Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

Makalah Utang Piutang (Qardh)


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
 Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial, sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan baik.
 Permasalahan tentang hutang sangat banyak, bahkan hutang bisa memutus hubungan silaturahim bahkan persengketaan diantara manusia, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membaca doa: "(Artinya = Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari bahaya hutang bahaya musuh dan kemenangan para musuh)" begitu kawatirnya Rasulullah tentang hutang dari pada musuh dan kemenangan para musuh.
 Makalah ini akan membahas tentang hutang, yang bersumber dari hadits-hadits nabi Muhammad SAW. Dalam makalah ini kita akan mendapat  jawaban dari pertanyaan itu semua, semoga makalah ini sesuai dengan yang kita harapkan dan menambah pahala bagi penulis dan juga para membaca untuk mengamalkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Utang Piutang (Qardh)
2. Landasan Hukum Qardh dan Hikmahnya
3. Syarat dan Rukun Qardh
4. Adab-adab Islami dalam Qardh


PEMBAHASAN
A. Pengertian Utang Piutang
 Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada yang menerima utang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan akan dikembalikan berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati.
 Meberikan utang merupakan kebajikan yang membawa kemudahan kepada muslim yang mengalami kesulitan dan membantunya dalam memenuhi kebutuhan.

B. Hukum Utang Piutang dan Hikmahnya
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil disyari’atkannya Qardh adalah sebagai berikut:
1. Surah Al-Baqarah ayat 245:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
2. Surah Al-Hadid ayat 11:
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. Al-Hadid: 11)
3. Surah Al-Taghabun ayat 17:
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Taghabun: 17)
 Ayat-ayat diatas berisi anjuran untuk melakukan Qardh atau meberikan utang kepada orang lain, dan imbalannya adalah akan dilipatgandakan oleh Allah SWT.
 Nabi SAW juga bersabda :
 “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)).
 Berdasarkan hadist diataspun jelas sekali bahwa memberikan utang sangat dianjurkan, dan akan diberi imbalan oleh Allah SWT. Adapun hikmah disyari’atkannya qardh ditinjau dari sisi sang penerima qardh adalah dapat membantu mengatasi kesulitan yang sedang dialaminya. Sedangkan ditinjau dari sang pemberi qardh adalah dapat menumbuhkan rasa kasih sayang dan tolong menolong sesama saudaranya dan peka terhadap kesulitan yang dialami oleh saudara, teman, ataupun tetangganya.
 Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi SAW pernah berhutang. Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah SAW, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah SAW pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash R.A).
Dan dari Ibnu Umar R.A bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
C. Rukun dan Syarat Utang Piutang
Adapun yang menjadi rukun qardh adalah:
1. Muqridh (yang memberikan pinjaman).
2. Muqtaridh (peminjam).
3. Qardh (barang yang dipinjamkan)
4. Ijab qabul
Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah:
1. Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
2. Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/dikonsumsi.
3. Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.

D. Hukum Qardh
 Menurut Malikiyah, qardh hukumnya sama dengan hibah, shadaqah dan ‘ariyah, berlaku dan mengikat dengan telah terjadinya akad walaupun muqtaridh belum menrima barangnya. Muqtaridh boleh mengembalikan persamaan dari barang yang dipinjamnya, dan boleh pula mengembalikan jenis barangnya, baik barang tersebut mitslii atau ghair mitslii, apabila barang tersebut belum berubah dengan tambah atau kurang. Apabila barang telah berubah, maka muqtaridh wajib mengembalikan barang yang sama.
 Menurut pendapat yang sahih dari Syafi’iyah dan Hanabilah, kepemilikan dalam qardh berlaku apabila barang telah diterima. Muqtaridh mengembalikan barang yang sama kalau barangnya maal mitslii. Menurut Syafi’iyah, apabila barangnya maal qiimii maka ia mengembalikannya dengan barang yang nilainya sama dengan barang yang dipinjamnya. Menurut Hanabilah, dalam barang-barang yang ditaksir (makilat) dan ditimbang (mauzunat), sesuai dengan kesepakatan fuqahaa, dikembalikan dengan barang yang sama. Sedangkan dalam barang yang bukan makilat dan mauzunat, ada dua pendapat. Pertama, dikembalikan dengan harganya yang berlaku pada saat utang. Kedua, dikembalikan dengan barang yang sama yang sifat-sifatnya mendekati dengan barang yang diutang atau dipinjam.

E. Adab-adab Islam Tentang Qardh
1. Qardh harus dituliskan dan dipersaksikan
Firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”.


2. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fiqih berbunyi:
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
 Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah SWT.

3. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadis Nabi SAW:
 Dari Abu Hurairah R.A, ia berkata: “Nabi SAW mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah SWT membalas dengan setimpal”. Maka Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
 Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
4. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
 Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
 a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
 b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
 c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah               hutang agar mau memberi.
 d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.
5. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah. Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang             memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. 
        Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau           lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya           sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah         yang harus dia kembalikan.
8. Bersegera melunasi hutang
9. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya                   setelah jatuh tempo.






KESIMPULAN
 Qardh (hutang piutang) pada intinya adalah perbuatan atau aktifitas yang mempunyai tujuan untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan berupa materi, dan sangat dianjurkan karena memberikan hikmah dan manfaat bagi pemberi utang maupun bagi penerima utang. Qardh diperbolehkan selama tidak ada unsur-unsur yang merugikan salah satu pihak.



Daftar Pustaka

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah, 2010.
Al-Fauzan, shaleh. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Blog Archive