BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Lingkungan merupakan tempat dimana seorang
anak tumbuh dan berkembang, sehingga lingkungan banyak berperan dalam membentuk
kepribadian dan karakter seseorang. Bagi kebanyakan anak, lingkungan keluarga
merupakan lingkungan ini yang mempengaruhi perkembangan anak, setelah itu
sekolah dan kemudian masyarakat. Keluarga dipandang sebagai lingkungan dini
yang dibangun oleh orangtua dan orang-orang terdekat. Setiap keluarga selalu
berbeda dengan keluarga lainnya, dalam hal ini yang berbeda misalnya cara didik
keluarga, keadaan ekonomi keluarga. Setiap keluarga memiliki sejarah
perjuangan, nilai-nilai, dan kebiasaan yang turun temurun yang secara tidak
sadar akan akan membentuk karakter anak.
Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi
kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya
adalah keluarga yang penuh dengan konflik atau tidak bahagia. Tugas berat para
orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar aman, nyaman
bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi
cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya.
Dari beberapa paparan tersebut dapat di ambil
kesimpulan bahwa pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan awal bagi anak
karena pertama kalinya mereka mengenal dunia terlahir dalam lingkungan keluarga
dan dididik oleh orang tua. Sehingga pengalaman masa anak-anak merupakan faktor
yang sangat penting bagi perkembangan selanjutnya, keteladanan orang tua dalam
tindakan sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi anak, membentuk
anak sebagai makhluk sosial, religius, untuk menciptakan kondisi yang dapat
menumbuh kembangkan inisiatif dan kreativitas anak. Dengan demikian,
tidak dapat dipungkiri bahwa peran kelurga sangat besar sebagai penentu
terbentuknya moral manusia-manusia yang dilahirkan.
- RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
diatas, pokok permasalahan yang saya angkat adalah
:
1.
Apa fungsi keluarga ?
2.
Bagaimana pengaruh keluarga terhadap perilaku moral anak ?
3.
Bagaimana peran keluarga terhadap pembentukan karakter anak ?
- TUJUAN PENULISAN MAKALAH
Berdasarkan
rumusan masalah diatas penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan mengenai fungsi keluarga
2. Menjelaskan mengenai pengaruh keluarga
terhadap perkembangan karakter seorang anak.
3. Menjelaskan peran keluarga dalam
pembentukan karakter anak.
4. Untuk
mengerti pentingnya pendidikan karakter bagi anak .
5. Agar orang
tua dapat mengerti lingkungan yang baik untuk anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fungsi
Keluarga
Menurut Munandar (1985), pengertian
keluarga dapat dilihat dalam arti kata yang sempit, sebagai keluarga inti yang
merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan
pernikahan dan terdiri dari seorang suami (ayah), isteri (ibu) dan anak-anak
mereka. Sedangkan keluarga dalam arti kata yang lebih luas misalnya keluarga
RT, keluarga komplek, atau keluarga Indonesia.
keluarga adalah merupakan lingkungan
pendidikan pertama bagi anak. Di lingkungan keluarga pertama-tama anak mendapat
pengaruh, karena itu keluarga merupakan lembaga pendidikan tertinggiyang
bersifat informal dan kodrat. Pada keluarga inilah anak mendapat asuhan dari
orang tua menuju ke arah perkembangannya.
Keluarga menjalankan peranannya
sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang
anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan
anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu. Keluarga merupakan tempat
ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan
untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku
yang menyimpang. Selain sebagai tempat berlindung, keluarga juga memiliki
fungsi sebagai berikut:
- Mempersiapkan anak-anak
bertingkah laku sesuai dengan niai-nilai dan norma-norma aturan-aturan
dalam masyarakat dimana keluarga tersebut berada (sosialisasi).
- Mengusahakan terselenggaranya
kebutuhan ekonomi rumah tangga (ekonomi), sehingga keluarga sering disebut
unit produksi.
- Melindungi anggota keluarga
yang tidak produksi lagi (jompo).
- Meneruskan keturunan
(reproduksi).
Atau secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga,
sebagai berikut :
- Fungsi biologis
- Untuk meneruskan keturunan.
- Memelihara dan membesarkan anak.
- Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
- Memelihara dan merawat anggota keluarga.
- Fungsi Psikologis
1.
Memberikan kasih sayang dan rasa
aman.
2.
Memberikan perhatian diantara
anggota keluarga.
3.
Membina pendewasaan kepribadian
anggota keluarga.
4.
Memberikan Identitas anggota
keluarga..
3.
Fungsi Sosialisasi
1.
Membina sosialisasi pada anak.
2.
Membentuk norma-norma perilaku
sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
3.
Meneruskan nilai-nilai budaya
keluarga.
4. Fungsi Ekonomi
1.
Mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
2.
Pengaturan penggunaan penghasilan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
3.
Menabung untuk memenuhi kebutuhan
keluarga di masa yang akan datang, misalnya pendidikan anak-anak, jaminan
hari tua, dsb.
5. Fungsi Pendidikan
a. Menyekolahkan anak
untuk memberi pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak
sesuai bakat dan minat yang dimilikinya.
b. Mempersiapkan
anak-anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam
memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
c. Mendidik anak sesuai
dengan tingkat perkembangannya. Ahli lain membagi fungsi keluarga, sebagai
berikut :
1.
Fungsi Pendidikan : Dalam hal ini
tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan
kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa.
2.
Fungsi Sosialisasi anak : Tugas
keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan
anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3.
Fungsi Perlindungan: Tugas keluarga
dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik
sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4.
Fungsi Perasaan : Tugas keluarga
dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif merasakan perasaan dan
suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam
menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5.
Fungsi Religius : Tugas keluarga
dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota
keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk
meyakinkan bahwa ada kehidupan lain setelah dunia ini.
6. Fungsi
Ekonomis
Tugas kepala keluarga dalam hal ini
adalah mencari sumber-sumber kehidupan dalam memenuhi fungsi-fungsi
keluarga yang lain, kepala keluarga bekerja untuk mencari penghasilan, mengatur
penghasilan itu, sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
keluarga.
7. Fungsi
Rekreatif
Tugas keluarga dalam fungsi rekreasi
ini tidak harus selalu pergi ke tempat rekreasi, tetapi yang penting bagaimana
menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat dilakukan
di rumah dengan cara nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman
masing-masing, dsb.
8. Fungsi
Biologis
Tugas keluarga yang utama dalam hal
ini adalah untuk meneruskan keturunan sebagai generasi penerus.
Menurut Kingslet Davis menyebutkan bahwa fungsi
keluarga ialah sebagai berikut :
1.
Reproduction, yaitu
menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem
sosial yang bersangkutan.
2.
Maintenance, yaitu
perawatan dan pengasuhan anak hingga mereka mampu berdiri sendiri.
3.
Placement, memberi
posisi sosial kepada setiap anggotanya, baik itu posisi sebagai kepala rumah
tangga maupun anggota rumah tangga, atau pun posisi-posisi lainnya.
4.
Sosialization, pendidikan
serta pewarisan nilai-nilai sosial sehingga anak-anak kemudian dapat
diterima dengan wajar sebagai anggota masyarakat.
5.
Economics, mencukupi
kebutuhan akan barang dan jasa dengan jalan produksi, distribusi, dan
konsumsi yang dilakukan di antara anggota keluarga.
6.
Care of the ages, perawatan
bagi anggota keluarga yang telah lanjut usianya.
7.
Political center, memberikan
posisi politik dalam masyarakat tempat tinggal.
8.
Physical protection, memberikan
perlindungan fisik terutama berupa sandang, pangan, dan mperumahan bagi
anggotanya.
Bila seorang anak dibesarkan pada keluarga pembunuh,
maka ia akan menjadi pembunuh. Bila seorang anak dibesarkan melalui cara-cara
kasar, maka ia akan menjadi pemberontak. Akan tetapi, bila seorang anak
dibesarkan pada keluarga yang penuh cinta kasih sayang, maka ia akan tumbuh
menjadi pribadi cemerlang yang memilki budi pekerti luhur. Keluarga sebagai
tempat bernaung, merupakan wadah penempaan karakter individu.
Pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah
karena terjadi perubahan sosial, politik, dan budaya. Keadaan ini memiliki
andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga
telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan. Tidak seperti fungsi keluarga pada
masa lalu yang merupakan kesatuan produktif sekaligus konsumtif. Ketika
kebijakan ekonomi pada zaman modern sekarang ini mendasarkan pada aturan
pembagian kerja yang terspesialisasi secara lebih ketat, maka sebagian tanggung
jawab keluarga beralih kepada orang-orang yang menggeluti profesi tertentu.
Uraian tersebut cukup menjelaskan apa arti keluarga
yang sesungguhnya. Keluarga bukan hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah,
ibu, dan anak. Lebih dari itu, keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral
serta penempaan karakter manusia. Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam
menjalani hidup bergantung pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam
menanamkan ajaran moral kehidupan. Keluarga lebih dari sekedar pelestarian
tradisi, kelurga bukan hanya menyangkut hubungan orang tua dengan anak,
keluarga merupakan wadah mencurahkan segala inspirasi. Keluarga menjadi tempat
pencurahan segala keluh kesah. Keluarga merupakan suatu jalinan cinta kasih
yang tidak akan pernah terputus.
B. Pengaruh / Peran Keluarga Terhadap Perkembangan Karakter Seorang Anak
Menurut Papalia dan Old (1987), masa anak-anak dibagi
menjadi lima tahap yaitu :
1. Masa
Prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir.
2. Masa Bayi dan Tatih, yaitu saat usia 18
bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan pertama
kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 bulan
sampai tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju
pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian.
3. Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang
usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah.
4. Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 6-12
tahun, dikenal pula sebagai masa sekolah.
5. Anak-anak telah mampu menerima
pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya.
6. Masa remaja, yaitu rentang usia 12-18
tahun. Saat anak mencari identitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya
dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua.
Peran kedua
orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain:
1. Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi
anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapatkan cinta dan kasih sayang cukup dari
kedua orang tuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi
masalah-masalah baru mereka akan bisa menghadapi dan menyelesaikannya dengan
baik. Sebaliknya jika kedua orang tua terlalu ikut campur dalam urusan mereka
atau mereka memaksakan anak-anaknya untuk menaati mereka, maka perilaku kedua
orang tua yang demikian ini akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan
kepribadian mereka.
2. Kedua orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan
rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa anak-anak. Karena hal ini akan menyebabkan
pertumbuhan potensi dan kreativitas akal anak-anak yang pada akhirnya keinginan
dan Kemauan mereka menjadi kuat dan hendaknya mereka diberi hak pilih.
3. Saling menghormati antara kedua orang
tua dan anak-anak. Hormat di sini bukan berarti bersikap sopan secara lahir
akan tetapi selain ketegasan kedua orang tua, mereka harus memperhatikan
keinginan dan permintaan alami dan fitri anak-anak. Saling menghormati artinya
dengan mengurangi kritik dan pembicaraan negatif sekaitan dengan kepribadian
dan perilaku mereka serta menciptakan iklim kasih sayang dan keakraban, dan
pada waktu yang bersamaan kedua orang tua harus menjaga hak-hak hukum mereka
yang terkait dengan diri mereka dan orang lain. Kedua orang tua harus bersikap
tegas supaya mereka juga mau menghormati sesamanya.
4. Mewujudkan kepercayaan. Menghargai dan memberikan
kepercayaan terhadap anak-anak berarti memberikan penghargaan dan kelayakan
terhadap mereka, karena hal ini akan menjadikan mereka maju dan berusaha serta
berani dalam bersikap. Kepercayaan anak-anak terhadap dirinya sendiri akan
menyebabkan mereka mudah untuk menerima kekurangan dan kesalahan yang ada pada
diri mereka. Mereka percaya diri dan yakin dengan kemampuannya sendiri. Dengan
membantu orang lain mereka merasa keberadaannya bermanfaat dan penting.
5. Mengadakan perkumpulan dan rapat keluarga (kedua
orang tua dan anak). Dengan melihat keingintahuan fitrah dan kebutuhan jiwa
anak, mereka selalu ingin tahu tentang dirinya sendiri. Tugas kedua orang tua
adalah memberikan informasi tentang susunan badan dan perubahan serta
pertumbuhan anak-anaknya terhadap mereka. Selain itu kedua orang tua harus
mengenalkan mereka tentang masalah keyakinan, akhlak dan hukum-hukum fikih
serta kehidupan manusia. Jika kedua orang tua bukan sebagai tempat rujukan yang
baik dan cukup bagi anak-anaknya maka anak-anak akan mencari contoh lain; baik
atau baik dan hal ini akan menyiapkan sarana penyelewengan anak.
Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus mengamalkannya.
Yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus mengamalkannya.
C. Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak
Pentingnya pendidikan karakter di sekolah adalah
untuk membantu memaksimalkan kemampuan kognitif pada anak. Pada dasarnya,
pendidikan yang diterapkan pada sekolah-sekolah menuntut untuk dapat
memaksimalkan kemampuan dan kecakapan kognitif. Jika memandang pengertian
seperti yang telah dijelaskan di atas, ada sebuah hal yang sangat penting yang
sering kali terlewatkan oleh para guru, yaitu mengenai pendidikan karakter.
Pendidikan karakter memiliki peran yang amat penting untuk menyeimbangkan
antara kemampuan kognitif dengan kemampuan psikologis.
Mengapa
perlu pendidikan karakter?
Ada beberapa penamaan nomenklatur
untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung
kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan
Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan
Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan
secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan
karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu
sendiri (Kirschenbaum, 2000).
Sepanjang sejarahnya, di seluruh
dunia ini, pendidikan pada hakekatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia
untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia
yang baik (good). Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah
melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak,
tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat
wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau
penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya problem
moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan
karakter. Rujukan kita sebagai orang yang beragama (Islam misalnya) terkait
dengan problem moral dan pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari
kasus moral yang pernah menimpa kedua
Sebagai kajian akademik, pendidikan
karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti
dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di
sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian
pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for
Character Education). Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian
multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Sebagai aspek kepribadian,
karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang:
mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat
sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun,
dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan
kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut
berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat
kontekstual dan kultural.
Menurunnya kualitas moral dalam
kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut
deselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran
dan tanggungjawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik
dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan
nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan
pada nilai-nilai tertentu –seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli,
dan adil– dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
Pengertian
Pendidikan Karakter
Kata character berasal
dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambar),
seperti orang yang melukis kertas, memahat batu atau metal. Berakar dari
pengertian yang seperti itu, character kemudian diartikan sebagai tanda atau
ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan sutu pandangan bahwa karakter adalah
pola perilaku yang bersifat individual, keadaan moral seseorang?. Setelah
melewati tahap anak-anak, seseorang memiliki karakter, cara yang dapat
diramalkan bahwa karakter seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di
sekitar dirinya (Kevin Ryan, 1999: 5).
Williams & Schnaps
(1999)mendefinisikan pendidikan karaktersebagai
“any deliberate approach by
which school personnel, often in conjunction with parents and community
members, help children and youth become caring, principled
and responsible”.
Maknanya dari pengertian
pendidikan karakter yaitu merupakan berbagai usaha yang dilakukan
oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama
dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan
remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan
bertanggung jawab.
Lebih lanjut Williams (2000)
menjelaskan bahwa makna dari pengertian pendidikan karakter tersebut
awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di
Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan,
filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian
konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral.
Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter semestinya
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami sifat-sifat tersebut
secara langsung.
Tujuh Alasan Perlunya Pendidikan
Karakter
Menurut Lickona ada tujuh alasan mengapa
pendidikan karakter itu harus disampaikan:
1.
Merupakan cara terbaik untuk
menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya;
2.
Merupakan cara untuk meningkatkan
prestasi akademik;
3.
Sebagian siswa tidak dapat membentuk
karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain;
4.
Mempersiapkan siswa untuk
menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang
beragam;
5.
Berangkat dari akar masalah yang
berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran,
kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah;
6.
Merupakan persiapan terbaik untuk
menyongsong perilaku di tempat kerja; dan
7.
Mengajarkan nilai-nilai budaya
merupakan bagian dari kerja peradaban.
Bagaimana
Mendidik Aspek Karakter?
Pendidikan bukan
sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata,
melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang
bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak
bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai
fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk
watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari
peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua
pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik).
Secara umum materi tentang
pendidikan karakter dijelaskan oleh Berkowitz, Battistich, dan
Bier (2008: 442) yang melaporkan bahwa materi pendidikan karakter sangat
luas. Dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa paling tidak ada 25
variabel yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan karakter. Namun,
dari 25 variabel tersebut yang paling umum dilaporkan dan secara
signifikan hanya ada 10, yaitu:
1.
Perilaku seksual
2.
Pengetahuan tentang karakter (Character
knowledge)
3.
Pemahaman tentang moral sosial
4.
Ketrampilan pemecahan masalah
5.
Kompetensi emosional
6.
Hubungan dengan orang lain (Relationships)
7.
Perasaan keterikan dengan sekolah (Attachment
to school)
8.
Prestasi akademis
9.
Kompetensi berkomunikasi
10. Sikap kepada
guru (Attitudes toward teachers).
Otten (2000) menyatakan bahwa
pendidikan karakter yang diintegrasikan ke dalam seluruh masyarakat
sekolah sebagai suatu strategi untuk membantu mengingatkan kembali siswa
untuk berhubungan dengan konflik, menjaga siswa untuk tetap selalu siaga
dalam lingkungan pendidikan, dan menginvestasikan kembali masyarakat untuk
berpartisipasi aktif sebagai warga negara.
Peran
Konselor dalam Pendidikan Karakter di Sekolah
Jika pendidikan karakter
diselenggarakan di sekolah maka konselor sekolah akan menjadi pioner dan
sekaligus koordinator program tersebut. Hal itu karena konselor
sekolah yang memang secara khusus memiliki tugas untuk membantu
siswa mengembangkan kepedulian sosial dan masalah-masalah kesehatan
mental,
Konselor sekolah harus mampu
melibatkan semua pemangku kepentingan (siswa, guru bidang studi, orang
tua, kepala sekolah) di dalam mensukseskan pelaksanaan programnya. Mulai
dari program pelayanan dasar yang berupa rancangan kurikulum bimbingan
yang berisi materi tentang pendidikan karakter, seperti kerja
sama, keberagaman, kejujuran, menangani kecemasan, membantu orang lain,
persahabatan, cara belajar, menejemen konflik, pencegahan penggunaan
narkotika, dan sebagainya. Program perencanaan individual berupa kemampuan
untuk membuat pilihan, pembuatan keputusan, dan seterusnya. Program
pelayanan responsif yang antara lain berupa kegiatan konseling individu,
konseling kelompok.
D. Orang Tua Dapat Mengerti Lingkungan Yang Baik Untuk Anak.
Seorang anak tentunya tidak langsung
dapat mengenal alam sekitar mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya,
melainkan dibutuhkan pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan
di masyarakat. Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting dalam
pembangunan mental dan karakteristik sang anak. Di dalam keluarga, anak belajar
dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang terjadi bersifat
dekat dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya,
dan sebaliknya apa yang didapati anak dari keluarganya akan mempengaruhi
perkembangan jiwa, tingkah laku, cara pandang dan emosinya. Dengan demikian
pola asuh yang diterapkan orang tua dalam keluarganya memegang peranan penting
bagi proses interaksi anak di lingkungan masyarakat kelak.
“Kehidupan keluarga yang senantiasa
dibingkai dengan lembutnya cinta kasih dan nuansa yang harmonis, dari sana
akan hadirlah individi-individu dengan tumbuh kembang yang wajar sebagaimana
diharapkan. Sebaliknya keluarga yang dinding kehidupannya dipahat dengan
sentakan-sentakan, broken home, broken heart, perlakuan sadis dan
kekejaman tercerai berainya benang-benang kasih sayang dan jalinan cinta, maka
keluarga beginilah yang bakal alias cikal bakal menjadi suplayer limbah-limbah
kehidupan sosial dan sampah-sampah masyarakat yang menyedihkan.
Tidak dapat dipungkiri, jika dasar
pendidikan yang menjadi landasan dan tongkat estafet pendidikan anak
selanjutnya adalah pendidikan keluarga. Apabila pondasi pendidikan dibangun
dengan kuat maka pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil
dengan baik, sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit
kiranya membangun pendidikan selanjutnya.
Gilbert Highest dalam Jalaludin
mengatakan bahwa: kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk
oleh pendidikan keluarga. Sejak dari bangun tidur hingga ke saat akan tidur
kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan
keluarga (Gilbert Highest, 1961: 78).
Dari apa yang diungkapkan Gilbert,
kita dapat mengetahui memang pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah
dari keluarga, bagaimana orang tua berprilaku akan selalu menjadi perhatian
anak, dan akan ditanamkan di benaknya. Anak lahir berdasarkan fitrahnya. Jika
pendidikan yang baik diterapkan orang tuanya maka banyak hal baik yang dapat
ditiru anak tersebut dalam prilakunya. Lain halnya dengan anak yang dididik
dengan cemoohan dan ejekan dari setiap kegagalan yang ia dapati, maka anak tersebut
akan selalu hidup dalam ketakutan dan kegelisahan disebabkan hasil perbuatannya
yang tidak memuaskan orang tuanya.
Dalam keluarga, seorang anak akan
mendapati hal-hal yang tidak didapati di lingkungan formal maupun lingkungan
masyarakat, seperti perhatian yang penuh, kasih sayang, belaian hangat kedua
orang tua dan banyak hal lain lagi. Berbeda dengan lingkungan sekolah dan
masyarakat, keluarga menjadi motor penggerak keberhasilan anak dalam mencapai
inspirasi peergaulannya dengan teman-temannya serta lingkungan masyarakat
sekitar. Orang tua yang menanamkan rasa kasih sayang dalam keluarga akan
menimbulkan keharmonisan dalam interaksi dengan sang anak. Segala permasalahan
yang dijumpai anak akan mudah diketahui melalui pendekatan secara personal.
Seorang anak akan merasa termotivasi
jika hasil jerih payah dan prestasinya dihargai orang tua, sehingga
keharmonisan hubungan keduanya memiliki peranan penting dalam perkembangan anak
tersebut dalam peningkatan prestasi belajar. Akan tetapi terkadang kita jumpai
orang tua yang memaksakan kehendaknya agar anak dapat memenuhi keinginan orang
tuanya itu. Hal ini akan menimbulkan rasa keterpaksaan pada diri anak baik
dalam bidang prestasi, tugas maupun kewajibannya. Rasa keterpaksaan itu akan
mengakibatkan timbulnya rasa malas dan mematikan rasa kesadaran diri dalam
berbuat. Banyak kita dapati seorang anak takut gagal dalam berprestasi, sebab
dampak yang akan didapati dari kegagalannya berupa hukuman maupun siksaan dari
orang tuannya. Bagi sebagian anak yang tidak mendapatkan perhatian dari orang
tuannya, berprestasi adalah sesuatu hal yang tidak penting baginya sebab segala
tindakan yang ia lakukan tidak pernah dihiraukan oleh orang tuanya, sehingga
berprestasi ataupun tidak merupakan suatu hal yang lumrah dan biasa saja.
Syamsu Yusuf mengatakan: “Keluarga
yang fungsional ditandai oleh karakteristik: (a) saling memperhatikan dan
mencintai (b) bersikap terbuka (c) orang tua mau mendengarkan anak, menerima
perasaannya dan menghargai pendapatnya (d) ada “sharing” masalah
atau pendapat diantara anggota keluarga (e) mampu berjuang mengatasi
hidupnya (f) saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi (g) orang tua
melindungi/mengayomi anak (h) komunikasi antara anggota keluarga berlangsung
dengan baik (i) keluarga memenuhi kebutuhan psikososial anak dan mewariskan
nilai-nilai budaya (j) mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, dalam keluarga terjadi proses interaksi antara anak dan orang tua
selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Proses pengasuhan tersebut seperti
mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai
kematangan sesuai yang diharapkan. Penggunaan pola asuh tertentu memberikan
dampak dalam mewarnai setiap perkembangan terhadap bentuk-bentuk prilaku
tertentu pada anak, seperti prilaku agresif yang sering terjadi.
Keharmonisan dan rasa demokrasi
tidak selalu seperti yang kita harapkan, hingga saat sekarang ini masih banyak
orang tua yang menerapkan kekerasan dalam mendidik anaknya. Mereka beranggapan
pendidikan yang keras akan dapat mewujudkan keinginan dan harapannya, seperti
prestasi, budi pekerti dan lain-lain. Namun sebaliknya kenyataan yang kita
jumpai justru bertolak belakang dengan harapan-harapan yang diinginkan. Anak
yang dididik keras akan timbul rasa tertekan dan takut, ada juga anak yang
diberi kebebasan sehingga anak tersebut malas dan enggan untuk mencapai
prestasi yang lebih baik, sebab tidak adanya perhatian dan tanggapan dari orang
tuannya atas apa yang yang diraihnya.
Pola Asuh
Pola asuh berasal dari kata pola dan asuh. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia kata pola mempunyai arti gambar yang dipakai untuk
contoh batik; corak batik atau tenun; ragi atau suri; potongan kertas yang
dipakai model; sistem; cara kerja; – permainan – pemerintahan, bentuk struktur
yang tetap- kalimat; dalam puisi, adalah sajak yang dinyatakan dengan bunyi
gerak kata atau arti. Sedangkan Asuh berarti menjaga merawat dan mendidik
anak kecil; membimbing membantu dan melatih, dsb; memimpin mengepalai, menyelenggarakan
suatu badan atau kelembagaan.
Kegiatan pengasuhan banyak diartikan
sebagai usaha dalam mendidik anak. Orang tua sebagai pendidik memilih pola asuh
yang sesuai dalam mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada
kehidupan yang layak dan bermartabat. Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis
dalam mencari bentuk atau pola asuh yang lebih efektif dan baik. Banyak para
ahli mengemukakan definisi dan bentuk-bentuk pola asuh yang tepat. Laurrence
Steinburg mendefinisikan; Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang sesuai
dengan kondisi psikologis dengan unsur-unsur seperti kejujuran, empati,
mengendalikan diri sendiri, kebaikan hati, kerja sama, pengendalian diri, dan
kebahagiaan. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang membantu anak berhasil
di sekolah, mendukung perkembangan keingintahuan intelektual, motivasi
belajar, dan keinginan untuk mencapai sesuatu. Pengasuhan yang baik adalah yang
menjauhkan anak dari prilaku anti sosial, melakukan pelanggaran hukum ringan,
serta pemakaian narkoba dan alkohol. Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan
yang membantu melindungi anak dari berkembangnya keresahan, depresi, gangguan
makan dan berbagai masalah psikologi lain.
Secara umum dari pengertian diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa pengasuhan adalah kegiatan dalam rangka
mendidik, membimbing, mengarahkan anak, baik secara fisik maupun mental,
keyakinan hidup dan moral. Dalam hal ini ayah dan ibu memiliki peran sebagai
seorang pendidik dalam lingkungan keluarga dalam upaya mengarahkan anak dalam
prilaku dan norma-norma yang baik.
Tingkah laku orang tua selalu
menjadi tolak ukur anak dalam proses pendidikan dalam keluarga. Anak akan
meniru orang tua dalam bersikap dan berprilaku baik hal tersbut disadari
ataupun tidak. Semenjak dilahirkan ke dunia, anak akan meniru prilaku orang tua
dan tak ada yang dapat dilakukan orang tua untuk mencegah hal tersebut.
Kecenderungan seorang anak menirukan segala sesuatu yang muncul dari prilaku
orang tua disebabkan karena mereka memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh
berkembang menjadi seperti ibu dan ayahnya. Tidak jarang kita jumpai orang
tua yang melarang anaknya bertindak agresif, namun tidak disadari orang
tua tersebut melakukannya sehingga tidak menutup kemungkinan anak itu melakukan
tindakan yang sama pada teman atau pun keluarga yang lain.
Tugas mendidik dan mengasuh anak
tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dalam keluarga, seperti pendidikan
ketrampilan, pengetahuan, wawasan dan pengalaman. Oleh sebab itu keluarga
membutuhkan lembaga pendidikan lain yaitu pendidikan sekolah. Dengan demikian
pendidikan di sekolah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pendidikan keluarga. Pendidikan di sekolah juga merupakan penghubung antara
kehidupan anak dalam keluarga dan kehidupan di masyarakat.
Akan tetapi masuknya anak ke
pendidikan sekolah tidak berarti orang tua telah selesai dalam pengasuhan,
justru sekolah menjadi mitra bagi orang tua dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan yang ada seiring kegiatan pengasuhan tersebut. Orang
tua akan menjadi lebih yakin dan mantap dalam mengikuti perkembangan anaknya.
Rasa yang sama juga akan muncul pada diri anak seiring keikutsertaan orang tua
dalam pendidikan sekolah. Hal penting yang dapat dilihat dari keikutsertaan
orang tua dalam pendidikan sekolah adalah orang tua dapat mengetahui segala
bentuk permasalahan anak di sekolah sehingga dapat bekerjasama dengan
guru untuk menyelesaikannya.
Keterlibatan orang tua dalam sekolah
bukan hanya dengan ikut membantu anak dalam mengerjakan tugas rumahnya,
melainkan lebih pada hubungan wali siswa-sekolah, baik pada komite sekolah,
bimbingan penyuluhan atau hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan anak di
sekolah. Perhatian orang tua terhadap anak dapat diwujudkan dengan membangun
kebiasaan bekerja secara teratur dan disiplin pada setiap tugas dan kewajiban
sebagai seorang siswa.
Adapun dalam lingkungan masyarakat,
pergaulan dengan teman-teman sebaya memiliki pengaruh yang kuat pada prilaku
anak. Orang tua hendaknya dapat memberikan perhatian yang baik pula. Pada masa
kecil orang tua dapat mengatur pergaulan anak dan mengarahkannya kepada
teman-teman yang dianggap baik. Begitu pula pada masa remaja orang tua dapat
mengarahkan agar bergaul dengan anak-anak yang telah jelas memiliki latar
belakang baik dan prilkau yang baik pula.
Adapun pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga
pola:
1. Pola Asuh Otoriter
2. Pola Asuh Permisip
3. Pola Asuh Demokrasi
Pola Asuh Otoriter (PAO)
Setiap orang
tua pastilah menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna dan mencapai
kebahagiaan kelak. Akan tetapi dalam mengasuh tidak jarang kita mendapati orang
tua yang mengambil langkah dan sikap yang otoriter dalam mendidik anaknya.
Seringkali orang tua lebih mengedepankan kuatnya keinginan dan cita-cita agar
anak meraih keberhasilan di masa datang. Mereka selalu berfikir apa yang meraka
lakukan semata-mata demi kebaikan sang anak dan mengesampingkan perasaan dan
kondisi anak tersebut.
Pola asuh
otoriter juga sangat berpengaruh pada perkembangan mental anak. Orang tua
memiliki kebutuhan kuat untuk memegang kendali, namun pada dasarnya sikap
otoriter dimaksudkan untuk hal-hal yang baik. Orang tua tidak menginginkan
anaknya mengalami kegagalan, bahaya, ataupun sesuatu buruk yang menimpanya,
namun perkembangan mental anak akan terganggu, sebagaimana diungkapkan Laurence
berikut: “Pada akhirnya satu-satunya cara agar anak anda bisa benar-benar
sehat, bahagia dan sukses adalah jika anda memberikan kebebasan untuk mencoba
dan membuat keputusannya sendiri meskipun itu membuka kemungkinan dia akan sakit
hati dan kecewa. Pengasuhan yang baik melibatkan keseimbangan antara
keterlibatan dan kemandirian. Jika keduanya dilakukan secara berlebihan- jika
orang tua tidak peduli atau terlalu ikut campur- maka kesehatan mental akan
rusak.
Banyak hal
negatif yang akan timbul pada diri anak akibat sikap otoriter yang diterapkan
orang tua, seperti takut, kurang memiliki keyakinan diri, menjadi pembangkang,
penentang ataupun kurang aktif. Orang tua seperti itu selalu memberikan
pengawasan berlebih pada anak sehingga hal-hal yang kecil pun harus terlaksana
sesuai keinginannya. Disisi lain, orang tua tersebut lebih seperti polisi yang
selalu memberi pengawasan dan aturan-aturan tanpa mau mengerti anak.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa diantara hal-hal negatif yang akan timbul adalah
sikap penentang pada anak. Dari kelompok penentang dapat dikelompokkan menjadi
tiga tipe.
Pertama, tipe
penentang aktif. Mereka menjadi keras kepala, suka membantah dan membangkang
apa saja kehendak orang tua. Mereka marah karena orang tua tak menghargai
dirinya sebagai manusia. Untuk melawan jelas tak bisa karena sang “polisi”
punya kekuatan besar. Maka jalan yang dipilihnya adalah menyakiti hatinya.
Kedua, tipe
pemberontak dengan cara halus, sadar bahwa tubuh kecilnya tidak mampu menandingi
kekuatan “Polisi” yang tak lain orang tuanya sendiri mereka memilih sikap diam,
tapi tidak juga mengikuti perintah.
Ketiga, tipe
selalu terlambat. Anak-anak seperti itu baru mau mengerjakan suatu perintah
setelah terlebih dahulu melihat orang tuannya jengkel, marah, dan mengomel
karena kemalasannya.
Pola
Asuh Permisif (PAP)
Orang tua
yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita menjadikan anaknya sebagai sampah
masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin. Namun terkadang kita masih
mendapati orang tua yang rela membiarkan anaknya tanpa bimbingan dan arahan.
Anak menjadi tak terarah, dan merasa orang tuanya telah memberikan kebebasan
sepenuhnya pada dirinya, sehingga setiap keputusan yang ia ambil adalah
sepenuhnya hak priadi yang tak seorang pun dapat mencampurinya.
Dalam
pendidikan sekolah, pola asuh permisif yang diterapkan orang tua akan memberi
dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa saja menjadi malas dan tidak
peduli dengan hasil belajar yang ia raih dikarenakan tidak adanya perhatian dari
orang tua. Orang tua merasa tidak mampu memberikan pendidikan dan pengasuhan
dengan baik sehingga menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah. Mereka
melupakan peran penting dalam keluarga sebagai pendidik, pengasuh, pembimbing,
pemberi motivasi, kasih sayang dan perhatian.
Seorang anak
yang berkembang tanpa batasan dan aturan dan perhatian akan mengalami
ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh teladan yang berakibat pada
beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau orang-orang terdekatnya dan menjadikannya
figur. Mengenai pola asuh Permisif, Diana Braumrind dalam Syamsu Yusuf LN,
menjelaskan sikap atau prilaku orang tua sebagai berikut:
1. Sikap ”Acceptance”nya
tinggi, namun kontrolnya rendah
2. Memberi kebebasan
kepada anak untuk menyatakan dorongan/keinginannya
Profil Prilaku Anak:
1. Bersikap Impulsif dan
Agresif
2. Suka memberontak
3. Kurang memiliki rasa
percaya diri dan pengendalian diri
4. Suka mendominasi
5. Tidak jelas
arah hidupnya
6. Prestasinya rendah
Dapat
disimpulkan bahwa anak yang mendapati pengasuhan dari orang tuanya dengan pola
asuh permisif akan cinderung bersifat bebas tanpa aturan, dan memiliki emosi
yang tidak stabil dan meledak-ledak, sedangkan orang tua tidak lagi dianggap
sebagai sosok yang memiliki peran dan tauladan baginya. Ia menganggap bahwa apa
yang ia raih adalah bersumber dari pribadinya dan tidak ada yang dapat
memberikan aturan maupun larangan.
Pola Asuh Demokrasi (PAD)
Hubungan
yang terjalin antara orang tua dan anak semestinya didasari prinsip saling menghormati
dan kasih sayang. Apabila orang tua selalu mengedepankan pendekatan secara
personal dengan curahan kasih sayang, maka akan terbentuklah kepercayaan yang
besar dalam diri anak. Anak akan bersikap terbuka kepada orang tuanya sehingga
segala permasalahan dapat dicari kunci penyelesaianya. Selain itu orang tua
lebih mudah memberi pengarahan dan nasihat serta meninggalkan cara-cara paksaan
dan intimidasi.
Prilaku anak
akan terbentuk secara bertahap menuju kepada kepribadian yang baik. Dorongan
yang kuat secara terus-menerus sangat diharapkan dari orang tua. Sosok orang
tua yang demokratis tidak mengedepankan kepentingan pribadinya, akan tetapi
tetap menghargai dan memperhatikan kepentingan anak sebagai seorang individu
diantara komunitas manusia. Dengan kata lain, orang tua selalu melihat
kepentingan bersama sebagai pembatas dari kebebasan seorang inividu.
Latar
belakang pengasuhan yang didapati anak tentulah sangat berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya, sebab hal-hal yang ia dapati dari pola pengasuhan
orang tuanya akan menjadi bekal sikap dan prilakunya pada kehidupannya kelak.
Keluarga
memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak.
Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai
kehidupan baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor
yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat
yang sehat.
Jadi, sudah
jelas bahwa pola asuh demokrasi sangat memberi dampak positif pada perkembangan
anak. Orang tua dapat mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada anak
secara baik dan sepenuhnya tanpa menggunakan cara-cara pemaksaan dan dan
kekerasan. Dalam hal ini, orang tua harus menguasai komunikasi yang tepat dalam
melakukan pendekatan agar proses pengasuhan dapat berjalan baik dan tidak
mempengaruhi mental maupun perkembangannya.
Pola asuh
demokrasi sangat mirip dengan apa yang dijelaskan Diana Baumrind Western dan
Lioyd, 1994: 359-360; Sigelmen dan Sheffer, 1995: 396 mengenai hasil penelitiannya
melalui observasi dan wawancara terhadap siswa taman kanak-kanak. Ia
menjelaskan tentang parenting stayle Pola Asuh, diantara tiga tipe;
Authoritarian, Permissive, dan Authorotative, tipe yang yang sama dengan pola
asuh demokrasi adalah Authoritative. Beberapa sikap yang diambil orang tua
dalam mengasuh dan mendidik anak yaitu:
1. Sikap “Acceptance” dan
kontrolnya tinggi
2. Bersikap responsive
tehadap kebutuhan anak
3. Mendorong anak untuk
menyatakan pendapat atau pertanyaan
4. Memberikan penjelasan
tentang dampak perbuatan yang baik dan yang buruk.
Profil Prilaku Anak yang
ditimbulkan:
1. Bersikap bersahabat
2. Memiliki rasa percaya
diri
3. Mampu mengendalikan
diri Self Control
4. Bersikap Sopan
5. Mau bekerjasama
6. Memiliki rasa ingin
tahunya yang tinggi
7. Mempunyai tujuan/arah
hidup yang jelas
8. Berorientasi terhadap
prestasi
Dari paparan
diatas dapat dilihat bahwa sikap demokratis orang tua tercermin dari
tindakannya mau menghargai pribadi anak, serta menegur tindakan yang salah dari
prilakunya secara baik-baik seperti yang dikatakan Irawati Istadi: “Harus
dibedakan antara pribadi anak dengan prilaku bisa saja salah, tetapi pribadi
anak tetap senantiasa baik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari peran keluarga dalam mensukseskan pendidikan adalah
keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dari anak. Dimana anak mendapatkan
pendidikan sejak dalam kandungan sampai dengan mendapatkan pendidikan formal.
Dalam mensukseskan pendidikan, keluarga berperan dalam memberikan pendampingan
dan memberikan pilihan kepada anaknya untuk masalah pendidikan yang tepat
sesuai dengan karakteristik dari anak. Di samping itu, penciptaan suasana yang
nyaman dan aman dari keluarga kepada anaknya akan memberikan motivasi keluarga
kepada anak dalam menempuh pendidikannya.
Saran
Orang
tua merupakan panutan bagi anak-anaknya, untuk itu sebaiknya orang tua dapat
menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua juga harus membuka diri
terhadap perkembangan zaman dan teknologi saat ini. Anak-anak memiliki
pemikiran yang kritis terhadap sesuatu yang baru. Bila orang tua tidak membuka
diri terhadap perkembangan yang ada, kelak akan menuai kesulitan dalam menjawab
pertanyaan dari anak. Pada akhirnya berbuah kebohongan dan secara tidak langsung
menanamkannya pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
1.
https://wimelimonica.wordpress.com/peran-keluarga-terhadap-perkembangan-karakter-anak/
2.
http://shindy-intan.blogspot.co.id/2012/10/peranan-keluarga-dalam-pembentukan.html
3.
http://www.slideshare.net/dianastandjung/pengaruh-pendidikan-keluarga-terhadap-kepribadian