Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

MAKALAH TASAWUF HASAN AL-BASHRI


BAB I
PENDAHULUAN


Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam, yang maksudnya bermula ialah hendak zuhud dari pada dunia yang fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain itu ke dalamnya. Karena Tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikuti dengan tidak diingat.
Menurut Ibnu Khaldun, tasawuf adalah semcam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian  di dalam agama. Asalnya ialah bertekun beribadat dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang-orang banyak, kelezatan harta benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ‘ibadat’.
Demikianlah kalau kita dengarkan penjelasan Ibnu Khaldun, yang meneropong suatu perkara dari segi ilmu pengetahuan. Tetapi ahli-ahli tasawuf yang terbesar mempunyai pula qa’idah sendiri-sendiri tentang arti tasawuf itu. Ada yang berkata: “Tasawuf ialah putus hubungan dengan makhluk dan kuatnya hubungan dengan Sang Khalik.”
Junaid menyatakan bahwa Tasawuf ialah keluar dari budi, perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji. Yang paling hebat ialah menurut yang diartikan Al Hallaj. Seketika dia telah disalibkan dan menunggu ajal, sebab dia berkepercayaan bahwa dirinya bersatu dengan Tuhan, maka datang seorang bertanya kepadanya, “Di waktu sekarang patut engkau tinggal kata keapda kami, apakah arti yang sejati dari pada tasawuf itu?”
Darah telah titik dari tubuh dan dari dalam matanya, punggungnya telah hangus kena panas, hanya menunggu tubuhnya akan dipotong-potong. Waktu itu dia berkata, kata yang terakhir, “Tasauf adalah yang engkau lihat dengan matamu ini. Inilah dia tasawuf.”
Tatkala kerajaan Islam bertambah besar dan pemeluk agama Islam bertambah tersiar keluar tanah Arab, bertemulah dia dengan bangsa-bangsa dan agama-agama serta pikiran-pikiran baru. Masuklah paham filsafat ke dalam dunia Islam dan suburlah ahli pikir Mu’tazilah dan mulailah timbul kaum tasauf itu.
Ketika itu kemajuan telah menyebabkan bingung, kekayaan bertimbun masuk ke dalam dunia Islam, kehidupan sangat megah, sehingga mahar Al Ma’mun kepada Bauran anak wazirnya saja lebih semiliun dinar. Di samping itu dalam majlis istana terjadi bantahan ahli-ahli fakir tentang Ketuhanan apakah Tuhan itu mentakdirkan juga akan kejahatan manusia. Tentang manusia sendiri, apakah ia masih tetap Islam kalau sekiranya dia mengerjakan dosa besar. Tentang Al-Qu'an, adakah dia Hadits atau Qadim, dan lain-lain sebagainya. Sehingga kadang-kadang dapat menimbulkan sengketa, dan perbantahan menyebabkan lalai mengerjakan ibadat.
Tentu saja, timbul golongan yang merasa jemu melihat itu lalu menyisihkan dirinya. Maka ini menjauhkan diri dari orang dunia, dari orang yang katanya pintar tetapi telah terlampau pintar, atau orang yang dilalaikan hartanya.
Orang yang menyisih inilai asal-usul kaum Shufi itu, yang mulanya bermaksud baik, tetapi telah banyak tambahnya. Maksud mereka hendak memerangi hawa nafsu, dunia dan setan, tetapi kadang-kadang mereka tempuh jalan yang tidak digariskan oleh agama. Terkadang mereka haramkan keapda diri sendiri barang yang dihalalkan Tuhan, bahkan ada yang tidak mau lagi mencari rezeki, menyumpahi harta, membelakangi huru-hara dunia, membenci kerajaan. Kemudian ketika bala tentara Mongol masuk ke negeri Islam, tidaklah ada lagi senjata yang tajam buat menangkis, sebab orang telah terbagi dan terpecah. Sebagian menjadi budak harta, yang lebih saying kepada hartanya dari agamanya. Sebagian lagi menjadi budak Fiqhi, bertengkar dengan bersitegang urat leher, mempertanyakan apakah batal wudhu kalau sekiranya darah lekat pada baju. Dan ada pula orang di dalam khalwatnya, dengan pakaian Shufnya, tidak peduli apa-apa, tidak menangkis serangan, karena merasa “lezat” di dalam kesunyian tasawuf itu.
Tasawuf yang demikian tidaklah berasal dari ajaran Islam. Zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang. Semangat berkorban, bekerja, bukan semangat malas, lemah dan melempem.
Agama Islam adalah agama yang menyeru umatnya mencari rezeki dan mengambil sebab-sebab buat mencapai kemuliaan, ketinggian dan keagungan dalam perjuangan hidup bangsa-bangsa. Bahkan agama Islam menyerukan menjadi yang dipertuan di dalam alam dengan dasar keadilan, memungut kebaikan dimanapun juga bersuanya, dan membolehkan mengambil peluang mencari kesenangan yang diizinkan.
K.H. Mas Mansur menyatakan bahwa 80% ajaran Islam menekankan pada hal yang berhubungan dengan keakheratan dan 20 % pada keduniaan. Tetapi kita telah lupa dan mementingkan yang 20% itu sehingga kita menjadi hina.
Menurut Said Rasyid Ridha, perkataan itu jauh dari pada kebenaran. Sebab meminta tambahan harta yang halal itu tidaklah haram, tidaklah siksa. Kalau sekiranya meminta tambahan yang halal itu haram, dan siksa pula mengapa dia dihalalkan? Dan bukan pula dia makruh. Jatuh hukum haramnya ialah jika harta yang halal menjadi tangga untuk mencapai yang haram, dan dimakruhkan jika menyebabkan perbuatan tercela. Sahabat-sahabat yang besar, demikian juga Ulama-ulama Tabi’in dan beberapa orang yang saleh-saleh ialah orang kaya-kaya yang mempunyai harta benda lebih dari pada yang perlu. Sehingga menjadi pertikaian faham di antara Ulama-ulama, manakah yang utama di sisi Allah SWT, seorang kaya syukur dengan seorang fakir yang sabar.
Adapun berlebih-lebihan memasukkan rasa kebencian terhadap harta kekayaan dunia itu ke dalam hati sabunari, adalah salah satu sebab kelemahan kaum Muslimin dan salah satu sebab mereka dapat dikalahkan oleh musuhnya. Kesenangan yang menyebabkan sombong atau lalai dari melakukan kewajiban atau menyebabkan suka kepada haram.

  
 BAB II

HASAN AL-BASHRI





A.         RIWAYAT HIDUP
Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang sangat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632 M) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 600 sahabat lainnya.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Mesjid Bashrah. Ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi, sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Suatu ketika seseorang datang kepada Anas bin Malik sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama. Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata : “Bergurulah kepada Syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang Tabi’in pun yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.”
Karir pendidikan Hasan Al-Bashri dimulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada seluruh Ulama di sana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia peroleh di sana.

B.         PEMIKIRAN TASAWUF
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut : “Takut (Khauf) dan pengharapan (Rafa’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu ingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjadi seluruh larangan-Nya. Sya’ram pernah berkata : “Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri).”
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran Tasawuf Hasan Al-Bashri seperti :
a.      “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram  lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut”
b.     “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.”
c.      “Dunia ini adalah seorang janda yang telah tua renta bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya.”
d.     “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”
e.      “Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.”

C. KONTEKS SOSIAL
            Tabiat manusia senantiasa suka kepada kelebihan yang ada pada dirinya sendiri, kelebihan badan kasar, keenakan tubuh, dan tabiatnya berusaha menolak segala bahaya yang akan menimpa dirinya. Pada dirinya ada “kekuatan”. Dengan kekuatan itulah segala yang dicita-citakan akan dicapainya dan segala yang dibenci dijauhinya. Dengan cara demikian tercapailah kemajuan perikehidupan, bertemulah dalam riwayat bangsa manusia tampil ke muka dan tidak pernah mundur ke belakang.
            Meskipun bagaimana, kemajuan tidak bisa ditahan. Tetapi pemuka-pemuka agama mencoba menahan kemajuan itu, mencoba menghambat air yang hendak mengalir ke lautan. Mereka tidak memegang ubun-ubun bangsa dan mesti ikut segala aturan yang mereka buat menurut kehendak mereka. Mereka takut kalau manusia beroleh kebebasan akan terlepas dari cengkeramannya. Sebab itulah mereka perbuat bermacam aturan-aturan dan undang-undang, mengatakan bahwa orang yang mencari kebahagiaan dalam dunia akan sesat, orang yang tertipu oleh ahwa nafsu. Mereka perbuat pelajaran-pelajaran zuhud, membenci dunia, memutuskan pertalian dengan dunia, padahal masih hidup dalam dunia, tidak peduli akan keadaan sekelilignya atau di dalam alam sekalian. Sehingga kelihatan tiap-tiap orang yang telah berpegang dengan agama menjadi orang bodoh, dungu, tidak teratur pakaian dan kediamannya, tersisih dalam pergaulan. Padahal bukan begitu hakikat pelajaran agama yang hanya bikinan sempit paham kepala-kepala agama saja.
            Banyak bangsa-bangsa yang dapat pelajaran agama yang demikian, jatuhlah derajat mereka sampai ke kuruk tanah, lemah dan tertindas di medan perjuangan, tidak maju kemuka, tetapi surut ke belakang. Sehingga timbul persangkaan bahwa segala ibadat itu adalah menjauhi kesenangan badan kasar. Lantaran itu kalahlah pikiran dan akal, menanglah ragu-ragu dan syakwasangka, berlawanan hukum agama dengan hukum kehidupan. Kepala-kepala agama memegang teguh pendirian ini tidak mau berkisar. Tidak mau melepaskan kuduk manusia dari pengaruh dan cengekramannya. Sebab itu terjadilah perang diantara kemajuan dengan agama, agama mengatakan kemajuan itu kafir, kemajuan mengatakan agama itu kebodohan. Perang yang tidak henti-hentinya, hebat selama-lamanya, payah didamaikan.
            Dengan agama, iman, Islam dan i’tikad yang putus, sudah dapat tercapai bahagia batin dan hubungan yang baik dengan Allah SWT. Tetapi kesempurnaan ibadat bergantung pula kepada kesempurnaan budi dan otak. Keutamaan otak ialah dapat membedakan antara jalan bahagia dengan yang hina. Yakin akan kebenaran barang yang benar dan berpegang kepadanya yang tahu akan kesalahan barang yang salah dan menjauhinya, semuanya didapat dengan otak yang cerdas, bukan karena ikut-ikutan, bukan karena taklid kepada pendapat orang lain saja.
            Adapun keutamaan budi adalah menghilangkan segala perangai yang buruk-buruk, adat istiadat yang rendah, yang oleh agama telah dinyatakan mana yang mesti dibuang dan mana yang mesti dipakai. Serta biasakan perangai-perangai yang terpuji, yang mulia, berbekas di dalam pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang adat mulia itu.

BAB III

PENUTUP



            Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis telah dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini merupakan salah satu tugas dari Mata Kuliah Akhlak Tasawuf dengan Dosen Bpk. Syahri Ahyar Tanjung, S.Fil.I.
            Makalah ini membahas mengenai Tasawuf serta salah satu tokohnya yaitu Hasan Al-Bashri. Salah satu ajaran tasawuf  beliau sebagaimana ditulis oleh Hamka adalah “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.”
            Akhirnya penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendorong dan memberi motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Bapak Syahri Ahyar Tanjung, S.Fil.I selaku dosen Mata Kuliah Akhlak Tasawuf yang telah banyak memberikan pengetahuan mengenai akhlak tasawuf.
 

DAFTAR PUSTAKA





Hamka, (1981). Tasawuf Modern. Yayasan Nurul Islam. Jakarta
Nasution, Harun. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: Universitas Indonesia Press
www.wikipedia/tasawuf


Blog Archive