Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

PEMIKIRAN TASAWUF Hasan Al-Bashri


A.         PEMIKIRAN TASAWUF
Abu Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut : “Takut (Khauf) dan pengharapan (Rafa’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu ingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjadi seluruh larangan-Nya. Sya’ram pernah berkata : “Demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri).”
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran Tasawuf Hasan Al-Bashri seperti :
a.      “Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram  lebih baik daripada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut”
b.     “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.”
c.      “Dunia ini adalah seorang janda yang telah tua renta bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati oleh suaminya.”
d.     “Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”
e.      “Banyak duka cita di dunia memperteguh semangat amal saleh.”

C. KONTEKS SOSIAL
            Tabiat manusia senantiasa suka kepada kelebihan yang ada pada dirinya sendiri, kelebihan badan kasar, keenakan tubuh, dan tabiatnya berusaha menolak segala bahaya yang akan menimpa dirinya. Pada dirinya ada “kekuatan”. Dengan kekuatan itulah segala yang dicita-citakan akan dicapainya dan segala yang dibenci dijauhinya. Dengan cara demikian tercapailah kemajuan perikehidupan, bertemulah dalam riwayat bangsa manusia tampil ke muka dan tidak pernah mundur ke belakang.
            Meskipun bagaimana, kemajuan tidak bisa ditahan. Tetapi pemuka-pemuka agama mencoba menahan kemajuan itu, mencoba menghambat air yang hendak mengalir ke lautan. Mereka tidak memegang ubun-ubun bangsa dan mesti ikut segala aturan yang mereka buat menurut kehendak mereka. Mereka takut kalau manusia beroleh kebebasan akan terlepas dari cengkeramannya. Sebab itulah mereka perbuat bermacam aturan-aturan dan undang-undang, mengatakan bahwa orang yang mencari kebahagiaan dalam dunia akan sesat, orang yang tertipu oleh ahwa nafsu. Mereka perbuat pelajaran-pelajaran zuhud, membenci dunia, memutuskan pertalian dengan dunia, padahal masih hidup dalam dunia, tidak peduli akan keadaan sekelilignya atau di dalam alam sekalian. Sehingga kelihatan tiap-tiap orang yang telah berpegang dengan agama menjadi orang bodoh, dungu, tidak teratur pakaian dan kediamannya, tersisih dalam pergaulan. Padahal bukan begitu hakikat pelajaran agama yang hanya bikinan sempit paham kepala-kepala agama saja.
            Banyak bangsa-bangsa yang dapat pelajaran agama yang demikian, jatuhlah derajat mereka sampai ke kuruk tanah, lemah dan tertindas di medan perjuangan, tidak maju kemuka, tetapi surut ke belakang. Sehingga timbul persangkaan bahwa segala ibadat itu adalah menjauhi kesenangan badan kasar. Lantaran itu kalahlah pikiran dan akal, menanglah ragu-ragu dan syakwasangka, berlawanan hukum agama dengan hukum kehidupan. Kepala-kepala agama memegang teguh pendirian ini tidak mau berkisar. Tidak mau melepaskan kuduk manusia dari pengaruh dan cengekramannya. Sebab itu terjadilah perang diantara kemajuan dengan agama, agama mengatakan kemajuan itu kafir, kemajuan mengatakan agama itu kebodohan. Perang yang tidak henti-hentinya, hebat selama-lamanya, payah didamaikan.
            Dengan agama, iman, Islam dan i’tikad yang putus, sudah dapat tercapai bahagia batin dan hubungan yang baik dengan Allah SWT. Tetapi kesempurnaan ibadat bergantung pula kepada kesempurnaan budi dan otak. Keutamaan otak ialah dapat membedakan antara jalan bahagia dengan yang hina. Yakin akan kebenaran barang yang benar dan berpegang kepadanya yang tahu akan kesalahan barang yang salah dan menjauhinya, semuanya didapat dengan otak yang cerdas, bukan karena ikut-ikutan, bukan karena taklid kepada pendapat orang lain saja.
            Adapun keutamaan budi adalah menghilangkan segala perangai yang buruk-buruk, adat istiadat yang rendah, yang oleh agama telah dinyatakan mana yang mesti dibuang dan mana yang mesti dipakai. Serta biasakan perangai-perangai yang terpuji, yang mulia, berbekas di dalam pergaulan setiap hari dan merasa nikmat memegang adat mulia itu.

Blog Archive