Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

TIME VALUE OF MONEY DAN MENGENAL FOREIGN EXCHANGE DALAM ISLAM


Abstrak

Uang telah digunakan sebagaian orang sebagai alat bisnis yang berfungsi untuk mencari profit semata tanpa memperhatikan realitas normative dan etika kemanusian karena menganggap uang merupakan suatu power yang harus ditumpuk dan di maksimumkan dalam mempergunakannya atau dianggap sebagai komoditi yang senantiasa mendatangkan keuntungan. Sehingga jika waktu bertambah, maka uang juga akan bertambah. Dalam hal ini bunga adalah nilai tambah daripada bertambahnya waktu terhadap penggunaan uang tersebut. Pandangan seperti ini sangat mencerminkan ketertautan dengan prinsip nilai waktu terhadap uang (time value of money), atau bahkan merupakan salah satu dari grand idea penyebab munculnya konsep seperti itu. Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensioal inilah yang ditolak dalam ekonomi syariah, yaitu keadaan mendapatkan hasil tanpa memperhatikan suatu resiko (algunmu bi al ghurni) dan memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu biaya (al kharaj bi la dhaman). Dalam ekonomi Islam, uang bukanlah modal dan tidak memberikan kegunaan, melainkan fungsi uanglah yang memberikan kegunaan. Adapun rumus/formula investasi menurut pandangan Islam adalah Y= (QR) vW dan sebagai pengganti metode Pay back (balik modal) sebagai salah satu cara untuk mengukur atau mengevaluasi investasi suatu proyek, yaitu dengan alternatif penggunaan metode ISM (Investible Surplus Method atau metode kelebihan barang yang bisa diinvestasikan) sebagai metode evaluasi suatu proyek dalam kerangka bebas riba.

Kata Kunci: Time Value of Money; Interest Rate; Discount Rate

I. PENDAHULUAN
Seiring dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena itu dibutuhkan sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi.
Uang kertas secara de facto dan de jure telah menjadi alat pembayaran sah, sekalipun tidak dilatarbelakangi lagi oleh emas kedudukannya dalam hukum sama dengan kedudukan emas dan perak yang pada waktu Al-Qur’an diturunkan merupakan alat pembayaran yang sah. Karena itu riba berlaku pada uang kertas. Uang kertas juga diakui sebagai harta kekayaan yang harus dikeluarkan zakat daripadanya. Zakat pun sah dikeluarkan dalam bentuk uang kertas. Begitu pula ia dapat dipergunakan sebagai alat untuk membayar mahar.

II. PEMBAHASAN
Konsep time value of money atau juga disebut ekonom sebagai positive time preference menyebutkan bahwa nilai komoditi pada saat ini lebih tinggi nilainya bila dibandingkan di masa mendatang. Time Value of Money sangat terkait erat dengan konsep ‘diskonto’ yang ada dalam teori modal dan investasi. Secara praktis, digunakan sebagai alat evaluasi proyek maupun keputusan investasi. Misalnya, Net Present Value (NPV), Cost Benefit Analisys, Internal Required Rate of Return, Deviden Modal dalam asset valuation.[1] Diskonto dalam positif time preference biasanya didasarkan pada tingkat bunga (interest rate).[2] Sedangkan dalam ekonomi Islam, bunga dipandang sebagai riba, yang secara tegas dilarang oleh Islam.
M. Akram Khan mendefinisikan time value of money sebagai berikut; The concept of time value of money or positif time preference (as the ecomomist would prefere to call it) accept that the value of present goods is higher than the value of future goods. Menurut Adiwarman A. Karim dalam Muhammad, konsep Time Value of Money pada dasarnya merupakan intervensi konsep biologi dalam bidang ekonomi. Konsep Time Value of Money muncul karena adanya anggapan bahwa uang disamakan dengan barang yang hidup (sel hidup). Sel yang hidup, untuk satuan waktu dapat menjadi lebih besar dan berkembang. Pertumbuhan sel dalam ilmu biologi diformulasikan dengan rumus sebagai berikut : P6 = P0 (1+ Y)t
Dimana : P6 = Pertumbuhan
P0 = Sel pada awalnya
Y = Pertumbuhan
t = Waktu

Formula ini kemudian diadopsi melalui ilmu keuangan. Akibatnya, anggapan uang sebagai sesuatu yang hidup terjadi. Dari formula tersebut, akhirnya dirumuskan sebagai berikut : FV = PV (1+¡)n [3]
Dimana :
FV = Future Value (nilai uang dimasa akan datang)
PV = Present Value (nilai uang masa sekarang)
¡ = Tingkat suku bunga
n = Waktu. [4]
Selanjutnya bahasan mengenai konsep time value of money dalam kaitannya dengan analisis modal dan investasi, maka disajikan secara bersama dengan cost of capital, pembahasan mengenai kedua persoalan ini (modal dan investasi), tidak dapat dipisahkan dengan konsep diskonto. Menurut Iggi, konsep diskonto sangat penting dalam analisis teori modal dan investasi. Secara praktis digunakan dalam evaluasi proyek ataupun keputusan invesatasi, misalnya model net present value (NPV), cost benefit analysis, internal required rate of return (IRR), deviden model dalam asset valuation, dan seterusnya. Diskonto inilah yang dimaksud dengan Time Value of Money.
Konsep Time Value of Money atau yang disebut ekonom sebagai positive time preference menyebutkan bahwa nilai komoditi pada saat ini lebih tinggi disbanding nilainya dimasa depan. Diskonto dalam positif time preference ini biasanya didasarkan pada atau paling tidak berhubungan erat dengan bunga (interest rate).[5] Sehingga bunga berfungsi sebagai alat ukur dalam penentuan nilai waktu modal dan investasi.[6]
Hubungannya dengan ekonomi Islam, maka sejak terjadinya konvergensi pendapat dalam fiqh bahwa bunga diharamkan dalam Islam karena dianggap salah satu bentuk riba, muncullah pertanyaan-pertanyaan tentang pengguna-an diskonto dalam evaluasi investasi, dan juga pemakainya sebagai cost of capital. Misalnya apakah penggunaannya secara mendasar bertentangan dengan prinsip dasar pelarangan riba tersebut[7]
Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, yang berarti belum terdapat kesepakatan tetapi ada penyikapan yang cukup sama terhadap teori positive time preference yaitu bahwa teori tersebut tidak bisa diasumsikan begitu saja diterima secara menyeluruh di kalangan ekonom. Menurut Muhammad Anas Al-Zarqa, kalau disebut bahwa positive time preference (time value of money) merupakan pola yang wajar, dan normal dengan melihat latar historis, maka yang rasional justru memungkinkan positif maupun negatif time preference,[8] kemungkinan positif maupun negatif dan bahkan zero time preference adalah ketidak-pastian di masa depan.[9]
Perbedaan pendapat terjadi pada saat suatu rate tertentu digunakan sebagai faktor diskonto. Yang satu menganggap dilarang karena Islam tidak membolehkan riba, dilain pihak, ditemukan adanya praktek penjualan dalam bentuk bai' as-salam dan bai' mu'ajjal yang ternyata tidak dilarang dalam Islam. Dalam praktek penjualan yang demikian, harga-harga komoditi boleh berbeda dengan harga spot-nya dengan adanya perlibatan waktu dalam proses pertukarannya. Secara sederhana, terkadang ini dianggap bentuk pengakuan time value of money atau adanya tingkat diskonto.[10]
Secara singkat pendapat yang membolehkan penggunaan rate tertentu sebagai faktor diskonto didasarkan pada alasan bahwa discount rate dan interest rate merupakan dua hal yang berbeda. Dan faktor diskonto ini diperlukan secara definitif untuk kepentingan efisiensi.[11] Pendapat yang menentang penggunaan rate sebagai faktor diskonto adalah disampaikan oleh M. Akram Khan. Ia menolak positive time preference, sebab penerimaan terhadap konsep ini dapat mendorong legitimasi interest (bunga) dan  membuka pintu belakang bagi masuknya kembali riba. Sedangkan argumen tentang efisiensi ditentukan oleh faktor penentunya, misalnya proses manajerial, sehingga faktor diskonto bukan merupakan penentu suatu efesiensi, lebih lanjut Akram tidak menyebut opportunity cost yang dikandung oleh faktor diskonto sebagai cost of capital.[12]
Dalam teori ekonomi konvensional, time value of money didefinisikan sebagai "A dollar today is worth more than a dollar in the future because a dollar today can be invested to get a return. Definisi ini menurut Adiwarman Karim tidak akurat, karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan positif, negatif atau no return. Itu sebabnya dalam teori finance, selalu dikenal dengan risk-return relationship.[13]
Ada dua alasan dari teori konvensional terhadap time value of money yaitu.
1. Presence of inflation
2. Preference present consumption to future consumption
Menurut Muhamad, alasan pertama; tidak diterima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap kondisi ada keadaan inflasi dan deflasi. Bila keberadaan inflasi menjadi alasan adanya time value of money, maka seharusnya keadaan deflasi juga harus menjadi alasan adanya negative time value of money. Dengan demikian, selama ini hanya ada satu kondisi saja (inflasi) yang diakomodasi oleh teori time value of money, sedangkan kondisi deflasi diabaikan. Alasan kedua mengenai ketidak-pastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional, penerapan time value of money tidak senaif yang dibayangkan misalnya dengan mengabaikan ketidak-pastian, pendapat yang akan diterima. Bila unsur ketidakpastian return ini dimasukkan, ekonomi konvensional menyangkut konpensasinya sebagai discount rate. Jadi istilah discount rate lebih bersifat umum dibandingkan dengan istilah interest rate.[14]
Jadi dalam ekonomi konvensional, ketidak-pastian return dikonversi menjadi suatu kepastian melaui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi tentu selalu ada probabilitas untuk mendapatkan positive return, negative return, dan no return. Adanya probabilitas inilah yang menimbulkan ketidak-pastian probabilitas untuk mendapatkan negative return dan no return yang dipastikan dengan sesuatu yang pasti yaitu premium for uncertainty.

C. Tinjauan Kritis Pro-Kontra tehadap Konsep Time value of money
Konsep ini dikemukakan oleh Von Bhom-Bawerk, sekitar abad 19 M, dalam bukunya Positif Theory of Capital. Di dunia Islam theori ini mendapatkan beberapa tanggapan, ada yang  membolehkan dan ada juga yang menolaknya sebab bertentangan dengan Islam. alasan diterimanya konsep ini diantaranya;
1.     Keuntungan di masa mendatang diragukan (uncertainty). Hal demikian disebabkan ketidak pastian peristiwa yang melingkupi manusia di masa mendatang. Sedangkan keuntungan di saat sekarang sangat jelas dan pasti.
2.     Keputusan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia dari pada kepuasannya pada masa mendatang. Karena mungkin saja seseorang tidak memiliki kehendak seperti sekarang.
3.     Pada dasarnya komoditi sekarang lebih penting dan berguna, dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding komoditi di masa mendatang.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa keuntungan sekarang lebih berharga dari pada keuntungan di masa mendatang. Modal sekarang lebih bernilai, dari pada dipinjam dan dikembalikan satu tahun mendatang. Adanya bunga sebagai instrumennya lebih dimaksudkan sebagai nilai pembayar yang sama terhadap modal yang dipinjam semula.[15]
Sedangkan alasan yang menolak teori time value of money adalah dalam teori tersebut masih mengandung unsur bunga, dimana ulama sepakat bahwa bunga hukumnya sama dengan riba, haram. Hal ini didasarkan pada surat al-Baqarah (2): 278. Namun demikian tidak dilarang melakukan perniagaan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam Islam, aktifitas bisnis tidak boleh dipastikan bahwa ia akan mendapatkan keuntungan di masa mendatang. Karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi hari esok. Dalam bisnis seseorang akan menghadapi satu diantara tiga hal; positif return, negative return, bahkan no return.
Forex dari Perspektif Islam
Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam? Apa pendapat para ulama mengenai trading forex, trading saham, trading index, saham, dan komoditi? Apakah Hukum Forex Trading Valas Halal Menurut Hukum Islam? Mari kita ikuti selengkapnya.[16]
Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.
Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.
Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.
Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan — satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional.
Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti.
Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea.
Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.
Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.
Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut:
a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
·         Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
·         Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).
b) Syarat-syarat
Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst.
Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi.
Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya.
Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay’ al-salam

III. PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal dari pemaparan  ini,  sebagai  berikut:
1.     Sebagai lembaga keuangan yang dapat memfasilitasi perdagangan internasional, perbankan syariah pun tidak dapat menghindarkan diri dari keterlibatannya di pasar valuta asing. Perbankan syariah harus menyusun pedoman kerja operasional agar mempunyai akses yang luas ke pasar valuta asing, tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
2.     Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dengan perturakan antara emas dan perak (share) harga atas pertukaran itu dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli.  
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat memberikan saran yaitu:
1.     Pemerintah  perlu  memperhatikan  pengaturan  tentang  Reksa Dana  konvensional,  agar  lebih  menjamin  kepastian  hukum  dari Reksa Dana konvensional.
2.     Untuk para pihak yang terlibat di Reksa Dana, agar lebih memperhatikan dan menunaikan hak dan  kewajibannya. 

DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Figh dan Keuangan (cet: V; Jakarta, IIIT Indonesia, 2010)

Iggi H Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal; Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah ( Surakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009)

M. Syafi’ie Antonio, Bank syariah bagi Bankir dan Praktisi keuangan, (Jakarta: IIIT, 2011)

Muhamad, Dasar-Dasar Keuangan Islam, (Yogyakarta: Ekonosia, 2011)

Muhammad Anas Al-Zarqa, An Islamic Perspective on Economics of Discounting In Project Evaluation dalam Syeikh Ghazali Syeikh Abod (et-al) An, Introduction in Islamic Finance (Kuala Lumpur Quill Pub, 1992





[1] Muhamad, Dasar-Dasar Keuangan Islam, (Yogyakarta: Ekonosia, 2011), hlm. 92
[2] Lihat; Iggi H Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal; Menggagas Konsep dan Praktek Manajemen Portofolio Syariah ( Surakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009) hlm.45
[3] i = bunga, dimana kreditur tanpa memperdulikan adanya kewajiban yang harus dibayar oleh debitur tanpa memperdulikan untung ruginya usaha yang dijalankan debitur.
[4] lihat, Muhammad, Manajemen…, hlm. 47
[5] Lihat, Iggi, H. Achsien
[6] Sebagai contoh seorang entrepreneur (debitur) meminjam uang di bank Rp. 10.000.000,- untuk jangka waktu 1 tahun dengan bunga 20% per-tahun. Maka pada akhir tahun ia harus membayar kembali sebesar Rp. 12.000.000,- yang merupakan pembayaran pokok pinjaman dan bunganya, sehingga dalam konsep ini, antara entrepreneur dan bank sama-sama menghargai harga uang Rp. 12.000.000,- satu tahun yang akan datang mempunyai nilai yang sama dengan Rp. 10.000.000,- yang saat ini. Lihat, Drs. R Agus Sartomo, Manajemen Keuangan (edisi VI cet. IV; Yogyakarta, BPFE Yogya, 2010) hal. 45
[7] Lihat, Iggi,
[8] Lihat, Muhammad Anas Al-Zarqa, An Islamic Perspective on Economics of Discounting In
Project Evaluation dalam Syeikh Ghazali Syeikh Abod (et-al) An, Introduction in Islamic Finance (Kuala Lumpur Quill Pub, 1992) hlm. 97
[9] Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan besok
(Q.S. Luqman; 34). Lihat pula Muhammad, Dasar-dasar…, hal. 92
[10] Prof. Shabir F. Ulgener membolehkan interest rate dipakai sebagai faktor diskonto. Katanya
yang diperlukan adanya perbedaan interest rate dipakai sebagai suatu surplus (riba) dengan interest
sebagai faktor perhitungan efesiensi ekonomi, juga Anas Zarqa, menyebutkan diskonto didasari oleh
prinsip oportunity cost untuk efesiensi, karena ekonom pun sepakat bahwa mengabaikan diskonto akan
menyebabkan kehilangan efesiensi melalui pelarangan israf (sesuatu yang berlebihan/waste). Hanya saja
dalam hal ini Anas Zarqa tidak mau menggunakan interest rate sebagai faktor diskonto, karena kalau
diskonto kemudian membuat interest (bunga) harus pula diterima, sudah semestinya demikian itu ditolak,
lihat, Iggi, loc cit. Sehubungan dengan hal di atas, maka yang dijadikan alternatif adalah rate of return
dari aset yang beresiko, misalnya saham dengan menggunakan ukuran rasio earning per share dengan
harga atau (E/P) hal ini berangkat dari gagasan teorinya Modigliani dan Miller (MM). Yang menyebutkan bahwa setiap aset memiliki "rate" yang berbeda-beda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pembolehan penggunaan rate tertentu sebagai faktor diskonto didasarkan pada alasan bahwa discount rate
dan interest rate merupakan dua hal yang berbeda. Disamping itu faktor diskonto diperlukan secara
definitif untuk kepentingan efesiensi. Lihat, Muhammad, Dasar-dasar…, hal. 93
[11] Lihat, Ibid, h. 47
[12] Lihat, Muhammad Akram Khan dalam Abad, (et-al) An introduction…, hlm. 129-130
[13] Lihat, Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Figh dan Keuangan (cet: V; Jakarta, IIIT
Indonesia, 2010) hlm. 238
[14] Lihat, Muhammad, Dasar- dasar… , hlm. 96
[15] M. Syafi’ie Antonio, Bank syariah bagi Bankir dan Praktisi keuangan, (Jakarta: IIIT, 2011) hlm. 120
[16] Ibid

Blog Archive