PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi yang
pesat serta didukung oleh infrastruktur komunikasi yang semakin kuat dan stabil
telah membawa dampak baru terhadap masyarakat, yakni hadirnya gadget dengan
harga yang jauh lebih terjangkau dari sebelumnya yang memungkinkan kita
mengakses internet dengan biaya yang lebih murah. Inovasi yang bermunculan
tidak berhenti hanya sampai di situ. Internet telah membawa kita ke sebuah era
dimana semua kegiatan lebih cepat, akurat, disertai murahnya biaya pengaksesan
dibandingkan era-era sebelumnya.
Penguatan infrastruktur
teknologi pun juga membawa kita ke era baru, yakni era digitalisasi. Dengan
adanya digitalisasi, dimana hampir semua data yang kita butuhkan berada di
internet, sehingga kita pun mampu melakukan segala aktivitas dengan cepat,
akurat, dan mudah. Selain kemampuan teknologi yang makin mumpuni untuk
melakukan aktivitas yang dulu hanya bisa dilakukan oleh manusia, teknologi juga
merombak cara kita melakukan berbagai aktivitas serta cara kita melakukan
pekerjaan dan bisnis.
Inilah era big data, era
disruptif yang membawa kita ke era baru, era dimana semua hal hampir
terdigitalisasi. Di era ini segala hal dituntut cepat, akurat, dan efisien.
Adanya inovasi ini, tak hanya melibatkan pemilik modal besar. Melainkan rakyat
pun bisa berpartisipasi dengan modal yang sangat minimal. Dalam era ini,
dikenalkan konsep sharing-economy. Dimana pemilik modal dan rakyat
berkolaborasi untuk menciptakan layanan jasa dan produksi yang lebih murah,
mudah, dan efisien.
Revolusi
Industri 4.0 yang ditandai dengan inovasi dalam teknologi informasi “internet
of things” memberikan dampak yang luas bagi perekonomian di seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Perkembangan ini mampu menciptakan sebuah model bisnis dan
pelaku ekonomi baru yang sangat dinamis, sehingga mampu menggeser
praktik-praktik ekonomi tradisional yang eksis sebelumnya. Perkembangan ekonomi
digital dan Fintech di Indonesia tumbuh dengan sangat cepat didorong permintaan
lokal yang sangat besar serta pemain-pemain lokal yang baru.
Perkembangan
ekonomi digital dan Fintech yang pesat tentu harus diimbangi dengan instrument
dan strategi kebijakan yang tepat agar mampu memberikan multiplier yang luas,
khususnya bagi pengembangan bisnis-bisnis lokal (UMKM). Hal inilah yang menjadi
bahasan kali ini, khususnya dalam menakar Peran Bank Indonesia dalam mendorong
perkembangan Ekonomi Digital dan Fintech khususnya dalam mendukung pembangunan
yang berkelanjutan.
Berdasarkan
data yang dilansir oleh World Bank, Jumlah populasi Indonesia mencapai 261,12
juta jiwa dengan pertumbuhan Gross
Domestic Product (GDP) sebesar 5% pertahun. Pertumbuhan GDP tersebut
terjadi seiring dengan pertumbuhan sektor perbankan sebesar 48,9% dan pinjaman
yang dilakukan oleh masyarakat paada institusi/lembaga keuangan sebesar
17,2%.Terkait dengan penggunaan sosial media dalam kehidupan sehari-hari,
Indonesia memiliki penetrasi sebesar 40% atau sekitar 130 juta penduduk yang
aktif menggunakan sosial media dengan total mobile subscription sebesar 415,7
juta.
Penggunaan
sosial media tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya jaringan atau koneksi
internet yang memadai. Internet merupakan salah satu bentuk perkembangan IT
yang mana saat ini dimanfaatkan oleh hampir seluruh bidang kehidupan
masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Hal tersebutlah yang
kemudian menjadikan tingkat penetrasi internet di Indonesia begitu besar yakni
51% atau 143,2 juta yang terbagi kedalam 2 (dua) macam media yang digunakan
yani Desktop (30%) dan Mobile (70%). Besarnya penetrasi penggunaan internet
melalui media mobile tersebut
dilatarbelakangi oleh tumbuh dan berkembangnya smartphone yang memiliki berbagi
fitur.
PEMBAHASAN
Perkembangan Ekonomi Digital dan Financial Technology (Fintech)
Berdasarkan
data yang dilansir oleh World Bank, Jumlah populasi Indonesia mencapai 261,12
juta jiwa dengan pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP) sebesar 5% pertahun.
Pertumbuhan GDP tersebut terjadi seiring dengan pertumbuhan sektor perbankan
sebesar 48,9% dan pinjaman yang dilakukan oleh masyarakat paada
institusi/lembaga keuangan sebesar 17,2%.
Terkait
dengan penggunaan sosial media dalam kehidupan sehari-hari, Indonesia memiliki
penetrasi sebesar 40% atau sekitar 130 juta penduduk yang aktif menggunakan
sosial media dengan total mobile subscription sebesar 415,7 juta. Penggunaan
sosial media tersebut tidak dapat dilakukan tanpa adanya jaringan atau koneksi
internet yang memadai. Internet merupakan salah satu bentuk perkembangan IT
yang mana saat ini dimanfaatkan oleh hampir seluruh bidang kehidupan
masyarakat, baik ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.
Hal
tersebutlah yang kemudian menjadikan tingkat penetrasi internet di Indonesia
begitu besar yakni 51% atau 143,2 juta yang terbagi kedalam 2 (dua) macam media
yang digunakan yani Desktop (30%) dan Mobile (70%). Besarnya penetrasi
penggunaan internet melalui media mobile tersebut dilatarbelakangi oleh tumbuh
dan berkembangnya smartphone yang memiliki berbagi fitur.
Kemudahan
yang ditawarkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya
internet saat ini sangat berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik itu
terhadap aspek budaya, aspek sosial, pendidikan sampai kepada aspek ekonomi.
Sampai kemudian lahir media baru sebagai media massa modern atau sosial media.
Tingginya intensitas penggunaan internet oleh masyarakat dalam mengakses
info-info terupdate menjadikan mereka tidak dapat terlepas dari aktivitas
berselancar di dunia maya / online.
Data
menunjukkan bahwa 3 (tiga) kegiatan dengan intensitas penggunaan internet /
online everywhere terbanyak adalah 69% masyarakat tetap online pada saat mereka
sedang beristirahat, 35% lainnya menggunakan internet ketika sedang menunggu,
dan 29% ketika sedang menonton TV. Sedangkan beberapa kegiatan lainnya
diantaranya yakni, menghabiskan waktu bersama keluarga (17%), while commuting
(14%), Rapat/kelas (6%), Dikamar mandi (6%), social event dan shopping (5%).
Salah
satu pemanfaatan atau penggunaan internet terbesar adalah dalam bidang
ekonomi/perdagangan. Di Indonesia sendiri, penggunaan internet dalam
perdagangan e commerce khususnya retail mengalami peningkatan setiap tahunnya
terhitung dari tahun 2016-2017 yang mana secara tidak langsung meningkatkan
nilai perdagangan. Dari tahun 2017, nilai e commerce retail mengalami kenaikan
sebesar US$ 1535m, dari US$7056m pada tahun 2017, menjadi US$ 8591m pada tahun
2018 yang mana akan diproyeksikan mengalami kenaikan yang cukup signifikan
sampai dengan tahun 2022 yakni sebesar US$ 16475m. Terjadinya peningkatan
tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh semakin banyaknya online shop
yang menawarkan kemudahan yang dibarengi juga dengan promo-promo menarik bagi
pembeli/konsumen.
Pendapatan
dari transaksi pasar e commerce pada tahun 2018 berkisar US$ 9,138m. Pendapatan
tersebut harapkan mampu menunjukkan atau menggambarkan kondisi tingkat
pertumbuhan tahunan (CAGR 2018-2022) dari 16,6%, memperkirakan menghasilkan
volume pasar pada tahun 2022 sebesar US$ 16,865m. Segmen pasar terbesar adalah
pada bidang fashion dengan volume pasar sebesar US$ 3,052m di tahun 2018.
Penetrasi penggunaan sebesar 40,0% di tahun 2018 dan diperkirakan akan mencapai
48,3% di tahun 2022. Rata-rata pendapatan per user (ARPU) berkisar US$ 85.43.
Besarnya
nilai pendapatan yang diperoleh dari penjualan e commerce tidak akan dapat
dicapai tanpa adanya peran konsumen atau pembeli. Masyarakat yang dapat dengan
mudah mengakses e-commerce melalui jaringan internet yang ada di smartphone
mereka secara tidak langsung akan meningkatkan nilai perdagangan. Tahun 2018,
jumlah digital buyers di Indonesia mencapai 31,6 juta dan diproyeksikan akan
mengalami peningkatan setiap tahunnya sampai dengan tahun 2022 sebesar 43,9
juta digital buyers.
Inclusive Internet
Index merupakan salah satu program yang dirancang
oleh Facebook dan bekerja sama dengan The Economist Intelligence Unit. Tujuan
dari Inclusive Internet Index adalah berusaha untuk mengukur sejauh mana
internet tidak hanya dapat diakses dan dijangkau, akan tetapi juga
"relevan untuk semua, memungkinkan penggunaan yang dapat memberikan hasil
atau dampak positif pada bidang sosial dan ekonomi baik pada level individu
ataupun grup”. Indeks tersebut terdiri dari 46 indikator untuk masingmasing
Negara dari 75 negara tersebut yang diatur dalam empat kategori:
1. Ketersediaan,
2. Keterjangkauan,
3. Relevansi,
dan
4. Kesiapan
Fintech,
merupakan salah satu terobosan baru dalam dunia keuangan digital yang baru-baru
ini dikenalkan di Indonesia. Penggunaan Fintech yang belum begitu banyak
gunakan oleh masyarakat Indonesia serta kurangnya literasi masyarakat akan
fintech menjadikan Indonesia belum mampu menjadi salah satu Negara yang masuk
pada peringkat 20 besar negara Asia Pasifik yang memiliki tingkat telah
mengadopsi fintech dan memiliki pertumbuhan yang begitu pesat. Untuk saat ini,
the leading companies dalam pertumbuhan fintech adalah mayoritas berasal dari
Negara Australia dengan salah satu perusahaannya yakni Prospa Advance (Wibowo,
2016).
Industri financial technologi
(fintech) merupakan salah satu metode layanan jasa keuangan yang mulai populer
di era digital sekarang ini. Dan pembayaran digital menjadi salah satu sektor
dalam industri FinTech yang paling berkembang di Indonesia. Sektor inilah yang
kemudian paling diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mendorong
peningkatan jumlah masyarakat yang memiliki akses kepada layanan keuangan.
Prospa
Advance sendiri merupakan salah satu online lender (pemberi pinjaman) bagi para
pelaku bisnis atau UMKM yang ada di Australia. Dimana Prospa Advance memberikan
banyak kemudahan kepada para pelaku bisnis untuk mendapatkan pinjaman yang
berkisar antara $5000 dan $250.000 tanpa membutuhkan persyaratan atau keamanan.
Aplikasi ini hanya membutuhkan waktu 10 menit sampai permohonan pengajuan dana
disetujui dan akan cair dalam kurun waktu 24 jam.
Jumlah
anggota terdaftar AFTECH (Asosiasi Fintech Indonesia) meningkat cukup pesat,
dari 55 badan di tahun 2016, menjadi 109 di 2017, atau meningkat 98%. Konsumen
Indonesia sudah semakin mengenal teknologi fintech. Ini ditunjukkan antara lain
oleh respon survei, bahwa tahun 2017 ini 67.20% responden pernah mendengar
istilah fintech, dibanding 2016 hanya 28.34% responden pernah mendengar istilah
Fintech. Jumlah pengguna layanan fintech juga meningkat pesat. Pada 2016, hanya
18,06% responden yang mengaku pernah menggunakan layanan ini. Sedang pada 2017,
persentase tersebut 81.54%. Persentase
terbesar di antara berbagai perusahaan fintech startups yang ditelusuri, bagian
terbesar adalah tergolongkan dalam sub-kategori Online Lending (termasuk
P2PLending), yaitu sebesar 26.2%. Layanan fintech di sektor pembayaran yang
paling populer di kalangan konsumen Indonesia adalah Go-Pay, dengan 65.17%
responden.
Industri
jasa keuangan di ASEAN, mengalami perkembangan yang sangat cepat sebagai akibat
dari perkembangan Teknologi Keuangan. FinTechs, merupakan penggabungan dari
model bisnis inovatif dengan digital teknologi untuk memberikan layanan
keuangan. Pada tahun 2017, investasi dalam bidang FinTechs di Indonesia
mencapai US$26M. Hal tersebut meningkat 3,7 kali pada tahun sebelumnya (YoY).
Sub Sektor yang paling banyak dikembangkan di Indonesia yakni Mobile payment,
dan Alternative lending.
Indonesia,
merupakan bagian dari wilayah Asia Tenggara, dengan perkiraan populasi lebih
dari 260 juta orang, mayoritas di antaranya berusia di bawah 35 tahun dengan
pertumbuhan gadget dan tingkat penetrasi internet yang sangat besar. Sehingga
menjadikan Indonesia sebagai salah satu sumber dari peluang Fintech yang harus
disentuh. Perusahaan-perusahaan Fintech yang ingin berekspansi di Asia Tenggara
akan lalai jika mereka mengabaikan perkembangan Fintech Indonesia sebagai pasar
potensial. Dengan itu, melalu laporan Fintech Indonesia 2018 oleh Fintech
Singapore diharapkan mampu mendapatkan hasil mengenai perkembangan fintech di
Indonesia.
Menurut
hasil survei Indonesia Fintech Landscape Report (Fintechnews.sg) Mei 2018,
diproyeksikan pada tahun 2018 nilai transaksi padaFintech Marketterjadi sebesar
USD $22,338 juta dengan rata-rata nilai transaksi yang diharapkan meningkat
setiap tahunnya sebesar 16.3%. Dalam Indonesia Fintech Landscape Report
dijelaskan bahwa kategori fintech terbesar di Indonesia adalah kategori
Pembayaran sebesar 38% dan kategori Pinjaman sebesar 31%.
Peran dan Inisiatif Bank Indonesia Dalam Mendukung Fintech
Pemerintah
Indonesia menggencarkan visi ekonomi digital Indonesia yang sejalan dengan
program e-government pemerintah Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan juga telah
menyiapkan 3 Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia yaitu, sebagai kontributif,
mengoptimalkan peran sektor jasa keuangan dan mendukung percepatan pertumbuhan
ekonomi nasional. Kedua stabil, menjaga stabilitas sistem keuangan sebagai
sistem landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Ketiga, inklusif, membuka
akses keuangan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan kalangan masyarakat.
Payung hukum FinTech memakai
Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan PBI (Peraturan Bank
Indonesia) 18/40/PBI/2016 tanggal 14 November 2016 tentang penyelanggaraan pemrosesan
transaksi pembayaran. (Djawahir, 2018:5). Dalam peraturan tersebut, OJK
mengatur berbagai hal yang harus ditaati oleh penyelenggara bisnis pinjam dari
pengguna ke pengguna, atau yang biasa disebut dengan peer to peer lending (P2P
lending). Sehingga pada akhirnya ini akan melindungi kepentingan konsumen
terkait keamanan dana dan data serta kepentingan nasional terkait pencegahan
pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta stabilits sistem keuangan.
Selain itu Bank Indonesia juga
mengeluarkan Peratuan Bank Indonesia nomer 19/12/PB/2017 tentang
penyelenggaraan financial technologi (PBI Tekfin) diterbitkan dengan
pertimbangan sebagai berikut: a) perkembangan teknologi dan sistem informasi
terus melahirkan berbagai inovasi yang berkaitan dengan teknologi finansial b)
perkembangan teknologi finansial disatu sisi membawa manfaat namundisisi lain
memiliki potensi resiko c) ekosistem teknologi finansial perlu terus di monitor
dan dikembang kan untuk mendukung terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, serta sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman dan andal untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif d)
penyelenggaraan teknologi finansial harus menerapkan prinsip perlindungan
konsumen serta manajemen resiko dan kehati-hatian. e) respons kebijakan bank
indonesia terhadap perkembangan teknlogi finansial harus tetap sinkron,
harmonis dan terintegrasi dengan kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh bank indonesia.
Ketentuan dalam peraturan bank indonesia ini berlaku pada penyelenggara
teknologi finansial yang menyelenggarakan teknologi finansial di sistem
pembayaran.
Perkembangan dan potensi yang begitu besar di ranah fintech tanah
air membuat Bank Indonesia (BI), salah satu regulator keuangan di tanah air,
mendirikan Fintech Office pada November 2016 lalu. BI Fintech Office dibentuk guna mengeluarkan
aturan-aturan yang bertujuan mendorong pertumbuhan inovasi-inovasi baru,
terutama yang berkaitan dengan teknologi dan sektor keuangan.
Pendirian BI Fintech Office sejalan dengan perkembangan
industri fintech di Asia Tenggara yang sangat pesat pada
tahun 2016. Tech in Asia mencatat bahwa pada semester kedua
2016 lalu, jumlah startup fintech di
Asia Tenggara yang menerima investasi telah melampaui sektor e-commerce, walau secara nominal uang masih tetap lebih kecil.
Tujuan utama BI Fintech Office adalah mendorong inovasi dan
perkembangan ekosistem fintech. Tapi di sisi lain, tugas BI juga
melakukan mitigasi risiko dan melindungi konsumen.
Mitigasi risiko dan perlindungan konsumen memang
merupakan salah satu fungsi Bank Indonesia
terkait dengan sistem pembayaran.
Konsumen beragam jasa pembayaran, termasuk yang diselenggarakan oleh
industri fintech, harus mendapat kepastian hukum serta jalur
untuk melaporkan masalah bila mengalami kerugian finansial dari layanan yang
dipakainya.
Sebagai lembaga negara yang berwenang mengatur sistem
pembayaran, fokus jangka pendek dari BI Fintech Office adalah mencermati dan
mengatur industri fintech di bidang pembayaran, kliring,
dan settlement. Namun, tak menutup kemungkinan pihaknya juga akan
menelaah sektor industri fintech lain dalam jangka panjang,
seperti P2P lending, crowdsourcing, investasi, dan
lain-lain.
Agar mampu menyusun regulasi yang sesuai dengan kondisi di
lapangan, BI Fintech Office secara rutin menyelenggarakan pertemuan dengan
berbagai pelaku fintech untuk melakukan pemetaan terhadap
kondisi saat ini. Pemetaan dilakukan untuk mengetahui siapa saja pelaku industri fintech,
bisnis apa saja yang mereka jalani, seberapa besar skala bisnis tersebut, dan
sebagainya. Pemetaan oleh BI Fintech Office diharapkan akan menghasilkan data
dan informasi lengkap tentang ekosistem fintech di tanah
air. Data tersebut dapat berfungsi untuk beragam analisis, mulai dampak
industri fintech terhadap ekonomi secara umum, hingga
stabilisasi keuangan.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat sering kali membuat
regulasi yang tengah berlaku menjadi tidak relevan. Tidak jarang kendala seperti
ini juga terjadi di ranah industri keuangan. Begitu ada produk
inovatif, regulasinya belum sampai. Hal ini bisa menjadi penghambat dari
perkembangan teknologi finansial. BI Fintech Office hendak mengeluarkan regulatory
sandbox.
Pengaturan
model sandbox ini dipelopori oleh Inggris dengan nama regulatory sandbox atau
program uji coba bagi start-up FinTech. Maksud dari sandbox adalah agar para
pelaku FinTech dapat menguji sistem dan bisnisnya dengan rentang waktu antara 6
bulan sampai 12 bulan sebelum bisnisnya dioperasikan secara penuh. Dalam masa
uji coba ini, perusahaan FinTech akan didampingi oleh pemerintah secara
administrasi hukum dan operasional sistem, sehingga tidak ada aturan yang
dilanggar oleh perusahaan FinTech. (Pratama, 2016).
Regulatory
sandbox merupakan sebuah
“ruang” khusus yang diperuntukkan bagi para inovator di industri fintech.
Para pelaku yang memiliki produk inovatif, namun terkendala regulasi yang belum
eksis untuk mengatur operasionalnya, dapat mendaftar ke dalam program ini.
BI Fintech Office akan mencermati spesifikasi produk, model
usaha, hingga cakupan yang hendak menjadi bisnis dari perusahaan tersebut. Bila
disetujui, pelaku usaha dapat beroperasi secara terbatas di bawah pengawasan BI
tanpa harus khawatir tersandung masalah regulasi.
Pendaftaran masuk ke dalam regulatory sandbox nantinya
bersifat kesukarelaan dari masing-masing pihak. Tak hanya startup,
perusahaan besar pun bisa ikut mendaftar, Hanya saja, tak semua pendaftar akan
dijamin bisa masuk ke dalam regulatory sandbox. Ada beberapa
kriteria yang dapat membuatnya ditolak, seperti telah ada aturan resmi untuk
jenis produk yang hendak dioperasikan, atau memang ada larangan tertentu.
Dengan keberadaan regulatory sandbox, BI
memberikan kesempatan kepada para pelaku industri fintech yang
memiliki produk inovatif untuk beroperasi dan mematangkan konsepnya dalam
lingkup terbatas. BI akan memberikan sejumlah toleransi terkait regulasi yang
dirasa berada di wilayah abu-abu, asalkan konsep ataupun produk yang tengah
diuji telah disetujui BI Fintech Office sebelumnya.
Selain
mendapatkan izin operasional, para peserta regulatory sandbox juga
bisa memperoleh manfaat lain di luar keleluasaan regulasi. Hal ini juga bisa
meningkatkan kepercayaan konsumen. Bila mereka melihat bahwa produk tersebut
telah diawasi BI, maka mereka bisa merasa lebih aman untuk menggunakan produk
tersebut.
KESIMPULAN
Untuk mendukung
perkembangan fintech, BI juga telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia nomer 19/12/PB/2017 tentang penyelenggaraan
financial technologi (PBI Tekfin). Strategi
pengembangan ekonomi digital dan Fintech harus diarahkan pada strategi inklusif
dan kreatif secara Bersama-sama untuk mendorong kapasitas dan kemampuan pemain
lokal dalam kompetisi. Hal ini secara umum dilakukan, melalui dukungan
infrastruktur, kebijakan, riset dan teknologi.
Bank Indonesia akan mengambil
beberapa inisiatif. Pertama, mengimplementasikan aturan terkait Pemrosesan
Transaksi Pembayaran (PTP) yang berlaku bagi seluruh Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran (PJSP), termasuk pelaku fintech. Kedua, untuk mendorong perkembangan
fintech secara sehat, Bank Indonesia akan memastikan Fintech Office yang telah
dibentuk pada 14 November 2016 dan fungsi regulatory sandbox dapat berjalan
efektif dan produktif. Ketiga, Bank Indonesia juga akan mempercepat pembentukan
lembaga yang akan mengoperasikan fungsi-fungsi pengelolaan National Standard of
Indonesian Chip Card Specification (NSICCS) yang ditargetkan berdiri
selambat-lambatnya 30 Juni 2017. Keempat, Bank Indonesia akan mengakselerasi National Payment Gateway (NPG). Kelima,
Bank Indonesia akan mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk
melakukan pemrosesan transaksi keuangan di domestik, menempatkan data di
domestik, menyimpan dana di perbankan nasional, menggunakan central bank money, dan mematuhi
kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Alvin
Abyan, Muhammad (2018). Konsep Penggunaan Financial Technology Dalam Membantu
Masyarakat Sub-Urban di Indonesia Dalam Melakukan Transaksi Finansial.
Universitas Indonesia: Jakarta.
Miraza,
Bahctiar Hassan. (2014). Membangun Keuangan Inklusif, Jurnal Ekonomi Manajemen
dan Akuntansi, vol. 23, no 2.
Peraturan
Bank Indonesia Nomor 19/12/PB/2017 tentang penyelenggaraan financial technologi
(PBI Tekfin)
Santi,
Ernama. Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 77/pojk.01/2016, diponegoro law journal,
Volume 6, Nomor 3, Tahun 2017
Wibowo,
Budi. (2016). Analisa Regulasi Fintech Dalam Membangun Perekonomian di
Indonesia, Jakarta, Indonesia