Menurut Yanuarko, (Profil PUM,
Majalah Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, 2007), upaya pengurangan bencana
harus ditingkatkan. Konferensi pengurangan risiko bencana sedunia (World
Conference for Disaster Reduction/WCDR) di Kobe, Jepang, pada tanggal 18-25
Januari 2005 dan konferensi asia (Asian Conference fot Disaster
Reduction/ACDR) di Beijing, China, pada tanggal 27-29 September 2005
tentang pengurangan risiko bencana adalah dasar tekad dan program kerja
masyarakat sedunia dalam mengurangi risiko bencana, yang melahirkan Hyogo Framework for Action/HFA (Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015)
yaitu membangun ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana (Building
the Resilience of nation and communities to disasters).
Hasil ini memahami bahwa sasaran
pembangunan tidak akan tercapai tanpa pertimbangan risiko bencana dan bahwa
pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan risiko bencana
tidak diarusutamakan kedalam kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Jelasnya, perspektif pengurangan risiko bencana harus dipadukan kedalam
perencanaan pembangunan setiap negara dan dalam strategi pelaksanaannya yang
terkait. Pada pelaksaannya, hal ini sudah didukung perangkat teknologi yang
sudah ada dalam kemampuan untuk mengambil tindakan proaktif untuk mengurangi
risiko kerugian akibat bencana sebelum terjadi.
Selanjutnya bencana yang terjadi
secara berulang-ulang menjadi suatu tantangan bagi pembangunan disetiap negara.
Dampak bencana semakin meningkat, bantuan terhadap keadaan darurat juga semakin
bertambah, juga semakin mengurangi sumber daya untuk biaya pembangunan.
Demikian pula secara sosial dan ekonomi, penduduk semakin terpuruk dan
terpinggirkan kedalam kemiskinan, ketergantungan akan sumber daya alam akan
semakin meningkat, sehingga berdampak pada degradasi lingkungan, yang pada
akhirnya semakin meningkatkan kerentanan terhadap risiko bencana. Dengan
demikian pengurangan risiko bencana harus menjadi suatu bagian tak terpisahkan
dari pembangunan berkelanjutan.
I. Seputar Partisipasi Komunitas
Menurut Nugroho (2008:25),
komunitas merupakan sebuah istilah yang digunakan secara luas. Satu konsep umum
mengenai komunitas adalah bahwa suatu komunitas adalah harmonis, mempunyai satu
keselarasan minat dan aspirasi, dan terikat oleh nilai-nilai dan tujuan yang
sama. Definisi ini menunjukkan bahwa komunitas bersifat homogen. Dalam
kenyataannya, suatu komunitas dapat dibedakan secara sosial dan beragam.
Gender, kelas, kasta, kekayaan, usia, etnis, agama, bahasa, dan aspek-aspek
lain membedakan dan saling melengkapi dalam komunitas. Kepercayaan, minat, dan
nilai-nilai anggota komunitas dapat bertentangan satu sama lain. Oleh karena
itu, sebuah komunitas tidak perlu homogen.
Meskipun demikian, mereka yang
tinggal dalam sebuah komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas yang
berbeda-beda, misalnya laki-laki dan perempuan. Ada yang mungkin lebih rentan
atau lebih mampu dari yang lain.
Seterusnya, ada berbagai
pemangku-kepentingan (stakeholder) dan aktor dalam proses pengelolaan
risiko bencana oleh komunitas. Pemangku-kepentingan pengelolaan bencana secara
umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) penerima manfaat, komunitas yang
mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung, (ii)
intermediari, kelompok komunitas, lembaga atau perseorangan yang dapat
memberikan pertimbangan atau fasilitasi dalam pengelolaan bencana antara lain:
konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang kebencanaan, dan (iii) pembuat
kebijakan, lembaga/institusi yang berwenang membuat keputusan dan landasan
hukum seperti lembaga pemerintahan dan dewan kebencanaan.
Kemudian penentuan dan pemilahan
pemangku kepentingan dilakukan melalui 4 (empat) tahap proses yaitu: (a)
identifikasi pemangku-kepentingan ; (b) penilaian ketertarikan
pemangku-kepentingan terhadap kegiatan penanggulangan bencana ; (c) penilaian
tingkat pengaruh dan kepentingan setiap pemangku-kepentingan ; dan (d)
perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam penanggulangan bencana
pada setiap fase kegiatan. Semua proses dilakukan dengan cara mempromosikan
kegiatan pembelajaran dan meningkatkan potensi komunitas untuk secara aktif
berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut bagian dan memiliki
kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam
kegiatan penanggulangan bencana.
Selanjutnya peran komunitas dalam
proses pembangunan adalah penting karena dalam kenyataannya tidak seorang pun
yang dapat memahami kesempatan dan hambatan di tingkat lokal selain komunitas
setempat itu sendiri, dan tidak seorang pun lebih tertarik untuk memahami
urusan setempat selain komunitas yang keberlanjutan hidup dan kesejahteraannya
dipertaruhkan. Oleh karena komunitas tempatan harus dilibatkan dalam
identifikasi dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan kerentanan terhadap
bencana dan informasi harus diperoleh dengan cara dan bahasa yang dapat
dipahami oleh komunitas.
Semakin banyak bukti yang
menunjukkan bahwa kebanyakan pengelolaan risiko bencana dan program pengelolaan
yang bersifat topdown gagal untuk mencakup kebutuhan setempat khusus
dari komunitas yang rentan, mengabaikan potensi sumber daya dan kapasitas
setempat, dan mungkin dalam beberapa kasus bahkan meningkatkan ketergantungan
sekaligus kerentanan komunitas dan sebagai hasilnya, para praktisi pengelolaan
risiko bencana telah menghasilkan suatu kesepakatan umum untuk lebih memberikan
penekanan pada program-program pengelolaan risiko bencana oleh komunitas. Ini
berarti bahwa komunitas yang rentan itu sendiri yang akan dilibatkan dalam
perencanaan pelaksanaan tindakan-tindakan pengelolaan risiko bencana bersama
dengan semua entitas tingkat lokal, propinsi, dan nasional dalam bentuk kerja
sama.
Tujuan penanggulangan risiko
bencana oleh komunitas adalah mengurangi kerentanan dan memperkuat kapasitas
komunitas untuk menghadapi risiko bencana yang mereka hadapi. Keterlibatan
langsung komunitas dalam melaksanakan tindakan-tindakan peredaman risiko di
tingkat lokal adalah suatu keharusan. Beberapa penulis membedakan antara
keikutsertaan komunitas dengan keterlibatan komunitas. Keikutsertaan dan
keterlibatan komunitas digunakan secara bergantian, yang berarti bahwa
komunitas bertanggungjawab untuk semua tahapan program termasuk perencanaan dan
pelaksanaan. Pada akhirnya, ujung dari partisipasi komunitas ini adalah
mewujudkan penanggulangan bencana oleh komunitas itu sendiri.
Pengalaman dalam pelaksanaan penanggulangan
bencana yang berorientasi pada pemberdayaan dan kemandirian komunitas akan
merujuk pada: (1) melakukan upaya pengurangan risiko bencana bersama komunitas
di kawasan rawan bencana, agar selanjutnya komunitas mampu mengelola risiko
bencana secara mandiri, (2) menghindari munculnya kerentanan baru &
ketergantungan komunitas di kawasan rawan bencana pada pihak luar, (3)
penanggulangan risiko bencana merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pemberlanjutan kehidupan
komunitas di kawasan rawan bencana, (4) pendekatan multisektor, multi disiplin,
dan multibudaya.
Lebih lanjut penanggulangan
risiko bencana berbasis komunitas dapat mengacu kepada hal-hal penting berikut:
(1) Fokus perhatian dalam pengelolaan risiko bencana adalah komunitas setempat.
(2) Peredaman risiko bencana adalah tujuannya. Strategi utama adalah untuk
meningkatkan kapasitas dan sumber daya kelompok-kelompok yang paling rentan dan
mengurangi kerentanan mereka untuk mencegah terjadinya bencana di kemudian
hari. (3) Pengakuan adanya hubungan antara pengelolaan risiko bencana dan
proses pembangunan. Pendekatan ini beranggapan bahwa menangani penyebab
mendasar bencana, misalnya kemiskinan, diskriminasi dan marginalisasi,
penyelenggaraan pemerintahan yang lemah dan pengelolaan politik dan ekonomi
yang buruk, akan berperan dalam perbaikan menyeluruh kualitas hidup dan
lingkungan. (4) Komunitas adalah sumber daya kunci dalam pengelolaan risiko
bencana. Komunitas adalah aktor utama dan juga penerima manfaat utama dalam
proses pengelolaan risiko bencana. (5) Penerapan pendekatan multi-sektor dan
multi-disipliner; menyatukan begitu banyak komunitas lokal dan bahkan pemangku
kepentingan pengelolaan risiko bencana untuk memperluas basis sumber dayanya.
(6) Merupakan kerangka kerja yang berkembang dan dinamis.
Pelajaran yang dipetik dari
prakek-praktek yang telah ada terus mengembangkan teori. Pembagian pengalaman,
metodologi dan alat-alat oleh komunitas dan para praktisi terus berlangsung
untuk memperkaya praktek. (7) Mengakui bahwa berbagai komunitas yang berbeda
memiliki persepsi yang berbeda tentang risiko. Terutama laki-laki dan perempuan
yang mungkin mempunyai pemahaman dan pengalaman yang berbeda dalam menangani
risiko juga mempunyai persepsi yang berbeda tentang risiko dan oleh karena itu
mungkin mempunyai pandangan yang berbeda tentang bagaimana meredam risiko.
Adalah penting untuk mengenali perbedaan-perbedaan tersebut. (8) Berbagai
anggota komunitas dan kelompok dalam komunitas mempunyai kerentanan dan
kapasitas yang berbeda. Individu, keluarga, dan kelompok yang berbeda dalam
komunitas mempunyai kerentanan dan kapasitas yang berbeda-beda. Perbedaan
tersebut ditentukan oleh usia, jender, kelas, pekerjaan (sumber penghidupan),
etnisitas, bahasa, agama dan lokasi fisik.