Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

MAKALAH TASAWUF AL-GHAZALI


BAB I
PENDAHULUAN


            Arti tasawuf dan asal katanya menjadi perdebatan ahli-ahli bahasa. Setengahnya berkata bahwa kata tersebut berasal dari kata shifa’, artinya suci bersih, ibarat kilat kaca. Sedangkan sebagian ahli lainnya menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata ”Shuf” artinya bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki dan mendalami tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang, karena mereka tidak menyukai pakaian yang indah-indah, pakaian ”orang dunia” ini. Sedangkan ada juga pendapat lainnya yang menyatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata ”Shuffah”, ialah segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya di satu tempat terpencil di samping masjid Nabi. Pendapat lainnya menyatakan bahwa kata tasawuf juga berasal dari kata ”Shufanah”, ialah sebangsa kayu yang tumbuh di padang pasir tanah Arab.
Walaupun dari mana asal mula kata tasawuf, bahwa yang dimaksud dengan kaum Tasawuf atau Kaum ”Sufi” ialah kaum yang telah menyusun kumpulan menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat kaca terhadap Tuhan, atau memakai pakaian yang sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia, biar hidup kelihatan kurus kering bagai kayu di padang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang hubungan makhluk dengan Khaliknya.
Bila disebut orang nama kaum Shufi itu, terutama di negeri kita ini, teringatlah kita kepada tarekat sebagai tarekat Naqsyabandiyah, Syaziliyah, Samaniyah, dan Tarekat Haji Paloppo di tanah Bugis. Bila kita pelajari tarekat yang ada disini, kelihatannya mempunyai peraturan sendiri-sendiri, maka pada asalnya tidaklah tasawuf itu mempunyai peraturan tertentu yang tidak boleh dirubah-rubah. Yang sebetulnya, adalah tasawuf itu menempuh kemajuan juga. Dia adalah semacam filsafat yang telah timbul kemudian dari zaman Nabi, yang maju mundur menilik keadaan zaman dan keadaan negeri.
Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam, yang maksudnya bermula ialah hendak zuhud dari pada dunia yang fana. Tetapi lantaran banyaknya bercampur gaul dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain itu ke dalamnya. Karena Tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diizinkan oleh agama dan setengahnya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pengajaran agama lain dan terikuti dengan tidak diingat.
Tasawuf pada mula timbulnya adalah suci maksudnya, yaitu hendak memperbaiki budi pekerti. Ketika mula-mula timbul itu semua orang bisa menjadi Shufi, tidak perlu memakai pakaian tertentu, atau bendera yang tertentu, atau berkhalwat sekian hari lamanya di dalam kamar,atau mengadu kening dengan kening guru.
Di zaman Nabi Muhammad SAW, semua orang menjadi ”Shufi”. Baik Nabi dan sahabatnya yang berempat, atau yang beribu-ribu itu, semuanya berakhlak tinggi, berbudi mulia, sanggu menderita lapar dan haus, dan jika mereka beroleh kekayaan,  tidaklah kekayaan itu lekat ke dalam hatinya,sehingga melukakan hati itu jika terpisah. Apalagi suasana ketika itu, pergaulan, letak negeri,smeuanya menyebabkan hidup serba kecil itu menjadi biasa. Dan mereka tidak perlu bernama shufi,Fiqih atau bernama raja sekalipun.
Kemajuan yang telah tercapai itu, kemajuan yang sudah menuruti Sunnatullah,menyebabkan adanya golongan tasawuf, sampai ada yang berlebih-lebihan sebagaiman dinyatakan di atas. Kehidupan yang asalnya dari zuhud dan membenci kemegahan dunia yang telah dicapai orang lain, atau kehidupan mencari kekayaan di dalam hati sendiri, bertambah lama bertambah maju dan bertambah dalam. Sampai dari dalam tasawuf itulah timbul istilah ma’rifat, sa’adah (bahagia), dan bagaimana ikhtiar untuk mencapai hubungan yang kekal dengan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta ini.  

BAB II
TOKOH TASAWUF
AL-GHAZALI



A. RIWAYAT HIDUP
            Al-Ghazali dilahirkan di Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali.
            Ayah Al-Ghazali berprofesi sebagai pemintal kain wol miskin. Meskipun demikian ayahnya seorang yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang bernama Ahmad kepada orang sufi. Selang beberapa tahun kemudian, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian memasuki Sekolah Tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan disinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat tahun 478 H / 1086 M), hingga ia menguasai ilmu Mantiq, Ilmu Kalam, Fiqh, Ushul Fiqh, Filsafat, Tasawuf, dan Retorika perdebatan.
            Selama di Naisabur, Al-Ghazali tidak saja belajar kepada Al-Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori Tasawuf kepada Yusuf Al-Nasaj kemudian ia melakukan latihan dan praktek tasawuf sekalipun hal itu belum mendatangkan pengaruh yang berarti dalam langkah hidupnya. Al-Juwaini menjuluki Al-Ghazali dengan sebutan “Bahr Mu’riq” (Lautan yang menghanyutkan). Setelah Imam Haramain wafat (478 H / 1086), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H/1091 M). Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antara ulama-ulama terkenal.
            Sejak saat itu, Nama Al-Ghazali menjadi termasyur di kawasan Kerajaan  Saljuk. Kemasyuran itu menyebabkan dipilihnya oleh Nizam Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H / 1090 M, meskipun usianya baru 30 tahun.
            Karena menimbulkan pergolakan dalam ini Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan batin. Ia pun memutuskan pergi menuju Baghdad menuju Syiria, Palestina, dan kemudian ke Mekah untuk mencari kepuasan. Maka, setelah memperoleh kebenaran, ia mengembuskan nafas terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.

B. PEMIKIRAN TASAWUF AL-GHAZALI
            Dalam pandangan Al-Ghazali, tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu lepas dari segala sesuatu selain Allah dan selalu mengingat Allah. Ia berpendapat bahwa sosok sufi menempuh jalan kepada Allah. Perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak, dan diam mereka, baik lahir maupun bathin, diambil dari cahaya kenabian. Selain cahaya kenabian di dunia ini tidak ada lagi cahaya yang lebih mampu memberi penerangan.
            Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan ijtihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (Taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sedangkan buahnya adalah moralitas. Ringkasnya Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah SWT. Ma’rifat menuju versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal).
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb dan roh. Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, Qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan Sir, Qalb dan roh yang telah suci dan kosong. Pada saat itulah, ketiganya menerima iluminasi (Kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Disinilah sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
Ringkasnya, Ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti Ma’rifat menurut orang awam, maupun ma’rifat ulama/mutakallimin, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan kasyf Illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini, berbeda antara Nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat, sedangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun, keduanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
Di dalam Kitab Kimlya ‘As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabi’at), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota tubuh mempunyai kenikmatan tersendiri. Kenikmatan Qalb sebagai alat memperoleh ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan yang lainnya.
Menurut Imam Al-Ghazali, bahwa kebahagiaan itu ialah pada kemenangan memerangi nafsu dan menahan kehendaknya yang berlebih-lebihan. Itulah yang bernama peperangan besar, lebih besar dari menaklukan negeri. Nabi Muhammad SAW  kembali dari peperangan Uhud yang paling besar. Tidak ragu lagi, bahwa orang yang menang dalam peperangan yang demikian, lebih dari pada segala kemenangan. Tetapi Nabi kita berkata, bahwa kembalinya dari perang Uhud itu ialah kembali dari perang yang sekecil-kecinya, menempuh perang yang sebesar-besarnya, yaitu perang dengan nafsu. Maka kemenangan di dalam peperangan dengan nafsu ini adalah induk dari segala kemenangan. Karena orang yang berperang ke medan perang itu sendiri, ada juga yang mencari nama dan kemegahan.  Orang yang berperang dengan nafsu itu, kerapkali tidak dilihat manusia kemenangan itu lahirnya, tetapi tertulis jelas di sisi Tuhan.

C. PANDANGAN TENTANG AKHLAK
            Proses pembentukan akhlak diawali dengan terbentuknya niat di dalam diri kita. Niat merupakan keinginan kuat di dalam hati untuk melakukan sesuatu. Niat juga merupakan asas segala perbuatan sehingga keduanya berkaitan dalam hal kebaikan dan keburukan, serta kesempurnaan dan kerusakan.
            Menurut Al-Ghazali dalam teori Dinamika Perbuatan, niat merupakan hasil dari perdebatan batin yang mempertimbangkan masukan berupa ilham dan was-was. Niat datang karena adanya ilham yang bersifat positif (datangnya dari Allah) dan was-was yang bersifat negatif (datangnya dari Syetan dan Iblis). Ilham adalah pengaruh yang Allah berikan dalam jiwa seseorang sehingga mendorongnya untuk mengerjakan atau meninggalkan seusatu. Batin yang menentukan ilham untuk masuk kepada niat, maka niat itu akan menghasilkan niat yang baik. Sebaliknya, was-was merupakan bisikan halus dari setan yang mengajak seseorang untuk berbuat maksiat dan dosa. Niat dimasuki oleh was-was akan menghasilkan niat yang jelek atau tercela, karena datangnya dari Iblis/Syetan. Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya. Oleh karena itu, merupakan awal yang sangat penting bagi pembentukan akhlak manusia. Karena, niat dapat dikatakan sebagai penentu bagaimana perilaku, kebiasaan dan akhlak kita nantinya.
            Pada proses pembentukan akhlak, tingkat kedua adalah perilaku. Perilaku dalam dinamika perbutan Al-Ghazali merupakan ekspresi niat dengan kesadaran dan pemikiran, dalam perilaku biasanya masih ada unsur keterpaksaan. Dari niat yang kuat akan terbentuk suatu perilaku. Perilaku dibentuk oleh niat dengan kesadaran dan pemikiran. Di sini peran akal manusia berkembang. Dan menentukan perilaku yang akan ditampilkan. Bila niat yang ada di dalam diri kita lemah, maka perilaku yang kita tampilkan akan nampak penuh keterpaksaan. Karena, tidak adanya keselarasan. Namun sebaliknya jika niat kita tinggi dan batin kita pun menerimanya, maka perilaku yang akan kita tampilkan akan menjadi penuh ketulusan.
            Proses pembentukan akhlak yang selanjutnya adalah kebiasaan. Kebiasaan terbentuk karena adanya perilaku yang terus menerus berulang atau dibiasakan, sehingga telah menjadi rutinitas sehari-hari. Seseorang yang telah terbiasa dalam melakukan suatu hal, maka dalam mengerjakan suatu hal tersebut tidak akan merasa berat atau terbebani. Contohnya kebiasaan bangun pagi-pagi di hari Minggu untuk berolahraga.
            Yang terakhir ialah pembentukan akhlak. Niat, perilaku, dan kebiasaan yang kita lakukan itu akan membentuk akhlak kita. Menurut Imam Al-Ghazali akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Akhlak terbentuk jika kebiasaan itu diinterpretasikan lebih dalam maka akan terbentuklah perbuatan yang muncul tanpa pemikiran dan pertimbangan lagi.
             Akhlak terbentuk diawali dengan niat. Kita sudah membicarakan niat bermula dari sebuah ide, yang kemudian menguat menjadikan sebuah azam (tekad kuat) hingga ia menjadi niat, dalam sebuah bagan menggambarkan sebuah niat menjadi sebuah akhlak.
Niat è Perilaku è Kebiasaan è Akhlak
            Akhlak yang terbentuk dari proses tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu akhlak mahmudah dan akhlak madzmumah.
1.     Akhlak Mahmudah
Akhlak adalah serangkaian hal yang dilakukan seseorang dipengaruhi oleh niat. Akhlak mahmudah adalah akhlak seseorang yang terpuji atau baik. Akhlak mahmudah diawali dengan niat yang merupakan masukan dari ilham, yakni pengaruh yang Allah berikan dalam jiwa seseorang sehingga mendorongnya untuk mengerjakan yang baik dan meninggalkan sesuatu yang buruk.
Allah memberikan ilham kepada manusia melalui malaikat. Malaikat adalah makhluk Allah yang sifatnya terpuji. Malaikat memberikan bisikan-bisikan kebaikan kepada batin, timbullah niat yang baik. Setelah itu, seseorang tersebut akan menampilkan akhlak mahmudah.
Akhlak meliputi jangkauan yang sangat luas dalam segala aspek kehidupan. Akhlak meliputi hubungan hamba dengan Tuhannya (vertikal) dalam bentuk ritual keagamaan dan berbentuk pergaulan sesama manusia (horizontal) dan juga sifat serta sikap yang terpantul terhadap semua makhluk (alam semesta).
Bagi seorang muslim, akhlak yang terbaik ialah seperti yang terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW karena sifat-sifat dan perangai yang terdapat dalam dirinya adalah sifat-sifat yang terpuji dan merupakan uswatun hasanah (contoh teladan) terbaik bagi seluruh kaum Muslimin. Akhlak yang mulia menurut Al-Ghazali ada 4 perkara: yaitu bijaksana, memelihara diri dari sesuatu yang tidak baik, keberanian (menundukkan kekuatan hawa nafsu) dan bersifat adil.
  
2.     Akhlak Madzmumah
Akhlak madzmumah adalah akhlak yang tercela yang ditampilkan oleh seseorang yang tidak sesuai dengan nilai dan etika agama. Akhlak madzmumah muncul karena diawali dengan niat yang berupa masukan dari was-was, yakni merupakan bisikan halus dari setan yang mengajak seseorang untuk berbuat maksiat dan dosa. Was  was merupakan bisikan halus dari setan yang mengajak seseorang untuk berbuat maksiat dan dosa yang pada akhirnya dapat merusak citra dirinya (self image) dan harga diri (self esteen)-nya. Mengikuti was was sama artinya dengan melanggar fitrah asli manusia, sebab was was berorientasi pada fitrah asli setan. Setan adalah makhluk yang sesat, berusaha menyesatkan manusia,dan selalu melanggar perintah Allah SWT. Manusia yang mengikui bisikan setan boleh jadi dapat menggairahkan hidup untuk sementara waktu, tetapi akan mengalami kehancuran di masa yang akan datang.
Contoh dari akhlak madzmumah adalah : kemarahan dan nafsu syahwat, yang kadang patuh pada hati, namun terkadang membangkang sehingga menyimpang dan melampaui batas. Keduanya berhubungan dengan nafsu syetan. Jika hati tidak meminta pertolongan pada ’tentara’ ilmu, hikmah, dan pikiran, maka bisa saja tentara kemarahan dan nafsu syahwat itu menguasai akal dan hatinya (yang seharusnya akal dan hati yang menguasai nafsu syahwat). Sehingga muncullah dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercelah (karena didasarkan pada dorongan syetan).



BAB III

PENUTUP



            Alhamdulillahirobbil’alamin, makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf dengan Dosen Bpk. Syahri Ahyar Tanjung, S.Fil.I.
            Makalah ini membahas mengenai Tasawuf dan salah satu tokohnya yaitu Imam Al-Ghazali. Menurut pendapat Al-Ghazali yang lebih menekankan pendekatan tasawuf dalam dimensi akhlak manusia dalam kehidupan.
            Akhirnya penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendorong dan memberi motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA






Nasution, Harun. (1979). Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang
Salim, Agus. (1962). Tauhid, Taqdir dan Tawakal. Jakarta: Tintamas
www.wikipedia/tasawuf

Blog Archive