Menurut Nugroho
(2008:25), komunitas merupakan sebuah istilah yang digunakan secara luas. Satu
konsep umum mengenai komunitas adalah bahwa suatu komunitas adalah harmonis,
mempunyai satu keselarasan minat dan aspirasi, dan terikat oleh nilai-nilai dan
tujuan yang sama. Definisi ini menunjukkan bahwa komunitas bersifat homogen.
Dalam kenyataannya, suatu komunitas dapat dibedakan secara sosial dan beragam.
Gender, kelas, kasta, kekayaan, usia, etnis, agama, bahasa, dan aspek-aspek
lain membedakan dan saling melengkapi dalam komunitas. Kepercayaan, minat, dan
nilai-nilai anggota komunitas dapat bertentangan satu sama lain. Oleh karena
itu, sebuah komunitas tidak perlu homogen.
Meskipun demikian,
mereka yang tinggal dalam sebuah komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas
yang berbeda-beda, misalnya laki-laki dan perempuan. Ada yang mungkin lebih
rentan atau lebih mampu dari yang lain.
Partisipasi komunitas
merupakan suatu proses untuk memberikan wewenang lebih luas kepada komunitas
untuk secara bersama-sama memecahkan berbagai persoalan. Pembagian kewenangan
ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan komunitas dalam kegiatan
tersebut.
Selanjutnya
partisipasi komunitas bertujuan untuk mencari jawaban atas masalah dengan cara
lebih baik, dengan memberi peran komunitas untuk memberikan kontribusi sehingga
implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efesien, dan berkelanjutan.
Partisipasi komunitas dilakukan mulai dari tahapan kegiatan pembuatan konsep,
konstruksi, operasional-pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan. Tingkat
partisipasi komunitas dalam kegiatan penanggulangan bencana terdiri dari 7
(tujuh) tingkatan yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (1)
penolakan; (2) berbagi informasi; (3) konsultasi tanpa komentar; (4) consensus
dan pengambilan kesepakatan bersama; (5) kolaborasi; (6) berbagi penguatan dan
risiko; dan (7) pemberdayaan dan kemitraan. Lebih lanjut tingkat partisipasi
ini dapat diperkuat dari kecenderungan partisipasi yang bermakna ”untuk”
komunitas, menjadi ”bersama” komunitas, dan akhirnya ”oleh” komunitas.
Seterusnya, ada
berbagai pemangku-kepentingan (stakeholder) dan aktor dalam proses
pengelolaan risiko bencana oleh komunitas. Pemangku-kepentingan pengelolaan
bencana secara umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) penerima manfaat,
komunitas yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung,
(ii) intermediari, kelompok komunitas, lembaga atau perseorangan yang dapat
memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam pengelolaan bencana antara lain:
konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang kebencanaan, dan (iii) pembuat
kebijakan, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan
hukum seperti lembaga pemerintahan dan dewan kebencanaan.
Kemudian penentuan
dan pemilahan pemangku kepentingan dilakukan melalui 4 (empat) tahap proses
yaitu: (a) identifikasi pemangku-kepentingan ; (b) penilaian ketertarikan
pemangku-kepentingan terhadap kegiatan penanggulangan bencana ; (c) penilaian
tingkat pengaruh dan kepentingan setiap pemangku-kepentingan ; dan (d)
perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam penanggulangan bencana
pada setiap fase kegiatan. Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan
kegiatan pembelajaran dan meningkatkan potensi komunitas untuk secara aktif
berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan memiliki
kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam
kegiatan penanggulangan bencana.
Selanjutnya peran
komunitas dalam proses pembangunan adalah penting karena dalam kenyataannya
tidak seorang pun yang dapat memahami kesempatan dan hambatan di tingkat lokal
selain komunitas setempat itu sendiri, dan tidak seorang pun lebih tertarik
untuk memahami urusan setempat selain komunitas yang keberlanjutan hidup dan
kesejahteraannya dipertaruhkan. Oleh karena komunitas tempatan harus dilibatkan
dalam identifikasi dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan kerentanan
terhadap bencana dan informasi harus diperoleh dengan cara dan bahasa yang
dapat dipahami oleh komunitas.
Semakin banyak bukti
yang menunjukkan bahwa kebanyakan pengelolaan risiko bencana dan program
pengelolaan yang bersifat topdown gagal untuk mencakup kebutuhan
setempat khusus dari komunitas yang rentan, mengabaikan potensi sumber daya dan
kapasitas setempat, dan mungkin dalam beberapa kasus bahkan meningkatkan
ketergantungan sekaligus kerentanan komunitas dan sebagai hasilnya, para
praktisi pengelolaan risiko bencana telah menghasilkan suatu kesepakatan umum
untuk lebih memberikan penekanan pada program-program pengelolaan risiko
bencana oleh komunitas. Ini berarti bahwa komunitas yang rentan itu sendiri
yang akan dilibatkan dalam perencanaan pelaksanaan tindakan-tindakan
pengelolaan risiko bencana bersama dengan semua entitas tingkat lokal,
propinsi, dan nasional dalam bentuk kerja sama.
Tujuan penanggulangan
risiko bencana oleh komunitas adalah mengurangi kerentanan dan memperkuat
kapasitas komunitas untuk menghadapi risiko bencana yang mereka hadapi.
Keterlibatan langsung komunitas dalam melaksanakan tindakan-tindakan peredaman
risiko di tingkat lokal adalah suatu keharusan. Beberapa penulis membedakan
antara keikutsertaan komunitas dengan keterlibatan komunitas. Keikutsertaan dan
keterlibatan komunitas digunakan secara bergantian, yang berarti bahwa
komunitas bertanggungjawab untuk semua tahapan program termasuk perencanaan dan
pelaksanaan. Pada akhirnya, ujung dari partisipasi komunitas ini adalah
mewujudkan penanggulangan bencana oleh komunitas itu sendiri.
Pengalaman dalam
pelaksanaan penanggulangan bencana yang berorientasi pada pemberdayaan dan
kemandirian komunitas akan merujuk pada: (1) melakukan upaya pengurangan risiko
bencana bersama komunitas di kawasan rawan bencana, agar selanjutnya komunitas
mampu mengelola risiko bencana secara mandiri, (2) menghindari munculnya
kerentanan baru & ketergantungan komunitas di kawasan rawan bencana pada
pihak luar, (3) penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan
dari proses pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pemberlanjutan
kehidupan komunitas di kawasan rawan bencana, (4) pendekatan multisektor, multi
disiplin, dan multibudaya.
Lebih lanjut
penanggulangan risiko bencana berbasis komunitas dapat mengacu kepada hal-hal
penting berikut: (1) Fokus perhatian dalam pengelolaan risiko bencana adalah
komunitas setempat. (2) Peredaman risiko bencana adalah tujuannya. Strategi
utama adalah untuk meningkatkan kapasitas dan sumber daya kelompok-kelompok
yang paling rentan dan mengurangi kerentanan mereka untuk mencegah terjadinya
bencana di kemudian hari. (3) Pengakuan adanya hubungan antara pengelolaan
risiko bencana dan proses pembangunan. Pendekatan ini beranggapan bahwa
menangani penyebab mendasar bencana, misalnya kemiskinan, diskriminasi dan marginalisasi,
penyelenggaraan pemerintahan yang lemah dan pengelolaan politik dan ekonomi
yang buruk, akan berperan dalam perbaikan menyeluruh kualitas hidup dan
lingkungan. (4) Komunitas adalah sumber daya kunci dalam pengelolaan risiko
bencana. Komunitas adalah aktor utama dan juga penerima manfaat utama dalam
proses pengelolaan risiko bencana. (5) Penerapan pendekatan multi-sektor dan
multi-disipliner; menyatukan begitu banyak komunitas lokal dan bahkan pemangku
kepentingan pengelolaan risiko bencana untuk memperluas basis sumber dayanya.
(6) Merupakan kerangka kerja yang berkembang dan dinamis.
Pelajaran yang
dipetik dari prakek-praktek yang telah ada terus mengembangkan teori. Pembagian
pengalaman, metodologi dan alat-alat oleh komunitas dan para praktisi terus
berlangsung untuk memperkaya praktek. (7) Mengakui bahwa berbagai komunitas
yang berbeda memiliki persepsi yang berbeda tentang risiko. Terutama laki-laki
dan perempuan yang mungkin mempunyai pemahaman dan pengalaman yang berbeda
dalam menangani risiko juga mempunyai persepsi yang berbeda tentang risiko dan
oleh karena itu mungkin mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana
meredam risiko. Adalah penting untuk mengenali perbedaan-perbedaan tersebut.
(8) Berbagai anggota komunitas dan kelompok dalam komunitas mempunyai
kerentanan dan kapasitas yang berbeda. Individu, keluarga, dan kelompok yang
berbeda dalam komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas yang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut ditentukan oleh usia, jender, kelas, pekerjaan (sumber penghidupan),
etnisitas, bahasa, agama dan lokasi fisik.