Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

Makalah konflik di Laut Cina Selatan, dilihat melalui pendekatan diplomasi preventif


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini, gambaran politik di kawasan Asia Pasifik cenderung bernuansa muram sekaligus memanas.Laut Cina Selatan yang menjadi titik tumpu geopolitik di kawasan Asia Pasifik sedang menjadi suatu pembicaraan tingkat internasional karena menyebabkan tersulutnya konflik antara sejumlah negara besar di Asia dan beberapa negara-anggota ASEAN.Inti masalah yang diperdebatkan adalah seputar klaim wilayah perbatasan (territorial zone).Hingga akhir tahun lalu, sengketa wilayah Laut Cina Selatan ini telah memberikan dampak yang cukup dramatis terhadap gelombang polarisasi kekuatan negara-negara yang bertikai. Persinggungan klaim kedaulatan dan menurut hukum wilayah di kawasan Laut Cina Selatan melibatkan enam negara yaitu: Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sifat pola interaksi antar setiap negara tersebut menjadi lebih konfliktual, dikarenakan kepentingan masing-masing negara terhadap kawasan Laut Cina Selatan.                     Menurut Biro Hidrografis Internasional, Laut Cina Selatan disebut sebagai perairan yang memanjang dari arah barat daya ke arah timur laut, berbatasan di sebelah selatan dengan 3° lintang selatan antara Sumatra dan Kalimantan dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan hingga ke arah pantai Fukien, Cina. Luas perairan meliputi sekitar 4.000.000 km2. Perairan ini terdiri dari beberapa gugusan pulau yang berjumlah sekitar 170 pulau kecil, karang,danbanks. Salah satu gugus pulau di perairan ini yang memiliki cadangan gas dan minyak berlimpah adalah pulau Spartlay dan Paracel.                                                Seiring dengan mencuatnya kabar mengenai kekayaan sumber daya alam yang berada di Laut Cina Selatan, sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negara-negara yang berbatasan langsung dengan kawasan ini untuk melegitimasi setiap wilayah yang diklaim atas kepemilikannya.Klaim tersebut merujuk hingga kepada faktor historis, perhitungan ekonomi dan pertimbangan geostrategis dari negara-negara yang terlibat.                                                                       Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang tidak terlibat secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Cina Selatan.Akan tetapi, Asia Tenggara merupakan lahan strategis bagi Indonesia yang memiliki sejumlah potensi regionalitas di dalam keanggotaan ASEAN.  Singkat kata, apabila stabilitas regional di dalam tubuh ASEAN terancam karena sengketa di kawasan Laut Cina Selatan, maka hal tersebut akan berdampak pada ketidaksesuaian terhadap kredibilitas dan postur keamanan ASEAN yang akan berpengaruh bagi Indonesia.                                                                                                      Pertimbangan atas konflik ini diperkirakan akan menimbulkan sebuah chaos apabila dibiarkan semakin memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia bukan merupakan aktor yang langsung terlibat di dalam sengketa wilayah ini, akan tetapi Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci yang dapat memberikan peran secara konstruktif dalam upaya penyelesaian masalah konflik di Laut Cina Selatan secara damai.                                     Merunut panjang waktu yang akan dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik di kawasan Laut Cina Selatan, maka diperlukan suatu upaya yang mampu untuk tetap menjaga stabilitas kawasan, keamanan hingga kondusifitas hubungan hingga akhirnya konflik ini dapat terselesaikan. Upaya yang Indonesia lakukan adalah melalui jalur diplomasi yang kemudian lebih dikenal sebagai langkah awal diplomasi preventif Indonesia. Salah satu cara dalam diplomasi preventif Indonesia adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa saling percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak yang bertikai.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa bentuk kebijakan luar negeri Indonesia pada saat ini terkait konflik di Laut Cina Selatan, dilihat melalui pendekatan diplomasi preventif?
C.    Tujuan Penulisan
1.      memahami lebih jauh mengenai langkah konkrit yang diambil berdasarkan keputusan pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia terkait konflik di kawasan Laut Cina Selatan.













BAB II
PEMBAHASAN
KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA DAN UPAYA DIPLOMASI PREVENTIF
A.     Deskripsi Konflik Klaim Wilayah di Kawasan laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan merupakan Kawasan lautan yang memiliki luas sekitar 648.000 persegi yang berada diantara kawasan Cina, Filipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Laut Cina Selatan dalam peta konflik dibedakan menjadi dua yaitu bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara laut cina selatan terdapat pulau pratas yang diklaim oleh Cina dan Taiwan, sedangkan kepulauan paracel yang diklaim oleh Cina, Taiwan dan Vietnam.Sebenarnya kepulauan paracel telah diduduki oleh Cina semenjak 1974. Bagian Selatan yang ditandai dengan kepulauan spartly di diperebutkan oleh enam negara sekaligus yaitu Cina, Taiwan, Filipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam.                                                                                                                  Klaim atas laut cina selatan oleh beberapa negara memiliki dasar hukum yang jelas yaitu 1928 United Nation Convention on the Law of the Sea (1928 UNCLOS).UNCLOS menetapkan bahwa kedaulatan teritorial laut adalah 12 mil dari tepi pantai dan Zona Ekonomik Eksklusif (EEZ) sejauh 200 mil. Hal ini penting karena negara yang memiliki kedaulatan atas pulau-pulau tersebut juga berhak memiliki sumber daya alam termasuk gas dan minyak bumi.Karena daerah ke-enam negara yang sedang bersengkata ini berdekatan sehingga terjadi tumpang tindih daerah batas laut yang menyebabkan terjadinya konflik.Sementara untuk Cina Klaim diataskan konteks sejarah.                                                                                                                            Namun perebutan Laut Cina Selatan tidak hanya dilatarbelakangi oleh perebutan daerah kekuasaan saja.Motivasi dari usaha klaim ini beragam namun faktor yang paling menonjol adalah ekonomi. Keuntungan yang akan didapatkan dapat berupa minyak, gas, ikan dan sumberdaya mineral. Cadangan minyak potensial Laut China Selatan sebanyak 213 milyar barrel dan sumber daya hidro karbon Laut China Selatan yang sering dilupakan adalah gas alam.Bahkan gas alam diperkirakan sebagai sumber daya hidrokarbon yang jumlahnya paling banyak.Menurut estimasi Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) 60% - 70% hidrokarbon di kawasan merupakan gas alam.                                                                                                          Selain itu kebanggan nasional atau national pride kemananan nasional juga menjadi faktor pendukung dari usaha klaim atas Laut Cina Selatan. Seperti contohnya Filipina yang menyatakan usaha klaim mereka terhadap pulau yang terletak pada Laut Cina Selatan merupakan strategi pertahanan negara dan untuk membantu melindungi nusantara Filipina.                      Lebih penting, konflik Laut Cina Selatan ini berkaitan dengan kebebasan pelayaran dari pedangan dan lalu lintas militer.Keingingan untuk mendapatkan Laut Cina Selatan sebagai tempat perdagangan yang strategi, juga menjadi salah satu faktor yang mendorong usah klaim atas wilayah ini.Jalur ini seringkali disebut sebagai maritime superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di dunia. Jumlah supertanker yang berlayar melewati selat Malaka dan bagian barat daya Laut China Selatan bahkan lebih dari tiga kali lalu lintas yang melewati Kanal Suez dan lebih dari lima kali lipatnya kanal Panama. Dan kepentingan U.S. dalam konflik ini adalah kebebasan Pelayaran yang tersedia untuk seluruh bangsa.Hal ini pula yang dapat menjadi titik tolak pertikaian bahkan diluar negara-negara yang berusaha klaim teritori.
B.      Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan
Penyelesaian persoalan Laut Cina Selatan dengan kekuatan militer patut menjadi perhatian yang serius bagi Indonesia.Indonesia yang dihadapkan pada konstruksi sosial yang ada, perlu melakukan telaah terhadap berbagai langkah strategis terutama untuk mengkalkulasi potensi munculnya Cina sebagai ancaman utama bagi Asia Tenggara.Lebih jauh, fokus Indonesia yang menyadari bahwa instabilitas di kawasan berpeluang sebagai goncangan tersendiri bagi keutuhan internal ASEAN. Apabila keempat negara anggota ASEAN yang memiliki konflik klaim wilayah di kawasan Laut Cina Selatan tetap bersikukuh mempertahankan kepentingan masing-masing negara, maka eksistensi ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara akan dipertanyakan. Oleh karena itu, inisiasi Indonesia untuk mengambil langkah aktif dan reaktif terhadap konflik ini didukung oleh anggapan negara-negara lain bahwa Indonesia adalah pihak yang netral.Indonesia dilihat mampu memahami kerumitan konflik ini karena faktor geografis antara Indonesia-Laut Cina Selatan tidak terlampau jauh.                                                                          Menurut Yudha Kurniawan, saat spektrum politik global terpolarisasi menjadi dua blok, Indonesia perlu menegaskan posisinya sebagai sebuah negara yang pendukung perdamaian yang tidak memihak pada salah satu blok. Poin tersebut menjadi inti dari pola kebijakan luar negeri Indonesia, yakni politik luar negeri yang bebas aktif. Yudha Kurniawan mengatakan bahwa dalam implementasinya politik luar negeri Indonesia dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan. Akan tetapi, bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin membuat adanya perubahan yang cukup fundamental terhadap polarisasi kekuatan di dunia internasional. Spektrum politik global tidak lagi dihadapkan pada keberpihakan terhadap blok Barat ataupun Blok Timur, namun lebih dititikberatkan pada sejumlah isu yang sifatnya variatif dan multisentrik.                                                                                       Menanggapi fluktuasi dalam konstelasi politik global terkini, Indonesia berdiri sebagai negara yang masih mengedepankan politik bebas aktif dalam menyikap dinamika politik global. Dewasa ini, perjalanan dan peran politik luar negeri Indonesia dalam konteks global cukup menjadi perhatian.Partisipasi aktif Indonesia dalam berbagai persoalan-persoalan global dan regional mendapatkan berbagai apresiasi baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu bukti nyata keberhasilan Indonesia adalah dengan terciptanya Declaration on The Conduct of The Parties in the South China Sea pada tahun 2002, dianggap sebagai salah satu implementasi dari perspektif luar negeri Indonesia yang dikenal dengan “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium) atau keseimbangan dinamis. Yudha Kurniawan menambahkan bahwa doktrin tersebut merujuk pada suatu kondisi yang ditandai oleh hubungan antar negara yang mengedepankan kemitraan dan berlandaskan keyakinan bahwa sangat dimungkinkan dikembangkan suatu tatanan internasional yang baru yang bersifat win-win dan bukanzero-sum.                                                                                                                                                           Yudha Kurniawan menambahkan bahwa perspektif dynamic equilibrium memiliki dua termin penting.Dynamic merujuk pada dinamisme politik global. Dalam sebuah Rapat Kerja antara Kementerian Luar Negeri dengan Komisi 1 DPR RI pada bulan Juni 2011, Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri Indonesia memaknai dinamisme politik global sebagai sebuah hal yang selalu terjadi. Artinya, negara-negara di dalam politik global selalu mengalami perubahan baik dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun pengaruhnya. Dalam hal ini Marty percaya bahwa dinamisme adalah suatu keniscayaan atau “dynamism is a given”. Termin kedua adalah equilibrium atau keseimbangan.Keseimbangan merujuk dimana tidak ada kekuatan yang dominan yang berlandaskan tiga prinsip utama; common security, common stability, dancommon prosperity. Dengan doktrin tersebut, maka persoalan-persoalan politik dan keamanan global yang dihadapi oleh Indonesia akan dihadapi dengan tujuan keamanan, kestabilan dan kemakmuran bersama dengan mekanisme kerjasama. Jika mencari titik temu antara dua konsepsi diatas, maka baik kebijakan luar negeri bebas aktif dan Doktrin Natalegawa merupakan konsep yang sesuai dengan amanat Konstitusi Indonesia pada UUD RI 1945 khususnya alinea ke empat.
C.     Upaya Indonesia Menyelesaikan Konflik di Kawasan Laut Cina Selatan Dalam LajurDiplomasi Preventif
Indonesia sebagai negara penengah yang ditunjuk untuk menangani konflik di kawasan Laut Cina Selatan juga memiliki latar belakang tersendiri.Keterlibatan Indonesia bukan tanpa alasan yang sifatnya strategis.Indonesia diharuskan untuk turut terlibat demi mencapai kepentingan ekonomi nasional.Lebih lanjut, apabila kawasan di Laut Cina Selatan dapat kembali tertib dan bebas dari segala ancaman, maka aktivitas perdagangan dan eksplorasi alam Indonesia di kawasan ini pun dapat berjalan lancar.                                                                        Terlepas dari upaya Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi nasional, ancaman lain terhadap pelanggaran hukum laut, kekerasan navigasi serta kedaulatan menjadi kepentingan lain untuk senantiasa diperjuangkan. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pertimbangan bahwa apabila terdapat kerusakan lingkungan di kawasan Laut Cina Selatan akan secara tidak langsung turut berdampak bagi ekosistem di perairan Indonesia. Lain hal ketika Indonesia berusaha melakukan sekuritisasi disekitar Laut Natuna¾yang berlimpah akan gas alam. Kepentingan Indonesia untuk menarik garis perbatasan ini disebabkan oleh ancaman dari Cina , yang apabila tetap bersikeras mempertahankan bukti historis melalui peta yang dibuat pada tahun 1947, akan menyebabkan interupsi pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta landas kontinen Indonesia.                                                                                                                 Oleh karena itu, peran Indonesia ditunjukkan melalui sejumlah perundingan yang dibentuk diantara negara-negara yang bertikai.Salah satu wujud upaya Indonesia adalah dengan melaksanakan South China Sea Informal Meetings yang diadakan hampir setiap tahun. Signifikansi pertemuan ini menghasikan sebuah kesepakatan antara Indonesia dan negara-negara yang bertikai untuk mendirikan sebuah wilayah politik guna melancarkan hubungan diplomatik dan kerjasama satu sama lain. Selain itu, usaha untuk meningkatkanconfidence building measures menjadi bagian penting disetiap agenda pertemuan. Selain South China Sea Informal Meetings, upaya Indonesia juga diwujudkan dalam sejumlah perundingan damai lainnya, sepertiTechnical Working Groups (TWGs), Groups of Experts (GEs) dan Study Groups (SGs).                                                                                                                                   Penggunaan mekanisme diplomasi preventif memberikan pengaruh yang cukup determinan dalam penyelesaian konfilik secara damai. Negara-negara terkait menyadari bahwa konfrontasi militer yang dilakukan sebelumnya hanya akan berdampak buruk bagi semua pihak serta anggaran biaya yang terlalu besar. Sebagai negara yang memprakarsai pola interaksi second track diplomacy dalam upaya penyelesaian konflik di kawasan Laut Cina Selatan, partisipasi Indonesia diakui dunia internasional sebagai pihak aktif dalam mencari celah konsolidasi politik dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan yang tidak hanya dianggap signifikan bagi negara-negara yang berada di wilayah sekitarnya melainkan turut dirasakan demikian bagi dunia internasional.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Konflik Laut Cina Selatan merupakan permasalahan yang sangat rumit. Dengan melibatkan enam negara yang masing-masing negara memiliki kepentingan masing-masing sehingga menyebabkan kompleksitas konflik semakin tinggi.Hal ini turut berpengaruh pada kompleksitas keamanan regional, dalam hal ini ASEAN sebagai organisasi tunggal di kawasan Asia Tenggara tampil sebagai lahan representatif bagi empat negara anggota ASEAN yang terlibat. Walaupun Indonesia tidak secara langsung terlibat, namun potensi ancaman dari konflik ini tetap harus dihadapi Indonesia. Argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa konflik yang terjadi disebuah kawasan dapat menimbulkan suatu instabilitas keamanan pada wilayah lain karena adanya suatu interdependensi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya.  Perspektif baru kebijakan luar negeri dynamic equilibrium menjadi preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul sehubungan dengan konflik di kawasan Laut Cina Selatan.Tidak hanya melalui politik luar negeri yang bebas aktif dan perspektif dynamic equilibrium yang dapat dipromosikan oleh Indonesia.Lebih jauh, Indonesia memiliki berbagai preferensi dalam menjawab tantangan persoalan di kawasan Laut Cina Selatan melalui jalur diplomasi diplomasi preventif Indonesia.                                                                               Diplomasi menjadi tonggak penting dalam pencapaian kepentingan nasional sebuah negara.Bagi Indonesia, dinamika politik global yang dinamis dan fluktuatif harus mampu dihadapi dengan strategi kalkulatif, salah satunya dalam bentuk diplomasi preventif.Wujud diplomasi preventif dan upaya yang Indonesia impelentasikan dalam konflik di kawasan Laut Cina Selatan adalah dengan menjaga perdamaian dan mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama melalui sejumlah perundingan damai demi terselenggaranya kerjasama yang aktif, produktif dan efektif bagi negara-negara terkait dan tatanan dunia global.
B.     Saran                                                                                                                                          Selama tahun lalu, perselisihan China atas Laut Cina Selatan, yang telah menghadapkanBeijing dengankomplain negara Asia Tenggara seperti Filipina, Malaysia, dan terutama Vietnam, tampaknya telah berhasil diredakan. China dan ASEAN telah menyepakati kode etik untuk mengelola sengketa dan mengurangi ketegangan konflik terbuka muncul kembali.                                                                      Tapi itu hanya perbaikan jangka pendek. Presiden China Xi Jinping jelas lebih nasionalis daripada pendahulunya dan lebih bersedia untuk secara terbuka mendukung kehadiran militer China di perairan yang disengketakan. Dia juga tampaknya lebih bersedia memutuskan diplomatic terhadap para pemimpin di wilayah yang berani membantah klaim China. Sikap itu ditunjukkan antara lain seperti saat Agustus lalu Beijing mendadak menunda untuk mengundang Presiden Filipina Benigno Aquino III ke pameran dagang besar di Cina, setelah Aquino meluncurkan perundingan dengan Amerika Serikat untuk meningkatkan kehadiran militer Amerika di Filipina. Pemimpin Vietnam dan Filipina juga menjadi lebih bersedia untuk mendorong klaim mereka, dan, dalam kasus Filipina, untuk beralih ke Amerika Serikat untuk memperoleh bantuan besar. Sementara itu, China telah terbukti benar-benar mau untuk menyetujui setiap solusi permanen mengikat sehubungan dengan tumpang tindih klaim di Laut China Selatan.                                                                                                  Ketegangan juga telah meningkat ke tingkat berbahaya antara Jepang dan Cina atas sekelompok kecil pulau tak berpenghuni di Laut China Timur, yang disebut Senkaku oleh Jepang dan Diaoyu oleh Cina. Pulau-pulau yang dulunya dikuasai oleh Amerika Serikat sebagai bagian dari pasca-pendudukan Jepang pada Perang Dunia II g dan telah dikembalikan dalam kontrol administratif Jepang dengan pengembalian Okinawa pada tahun 1971. Saat Washington bersiap-siap mengembalikan pulau ini ke Jepang, Republik Rakyat China (RRC) dan Taiwanmemperebutkan kedaulatan Jepang. Dua tahun sebelumnya, survei geologi PBB atas Laut Cina Timur mengungkapkan potensi sumber daya yang signifikan hidrokarbon. Bersaing klaim kedaulatan atas kepulauan sehingga memiliki baik dimensi sejarah dan sumber daya yang salingterkait.                                                                                                                                 Sampai saat ini, sengketa teritorial ini telah menumbuhkan iritasi kecil dalam hubungan Sino-Jepang. Namun, dengan latar belakang kekuatan militer Cina yang mulai tumbuh, sengketa pulau tersebut telah meningkatkan kekhawatiran di Tokyo tentang niat Beijing dan jaminankeamanan Jepang dan saat bersamaan telah memicu politik nasionalis di kedua negaraJika terjadi salah perhitungan politik di Tokyo atau Beijing, atau interaksi militer yang tidak diinginkan di dalam dan sekitar pulau yang disengketakan, bisa menyebabkan bentrokan bersenjata antara dua kekuatan terbesar di Asia tersebut. Amerika Serikat, sebagai sekutu perjanjian Jepang tetapi dengan kepentingan strategis penting dalam membina hubungan damai dengan China, memiliki kepentingan besar dalam mencegah bentrokan tersebut dan menyelesaikan sengketa.                                                                                                        Ketegangan Sino-Jepang di Laut Cina Timur telah tumbuh sejak 2010, ketika sebuah kapal penangkap ikan China menabrak dua kapal Penjaga Pantai Jepang (JCG) di perairan dekat Senkaku / Diaoyu Islands dan Jepang menahan kapten kapal tersebut. Meski krisis akhirnya diredakan, sengketa wilayah muncul kembali oada bulan September 2012, ketika Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda mengumumkan keputusan pemerintahnya untuk membeli 3 dari 5 pulau di kawasan itu. Pulau-pulau itu milik pribadi, tetapi gelombang baru aktivisme, termasuk upaya Cina untuk mendarat di pulau-pulau dan kampanye publik oleh gubernur Tokyo untuk membeli pulau-pulau tersebutmendorong Noda untuk mencoba menetralisir tekanan nasionalis. Keputusan mendorong demonstrasi anti-Jepang yang meluas di China, mengakibatkan kerusakanatas perusahaan Jepang yang beroperasi di sana. Akhirnya China memperoleh dukungan publik dan sejak itu berulang kali menyatakan niatnya untuk menegaskan kontrol administratif sendiri atas pulau yang disengketakan. Badan Pengawasan Laut Cina mengintensifkan patroli perairan di sekitar pulau-pulau dan Biro Perikanan Patroli China mengikutinya.                                                                                                                             Bahaya eskalasi konflik bersenjata meningkat ketika kedua pasukan terlibat langsung. Pada tanggal 13 Desember 2012, sebuah pesawat pengintai kecil China masuk ke wilayah udara Jepang dan terdeteksi di atas pulau-pulau. JCG mengingatkan Angkatan Udara Beladiri Jepangyang meluncurkan jet tempur berbasis di Naha, Okinawa, namun mereka terlambat untuk mencegatnya. Pada bulan Januari, China mengirimkan pesawat pengintai yang kembali ke pulau-pulau disertai dengan jet tempur, tapi tak memasuki wilayah udara Jepang, dan tidak ada konfrontasi udara langsung yang terjadi.Angkatan Laut Beladiri Jepang melaporkan bahwa sebuah kapal Cina terkunci radar penembakan terhadap Yudachi, kapal perusak Jepang, pada tanggal 30 Januari 2013. Pihak berwenang China menuntut penyelidikan atas insiden dalam menanggapi protes JepangMeskipun Departemen Pertahanan China kemudian membantah bahwa insiden itu terjadi, tetapi mengakui melakukan tindakan berbahaya tersebut.                                 Mengingat kondisi saat ini di Laut Cina Timur, 3 kontinjensi yang dibayangkan: pertama, sebuah insiden disengaja atau tidak disengaja di dalam dan sekitar pulau yang disengketakan bisa memicu eskalasi militer krisis. Kedua, Jepang dan China bisa membuat perhitungan politik yang serius dalam upaya untuk menunjukkan kedaulatan, dan ketiga, kedua negara itu bisa mencoba secara paksa mengontrol pulau-pulau.                                                 Sengketa kawasan maritim China telah berlangsung berabad-abad. Tarik-menarik perang atas kedaulatan Diaoyu / Senkakus di Laut Cina Timur dapat ditelusuri ke Perang Sino-Jepang tahun 1894, sementara kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dan Perang Dingin menambah kompleksitas geopolitik klaim atas pulau-pulau di wilayah itu. Memperebutkan tumpang tindih zona ekonomi eksklusif di Laut Cina Selatan memiliki kronologi yang sama rumitnya terhadapperistiwa kekacauan sejarah Asia Tenggara. Globalisasi-termasuk perjanjian perdagangan bebas yang luas antara pihak yang berselisih-dan perkembangan terakhir seperti keinginan AS menjadi“poros” Asia lebih lanjut telah menghubungkan dua perselisihan. Sebagai pcapaian ekonomi Chinadalam memfasilitasi kemampuan militer dan ketegasan di perairan, pemain regional lainnya juga mengalami kenaikan sendiri dalam nasionalisme dan kemampuan militer, dan telah menunjukkan kesediaan yang lebih besar untuk klaim teritorial.                                                                                                                            Enam negara berselisih atas kawasanLaut China Selatand dan Timur, suatu daerah yang kaya hidrokarbon dan gas alam dan dari situ akan ada triliunan dolar mengalir dalam skemaperdagangan global. Karena berusaha untuk memperluas penguasaan maritim, Cina telahmembangun ketegasan dari pihak yang keberatan seperti Jepang, Vietnam, dan Filipina. Yang semakin sering diperselisihkan adalah rentangwilayah dari Diaoyu / Kepulauan Senkaku, di sisi timur China, dengan bentangan panjang kepulauan di Laut Cina Selatan yang terdiri dari ratusan pulau. Peran AS untuk Asia, yang melibatkan kegiatan diplomatik baru dan pemindahan militer, bisa memberikan sinyal tinggi atas peran Washington dalam sengketa, yang jika tidak dikelola dengan bijaksana, bisa mengubah bagian dari wilayah maritim Asia dari saluran perdagangan menjadi arena konflik.                                                                                                          Jadi, apakah ada solusi nyata untuk krisis China Laut Selatan dan sengketa maritim yang lain yangberpotensi mengundang keterlibatan China?                                                               Membawa sengketa teritorial dengan badan hukum internasional menyajikan cara lain untuk mitigasi konflik. Mahkamah Internasional dan Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut(the International for Law of the Sea) adalah dua forum di mana penggugat dapat mengajukan pengajuan penyelesaian. Pada bulan Juli 2013, pengadilan PBB di Den Haag untuk membicarakan kasus arbitrase yang diajukan oleh pemerintah Filipina yang mempertanyakan legalitas klaim teritorial Cina di Laut Cina Selatan. Sebuah organisasi luar atau mediator bisa juga dipanggil untuk menyelesaikan perselisihan, meskipun prospek untuk sukses dalam kasus ini adalah tipis mengingat kemungkinan pertentangan China terhadap pilihan ini.                     Meskipun hubungan perdagangan meningkat, para pihak yang bersengketa bisa merespon meningkatnya ketegangan dengan memberlakukan sanksi ekonomi. Dalam menanggapi tindakan China, misalnya, Washington bisa memberikan sanksi terkait transaksi keuangan, pergerakan barang dan jasa, dan bahkan larangan melakukan perjalanan China dan Amerika Serikat. Dalam pembalasan, Beijing bisa melarang ekspor AS dan mengurangi pembelian luas dari Kementerian KeuanganPihak yang berkeberatan juga bisa memanipulasi ekspor dan boikot barang. Beberapa sinyal respon tersebut telah dilihat: tahun 2012 demonstran Cina meluncurkan gelombang boikot atas produk merek Jepang. Jepang juga menuduh China menghentikan ekspor mineral langka tahun 2010 sekalipun Beijingmembantah menjadi penyebab krisis komoditas sumber daya bergantung Jepang.                                                                                                                                          Jika konfrontasi yang melibatkan Jepang di Laut Cina Timur atau Filipina di Laut Cina Selatan, Amerika Serikat akan diwajibkan untuk mempertimbangkan tindakan militer di bawah perjanjian pertahanan. Para pakar mengingatkan bahwa komitmen pertahanan Washington ke Tokyo lebih kuat dibandingkan ke Manila.                                                                                                         Di bawah kewajiban perjanjiannya, Amerika Serikat akan harus membela Jepang dalam kasus serangan bersenjata, perjanjian AS-Filipinamenimbulkan kewajiban diantara kedua negara bertanggung jawab untuk saling mendukung dalam peristiwa “serangan bersenjata di wilayah Pasifik pada salah satu Pihak.Andaikata konflik bersenjata pecah antara Cina dan Jepang, Amerika Serikat juga bisa menggunakan mekanisme komunikasi krisis yang digariskan dalam Perjanjian Konsultatif Maritim Militer (PDF) AS-Chinauntuk mendorong pengurangan kekuatan dan memfasilitasi komunikasi antara Tokyo dan Beijing . Deklarasi verbal yang mengkomunikasikan keseriusan tingkat sengketa dan menyampaikan dukungan bagi sekutu, serta tawaran bantuan militer, juga dapat berfungsi sebagai langkah-langkahpenting selama krisis.
DAFTAR PUSTAKA



Blog Archive