluarga harus menampakkan berbagai kekuatan,
termasuk kekuatan fisik: agar tubuh menjadi sehat, bugar dan kuat. Pendidikan
jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan
aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu,
baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Meminjam ungkapan
Robert Gensemer(8), pendidikan jasmani diistilahkan sebagai proses menciptakan
“tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik
‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi
Kuno: men sana in corporesano.
Di antara tujuan pendidikan fisik adalah mengembangkan
keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan
kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan
olahraga yang tepat, serta meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan
psikis yang lebih baik. Di antara metoda pendidikan fisik dalam keluarga
adalah pembiasaan pola hidup sehat, baik dari segi pola makan, pola istirahat,
pola kegiatan, maupun dengan kegiatan olah raga yang teratur. Keluarga adalah
lembaga pertama dalam mengembangkan pendidikan fisik ini bagi seluruh anggota
keluarga.
e) Pendidikan Intelektual
Perilaku anarkistis di sekitar kita tampak marak yang
ditandai dengan amuk massa, tingkah suporter sepak bola sampai tawuran
antarsiswa dan mahasiswa, ataupun gerakan unjuk rasa mahasiswa yang berujung
bentrokan dengan aparat keamanan. Emosi massa seakan mudah tersulut, akal sehat
seakan hilang dalam budaya kita yang dulu terkenal santun. Tak terkecuali
berlaku bagi kelompok masyarakat elite dan berpendidikan. Kita membutuhkan
pendidikan yang mampu memoles nalar sehat masyarakat kita. Ranah intelektual
harus menjadi perhatian dalam proses pendidikan integratif dalam keluarga,
selain sisi iman, moral, maupun emosional.
Menurut AS. Hornby, “intellectual is having or
showing good reasoning power”(9). Dengan demikian, seseorang yang mempunyai
kematangan intelektual adalah orang yang mampu menghadapi segala persoalan
dengan nalar logika, melakukan pertimbangan-pertimbangan yang logis,
sistematis, dan efisien. Selain itu, seorang intelektual mampu melahirkan
gagasan-gagasan baru, dapat menerima kritikan orang lain, dan mampu menguasai
gramatikal bahasa. Jadi, kematangan intelektual dinilai dari seberapa jauh
seseorang menggunakan intelegensinya, bukan dari tingkat perkembangan
mentalnya.
Menciptakan kematangan intelektual adalah tugas
keluarga dengan lingkungan yang kondusif, selain sekolah yang tentu sangat
berperan dalam proses pematangan intelektual. Jika belajar dari negara Jerman,
calon mahasiswa perguruan tinggi di Jerman dituntut telah mencapai hochschulreife,
artinya kematangan, baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh
studi akademis. Pendidikan dalam keluarga berorientasi pada kematangan
intelektual, agar anggota keluarga memiliki kesiapan untuk menghadapi berbagai
kondisi dalam kehidupan dengan nalar yang sehat dan matang.
Secara konseptual, kematangan intelektual dapat
dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa(10). Matematika dapat memberikan
cara bernalar logis dan kritis, sedangkan bahasa sebagai sarana bertutur dan
menulis. Selain itu, diperlukan pula penggunaan metode pembelajaran yang tepat
sehingga pembelajaran dapat terintegrasi dengan baik.
f) Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial bermaksud menumbuhkan kepribadian
sosial anggota keluarga, agar mereka memiliki kemampuan bersosialisasi dan
menebarkan kontribusi positif bagi upaya perbaikan masyarakat. Pendidikan
sosial memunculkan solidaritas sosial yang pada gilirannya akan
mengoptimalkan peran sosial seluruh anggota keluarga.
Banyak kenyataan dalam kehidupan keseharian, anak yang
disibukkan dengan dunianya sendiri, asyik dengan kecanggihan teknologi, baik
itu playstation, handphone, komputer, atau benda teknologi lainnya.
Anak mengurung diri di rumah atau kamar, tidak banyak keluar rumah, sehingga
orang tua merasa tidak khawatir anaknya akan terkena pengaruh buruk dari
pergaulan di luar rumah. Padahal keasyikan semacam itu membuatnya kehilangan
kecerdasan sosial yang sangat diperlukan dalam kehidupan(11).
Kecerdasan intelektual memang sangat penting untuk
terus dikembangkan. Namun, kecerdasan yang tidak kalah pentingnya adalah
kecerdasan sosial. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering menyebabkan
dehumanisasi, karena telah meminimalisir interaksi sosial. Untuk berkomunikasi
dengan tetangga, teman, saudara, bahkan anggota keluarga sendiri, cukup
menggunakan sms, telpon, email, fesbuk, twitter, dan lain
sebagainya. Untuk itulah keluarga harus memberikan pendidikan sosial yang
memadai baghi seluruh anggotanya, agar memiliki kecerdasan sosial yang membuat
setiap anggota keluarga mampu berinteraksi sosial secara positif di lingkungan
masyarakat maupun lingkungan pergaulan lainnya.
g) Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual juga diperlukan dalam keluarga.
Kesadaran diri sebagai laki-laki atau perempuan penting untuk mendapatkan
perhatian sejak dini agar tidak menimbulkan bias. Pengertian tentang kesehatan
reproduksi bukan hanya diberikan kepada anak perempuan, tetapi juga kepada anak
laki-laki. Penghormatan satu pihak dengan pihak yang lainnya -antara laki-laki
dan perempuan- sehingga tidak terjadi dominasi laki-laki atas perempuan, adalah
kesadaran gender yang juga mesti ditumbuhkan.
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah
seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan
lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah
seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain
atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali.
Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat
remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan
dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi
yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri(12).
Menurut Sarlito(13), secara umum pendidikan seksual
adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan
benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran,
tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan
kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan
dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang
dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang
berlaku di masyarakat.
h) Pendidikan Politik
Pendidikan politik dalam keluarga juga penting untuk
mendapatkan perhatian. Sebenarnya kajian mengenai pendidikan politik telah
dimulai bersamaan dengan munculnya pandangan Plato dan Aristoteles yang
mengasumsikan pendidikan anak-anak itu serupa dengan tabiat negara. Pemikir
lainnya, Boden, dalam tulisan-tulisannya mengemukakan mengenai urgensi ketaatan
dalam institusi keluarga sebagai dasar ketaatan terhadap institusi
pemerintah(14).
Praktik pendidikan politik dalam institusi keluarga
dapat berlangsung dengan baik apabila didukung oleh berbagai perangkat dan
mekanisme. Yang paling penting di antaranya adalah, pertama, hierarki kekuasaan
dalam institusi keluarga, kedua, suasana keluarga, dan ketiga, bahasa, konsep
serta simbol-simbol. Hierarki kekuasaan dalam keluarga merupakan cara
pendidikan politik, karena institusi keluarga merupakan negara mini bagi
anak-anak. Bagi Dean Jaros dalam bukunya Socialization to
Politics, pengetahuan anak-anak tentang kekuasaan yang ada dalam
institusi keluarga merupakan awal pengetahuannya terhadap kekuasaan di dalam
negara dan kedudukannya di dalam negara(15).
Suasana keluarga juga memegang peranan penting dalam
pendidikan politik. Cinta, kasih sayang dan kemesraan hubungan yang diperoleh
anak-anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang dapat mencetak jiwa dan
perilaku sosial serta politik mereka(16). Sedangkan yang dimaksud dengan simbol-simbol
politik bukanlah simbol-simbol yang berkaitan dengan kekuasaan dan negara saja,
melainkan semua simbol budaya memiliki muatan makna politik.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Peranan Keluarga dalam Mendidik Anak
Sebagai Lembaga Pendidikan Pertama. Keluarga berkewajiban untuk mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Membentuk
kepribadin anak, mendidik anak dari segala sikap. Baik dari segi sosial,
agama dansebagainya yang berlanjut hingga dia dewasa atau dapat berdiri
sendiri.
2. Pelaksanaan Peranan Keluarga dalam
Mendidik Anak Sebagai Lembaga Pendidikan Pertama.
a. Memberi pengamalan pertama pada masa
kanak-kanak, yaitu memelihara eksistensi anak sejak dini, untuk
menjadikannya kelak sebagai pribadi yang baik.
b. Menjamin kehidupan emosional
anak, yaitu mengupayakan agar kebutuhan dan rasa kasih sayang dari
keluarga terhadap anak dapat terpenuhi.
c. Menanamkan dasar pendidikan moral,
yaitu memberikan teladan yang baik terhadap anak.
d. Memberi dasar pendidikan sosial,
yaitu mengajarkan untuk saling tolong-menolong, menjaga ketertiban, kedamaian,
kebersihan dansebagainya
3. Manfaat Peranan Keluarga Dalam
Mendidik Anak Sebagai Lembaga pendidikan pertama
b.Saran
Dengan terselesaikannya mikalah ini, di harapkan para
orang tua agar dapat memberikan mutu pendidikan yang layak bagi ankanya
karena keluarga adalah lingkungan
pendidikan pertama dan sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam
keluarga.Dengan demikian orang tua harus menjalankan peranannya sebaik mungkin,
dengan tidak mengharapkan sekolah sepenuhnya untuk pendidikan anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anishia Afianti, Nela. Peran Keluarga
dalam Pendidikan. http.//: Rahmatsangperba. Blogspot.com/2013/0
Dalyono, M. Psikologi Pendidikan.
Cet. I; Jakarta. Asdi Mahasatya. 1997
Daryanto. Belajar dan Mengajar.
Cet. I; Bandung. Yrama Widya. 2010
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan. Cet. XI; Jakarta. Rineka Cipta. 2013.
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan.
Cet. V; Jakarta. Rajawali Pers. 2004.