Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan
bersifat desentrasi. Desentrasi artinya pendidikan tidak hanya terpusat di ibu
kota Negara saja tetapi sudah dikembangkan secara otonom di daerah yang telah
dikuasai seiring dengan ekspansi teritorial. Sistem pendidikan ketika itu belum
memiliki tingkatan dan standar umur. Kajian ilmu yang ada pada periode ini
berpusat di Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota
lainnya, seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam),
Fistat (Mesir). Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran,
filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, ilmu sastra, dan seni
seperti seni bangunan, seni rupa, maupun seni suara.
Pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah telah
berkembang bila dibandingkan pada masa Khulafa ar Rasyidin yang ditandai dengan
semaraknya kegiatan ilmiah di masjid-masjid dan berkembangnya Khuttab serta
Majelis Sastra. Jadi tempat pendidikan pada periode Dinasti Umayyah adalah:
1. Khuttab
Khuttab atau Maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti
menulis atau tempat menulis, jadi Khuttab adalah tempat belajar menulis.
Khuttab merupakan tempat anak-anak belajar menulis dan membaca, menghafal Al
Quran serta belajar pokok-pokok ajaran Islam.
2. Masjid
Setelah pelajaran anak-anak di khutab selesai mereka melanjutkan
pendidikan ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid. Peranan Masjid sebagai
pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang
merasa dirinya tetap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada
orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Pada Dinasti Umayyah, Masjid
merupakan tempat pendidikan tingkat menengah dan tingkat tinggi setelah
khuttab. Pelajaran yang diajarkan meliputi Al Quran, Tafsir, Hadist dan Fiqh.
Juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung dan ilmu
perbintangan.
Diantara jasa besar pada periode Dinasti Umayyah dalam
perkembangan ilmu pengetahuan adalah menjadikan Masjid sebagai pusat aktifitas
ilmiah termasuk sya’ir. Pada masa ini, masjid sebagai tempat pendidikan terdiri
dari dua tingkat yaitu: tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pada tingkat
menengah guru belumlah ulama besar sedangkan pada tingkat tinggi gurunya adalah
ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan keahliannya. Umumnya
pelajaran yang diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang, baik di
Khuttab atau di Masjid tingkat menengah. Sedangkan pada tingkat pelajaran yang
diberikan oleh guru adalah dalam satu Halaqah yang dihadiri oleh pelajar
bersama-sama.
3. Majelis Sastra
Majelis sastra merupakan balai pertemuan yang disiapkan oleh
khalifah dihiasi dengan hiasan yang indah, hanya diperuntukkan bagi sastrawan
dan ulama terkemuka. Menurut M. Al Athiyyah Al Abrasy “Balai-balai pertemuan
tersebut mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan seseorang yang masuk
ketika khalifah hadir, mestilah berpakaian necis bersih dan rapi, duduk di
tempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak, tidak meludah, tidak
mengingus dan tidak menjawab kecuali bila ditanya. Ia tidak boleh bersuara
keras dan harus bertutur kata dengan sopan dan memberi kesempatan pada
sipembicara menjelaskan pembicaraannya serta menghindari penggunaan kata kasar
dan tawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai pertemuan seperti ini disediakan
pokok-pokok persoalan untuk dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan”.
4. Pendidikan Istana
Pendidikan istana diselenggarakan dan diperuntukkan khusus bagi
anak-anak khalifah dan para pejabat pemerintahan. Kurikulum pada pendidikan
istana diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan atau
hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintah,
maka kurikulumnya diatur oleh guru dan orang tua murid.
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukakan oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah. Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah: Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”.
Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkem\bangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling cemerlang.
Pada periode Dinasti Umayyah ini terkenal sibuk dengan pemberontakan dalam negeri dan sekaligus memperluas daerah kerajaan tidak terlalu banyak memusatkan perhatian pada perkembangan ilmiah, akan tetapi muncul beberapa ilmuwan terkemuka dalam berbagai cabang ilmu seperti yang dikemukakan oleh Abd. Malik Ibn Juraid al Maki dan cerita peperangan serta syair dan Kitabah. Dibidang syair yang terkenal dikalangan orang Arab diantaranya adalah tentang pujian, syairnya adalah: Artinya : “Engkau adalah pengendara kuda yang paling baik, engkau adalah orang yang pemurah di atas dunia ini”.
Periode Dinasti Umayyah pada bidang pendidikan, adalah menekankan ciri ilmiah pada Masjid sehingga menjadi pusat perkem\bangan ilmu pengetahuan tinggi dalam masyarakat Islam. Dengan penekanan ini di Masjid diajarkan beberapa macam ilmu, diantaranya syair, sastra dan ilmu lainnya. Dengan demikian periode antara permulaan abad ke dua hijrah sampai akhir abad ketiga hijrah merupakan zaman pendidikan Masjid yang paling cemerlang.
a. Umar
bin Abdul Aziz, ketika ia diangkat sebagai khalifah, progam utama
pemerintahannya terfokus pada usaha pengumpulan hadist untuk
dibukukan Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab
Az-zuhri seorang yang tepat dan siap melaksanakan perintah kholifah, maka ia
bekerja sama dengan perowi-perowi yang dianggap ahli untuk dimintai informasi
tentang hadist-hadist nabi yang berceceran ditengah masyarakat islam untuk
dikumpulkan, ditulis dan dibukukan.
b. Abu
Bakar Muhammad, dianggap pengumpul hadits yang pertama pada masa pemerintahan
Umar bin Abdul Aziz ini.Jejak Abu Bakar Muhammad, diikuti oleh generasi
dibawahnya, seperti Imam Malik menulis kumpulan buku hadist terkenal Muwatha’,
imam Syafii menulis Al-Musnad. Pada tahap selanjutnya, program pengumpulan
hadist mendapat sambutan serius dari tokoh-tokoh islam, seperti:
1) Imam
Bukhari, terkenal dengan Shohih Bukhari
2) Imam
Muslim, terkenal dengan Shohih Muslim
3) Abu
Daud, terkenal dengan Sunan Abu Daud
4) An
–Nasa’i, terkenal dengan Sunan An-Nasa’i
5) At-Tirmidzi,
terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi
6) Ibnu
Majah, terkenal dengan Sunan Ibnu Majah
Kumpulan para ahli hadist
tersebut diatas, terkenal dengan nama Kutubus Shittah.
Kendati pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan
hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai
pada awal abad ke-2 H, saat Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah menduduki
jabatan khalifah (717-720 M).
Faktor penyebabnya adalah kekhawatiran Khalifah bahwa
hadis berangsur-angsur akan hilang jika tidak dikumpulkan dan dibukukan. Ia
melihat bahwa para penghafal hadis semakin berkurang karena meninggal, dan
sudah berpencar ke berbagai wilayah Islam. Selain itu, pemalsuan hadis pun
mulai berkembang.
Dengan dukungan para ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, untuk
mengumpulkan hadis yang terdapat pada penghafal Amrah binti Abdurrahman dan
Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq (keduanya ulama besar Madinah yang
banyak menerima hadis dan paling dipercaya dalam meriwayatkan hadis dari Aisyah
binti Abu Bakar).
Di samping itu, Khalifah Umar juga memerintahkan Muhammad
bin Syihab az-Zuhri untuk mengumpulkan hadis yang ada pada para penghafal hadis
di Hijaz (Madinah dan Makkah) dan Suriah. Az-Zuhri adalah ulama besar dari
kelompok tabiin pertama yang membukukan hadis.
Sejak saat itu, perhatian para ulama hadis dalam
pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai berkembang, sehingga pada
abad ke-2 H dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya
Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah; Malik bin Anas atau Imam Malik
dan Muhammad bin Ishak di Madinah; ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan
Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra; Sufyan as-Sauri di Kufah;
Ma’mar bin Rasyid di Yaman; Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah);
Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran); Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak);
Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran); dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.Akan
tetapi, penulisan hadis pada masa ini, masih bercampur antara sabda Rasulullah
SAW dengan fatwa sahabat dan tabiin, seperti terlihat dalam kitab al-Muwatta’
yang disusun Imam Malik. Karena keragaman isi kitab hadis yang disusun pada
masa ini, para ulama hadis ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab hadis ini
termasuk kategori al-musnad (kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan nama
sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW).
Tetapi ada pula yang memasukkannya ke dalam kategori
al-Jami’ (kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum,
tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak,
serta perbuatan baik dan tercela) atau al-mu’jam (kitab yang memuat hadis
menurut nama sahabat, guru kabilah, atau tempat hadis didapatkan). Fase
penulisan hadis yang terkahir ini baru mulai berkembang akhir abad ke-2 H.
Pada periode selanjutnya, muncul para tabiin dan tabi’
at-tabi’in (generasi sesudah tabiin) yang memisahkan antara sabda Rasulullah
SAW dan fatwa sahabat serta tabiin. Mereka hanya menuliskan hadis yang
merupakan sabda Rasulullah SAW lengkap dengan sanad (periwayatan) yang disebut
al-musnad. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal adalah salah satu al-musnad yang
terlengkap dan paling luas. Akan tetapi hadis yang disusun dalam kitab-kitab
al-musnad ini masih mencampurkan hadis yang sahih, hasan, dan daif, bahkan
hadis maudu’ (palsu).
Di antara generasi pertama yang menulis al-musnad ini
adalah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Langkah ini diikuti oleh generasi
sesudahnya, seperti Asad bin Musa, Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Nu’aim
bin Hammad al-Khaza’i, Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali, Ishaq bin Rahawaih,
dan Usman bin Abi Syaibah.