Wasathiyah (berimbang) dan harakat
(bergerak atau berkembang) merupakan dua dari tiga watak dan tabi’at hukum
Islam. Harakah ialah bergerak dan berkembang artinya bahwa hukum Islam tidak
statis tetapi dinamis, terbuka untuk berubah dan berkembang. Perubahan dan
perkembangan dilatarbelakangi dan disebabkan oleh illat, berupa situasi dan
kondisi seperti ekonomi, politik maupun oleh bergesernya tempat dan waktu,
niat, dan kebiasaan.
Kaitan antara teori perubahan hukum
Islam dengan UU No. 21 terletak pada proses pembuatan UU ini yang diawali
dnegan menetapkan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. UU No. 7 secara
implisit menyebutkan term “bagi hasil keuntungan” yang dalam terminologi hukum
Islam disebut mudharabat. Namun
demikian UU belum secara signifikan mampu mengikuti gerak cepat perkembangan
perekonomian, khususnya sektor perbankan, baik tingkat nasional maupun
internasional. Oleh karenanya, pada tahun 1998 UU ini diubah dengan UU No. 10
tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Seperti UU sebelumnya, UU pengganti
belum secara spesifik mengatur hubungan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa
perbankan syariah yang semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan dilandasi oleh
suatu keyakinan bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan, kekhususan yang
berbeda dengan perbankan konvensional. Oleh karena itu, pada tahun 2008
pemerintah menerbitkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah.
UU No 21 membawa angin segar bagi
perbankan syariah. Ia di samping telah spesifik juga membawa nuansa perubahan
dalam materi hukumnya. Perkembangan dan perubahan tampak, umpanya dalam
mengartikan prinsip syariah dan mudharabat.
UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 21 Tahun 2008 mengartikan sama untuk pengertian
prinsip syariah yaitu perjanjian berdasarkan hukum Islam. Namun, UU yang
pertama menyebutkan secara spesifik contoh-contoh perjanjian meskipun didahului
dengan ungkapan antara lain yaitu mudharabat,
musyarakat, murabahat, ijarat dan ijarat
wa iqtina. Sementara UU yang kedua mengatakan bahwa hukum Islam dalam
kegiatan perbankan itu harus berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan fatwa di bidang syariah.