BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan secara langsung
berkaitan dengan nilai. Pendidikan harus terlebih dahulu menentukan nilai mana
yang akan dianut sebelum menentukan kegiatannya. Hal ini berarti bahwa nilai
terletak dalam tujuan. Nilai-nilai pendidikan terletak di dalam rumusan dan
uraian tentang tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan dari suatu masyarakat pada
hakikatnya merupakan perwujudan dari cita-cita ideal suatu masyarakat tersebut.
Nilai-nilai ideal tersebut akan
dimanifestasikan dalam perilaku kehidupan setiap warga dari masyarakat.
Perilaku setiap orang dari suatu masyarakat merupakan gambaran atau cerminan
dari nilai-nilai ideal tersebut yang telah menyatu dalam setiap diri pribadi
seseorang sebagai suatu hasil proses pendidikan.
Zaman terus berjalan dan semakin
modern, tantanganpun semakin banyak di hadapan mata. Sekarang Indonesia
sedang mencanangkan untuk menghadapi MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean) 2015
dimana semua masyrakat Indonesia secara tidak langsung tertuntut untuk mampu
mengembangkan apa yang mereka miliki untuk menhadapi hal itu. Dalam menghadapi
tantangan di masa depan, seluruh masyarakat yang khususnya masih dalam dunia
pendidikan harus memiliki kualitas yang mendukung. Dalam upaya meningkatkan
kualitas tersebut, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu
pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun
harus menjadi hal yang lebih diutamakan. Sebab kualitas pendidikan sangat
penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan
hidup di masa depan. Manusia yang dapat bergumul dalam masa dimana dunia
semakin sengit tingkat kompetensinya adalah manusia yang berkualitas. Manusia
demikianlah yang diharapkan dapat bersama-sama manusia yang lain turut
bepartisipasi dalam percaturan dunia yang senantiasa berubah dan penuh
teka-teki.
Kualitas pendidikan suatu bangsa
tidak dengan sendirinya terwujud begitu saja, namun diperlukan adanya usaha
serta landasan dalam pemwujudannya. Sebagai mahasiswa jurusan keguruan dan ilmu
pendidikan sudah selayaknya kita mengetahui tentang pendidikan itu sendiri
khususnya apa saja unsur-unsur pendidikan sampai dengan pilar-pilar pendidikan.
Disini dirasakan perlu mengetahui apa saja pilar-pilar dari pendidikan itu
sendiri agar senantiasa para penikmat pendidikan bisa berorientasi pada produk
dan hasil belajar. kemudian agar kita sebagai mahasiswa yang sedang belajar
untuk dapat menguatkan sistem pendidikan khususnya pendidikan di Indonesia
serta bagaimana kita bisa mengkonstruksi dasar dari suatu pendidikan serta adanya
oknum pendidikan yang belum bisa mengaplikasikan pilar-pilar pendidikan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
maka perumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Apa pengertian pilar pendidikan?
2. Apa sajakah pilar-pilar pendidikan?
C. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dalam
pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan pilar
pendidikan.
2. Untuk mengetahui masing-masing pilar-pilar
pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pilar Pendidikan
Menurut Prof. Herman H. Horn,
Pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang
telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan
seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan
kemauan dari manusia. Sedangkan menurut Prof. Dr. John Dewey, pendidikan adalah
suatu proses pengalaman.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran bagi individu untuk
mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai objek-objek
tertentu dan spesifik.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pilar artinya tiang penguat (dari batu, beton). Selain itu, Pilar
juga diartikan sebagai dasar, Induk, dan pokok. Pilar Pendidikan adalah sebagai
dasar atau pokok untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman bagi individu secara
fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan.
B.
Jenis-Jenis Pilar Pendidikan
Dalam upaya meningkatkan kualitas
suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan.
Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui
lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural
Organization) mencanangkan lima pilar pendidikan baik untuk masa sekarang
maupun masa depan.
a.
Learning to know
Pendidikan pada hakikatnya
merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan
berguna bagi kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning to know), berkaitan
dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan pengetahuan. Belajar untuk
mengetahui oleh UNESCO dipahami sebagai cara dan tujuan dari eksistensi
manusia. Hal ini sesuai dengan penegasan Jacques Delors (1966) sebagai ketua
komisi penyusun laporan Learning: The Treasure Within, yang menyatakan adanya
dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara (Means) dan pengetahuan
sebagai hasil atau tujuan (End).
Belajar untuk mengetahui
berimplikasi terhadap diakomodasikannya konsep belajar tentang bagaimana
belajar (Learning how to Learn), dengan mengembangkan seluruh potensi
konsentrasi pembelajar, keterampilan mengingat dan kecakapan untuk berpikir.
Sesuai fitrahnya, sejak bayi, anak kecil harus belajar bagaimana berkonsentrasi
terhadap suatu objek dan orang-orang lain.
Pengembangan keterampilan
mengingat adalah suatu wahana yang unggul untuk menanggulangi aliran yang
berlimpah dari informasi instan yang disebarluaskan oleh banyak media pada saat
ini. Berbahaya jika kita berkesimpulan bahwa arus informasi yang luar biasa
banyaknya ini tidak perlu ditanggulangi dengan peningkatan keterampilan dalam
mengingat. Kecakapan manusia dalam memorisasi ini tidak boleh direduksi semata
oleh hadirnya proses automatisasi, tetapi harus selalu dikembangkan secara
hati-hati.
Sementara itu, berpikir terkait
sesuatu yang dipelajari anak, mula-mula dari orang tuanya, kemudian dari para
gurunya. Proses berpikir ini harus terkait dengan keterampilan menguasai
penyelesaian masalah praktis maupun pengembangan pemikiran abstrak. Oleh sebab
itu, pembelajaran sebagai praktik pendidikan harus mampu memandu siswa
untuk menguasai secara sinergis penalaran deduktif sekaligus penalaran
induktif.
Belajar untuk berpikir merupakan
pembelajaran sepanjang hayat, seseorang yang selalu siap belajar untuk
berpikir, selama hidupnya tidak akan mengalami kebosanan karena menghadapi
keniscayaan rutinitas.
b.
Learning to do
Konsep learning to do terkait
bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan sehingga mampu membekali siswa
bekerja untuk mengisi berbagai jenis lowongan pekerjaan di masa depan?. Dalam
hal ini pendidikan diharapkan mampu menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal.
Pertama, berhubungan dengan ekonomi industri, dimana para pekerja memperoleh
upah dari pekerjaannya. Kedua, suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha,
para lulusan sekolah menyiapkan jenis pekerjaannya sendiri dan menggaji dirinya
sendiri (Self Employment). Suatu hal yang patut dicatat dan diimplikasikan
dengan baik dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, sejak paruh kedua abad
ke-20 yang lalu telah ada pergeseran besar dalam dunia industri. Jika dulu
lebih berfokus kepada pekerjaan fisik di lingkungan manufaktur, maka saat ini
justru yang banyak berkembang yaitu layanan jasa. Pekerjaan ini semakin
dibutuhkan dengan berkembang pesatnya teknologi komunikasi dan informasi. Hal
ini berarti, Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui,
tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga
menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Belajar untuk bekerja, Learning
to do adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja.
Pada perkembangannya, Dunia Usaha/Dunia Industri menuntut agar setelah lulus,
para siswa pembelajar siap memasuki lapangan kerja, sehingga seharusnya ada
link and match antara sekolah dengan dunia usaha. Maknanya, sekolah wajib
menyiapkan berbagai keterampilan dasar yang diperlukan untuk siap bekerja.
Keterampilan dan kompetensi kerja yang harus dikuasai siswa, sejalan dengan
tuntutan perkembangan dunia industri yang semakin tinggi., tidak sekedar pada
tingkat keterampilan kompetensi teknis bahkan sampai dengan kompetensi
profesional.
Sekolah sebagai wadah masyarakat
belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan keterampilan
yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk
melakukan sesuatu) dapat terealisasi. Walau sesungguhnya bakat dan minat anak
dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat
juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita ketahui bersama bahwa
keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan seseorang bahkan
keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan semata.
c. Learning to be
Belajar untuk menjadi manusia
yang utuh (Learning to be), mengharuskan tujuan belajar dirancang dan
diimplementasikan sedemikian rupa sehingga pembelajar menjadi manusia yang
utuh. Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya
berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketakwaan terhadap Tuhan,
intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Seimbang dalam kecerdasan
intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan
spritualnya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan individu-individu yang
banyak belajar dalam mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Dalam kaitan
itu mereka harus berusaha banyak meraih keunggulan (Being Excellence).
Keunggulan diperkuat dan
ditunjang oleh moral yang kuat (being Morality). Moral yang kuat wajib
ditunjang oleh keimanan inilah yang diharapkan mampu memandu pembelajar untuk
belajar menghargai orang lain.
Penguasaan pengetahuan dan
keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Hal ini erat sekali
kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi
anak serta kondisi lingkungannya. Misal: bagi siswa yang agresif, akan
menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan
sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah
sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan
potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Menjadi diri sendiri diartikan
sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku
sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi
orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
d. Learning
to live together
Belajar untuk hidup bersama, (Learning to live together)
mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan
global yang dirasakan semakin menyempit akibat kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi. Komunikasi antar manusia di antara kedua belahan dunia kini
sudah dalam hitungan detik. Agar dapat berinteraksi, berkomunikasi, saling
berbagi, bekerja sama dan hidup bersama, saling menghargai dalam kesetaraan,
sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih, dibiasakan hidup berdampingan
bersama. Anak-anak harus banyak belajar dari hidup bersama secara damai,
apalagi di alam Indonesia yang multikultur dan multietnik sehingga mereka biasa
bersosialisasi sejak awal (Being Sociable).
Pada pilar keempat ini, kebiasaan
hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu
dikembangkan disekolah. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan tumbuhnya
sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama.
Dengan kemampuan yang dimiliki,
sebagai hasil dari proses pendidikan, dapat dijadikan sebagai bekal untuk mampu
berperan dalam lingkungan di mana individu tersebut berada, dan sekaligus mampu
menempatkan diri sesuai dengan perannya. Pemahaman tentang peran diri dan orang
lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat
(learning to live together). Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus
diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta
sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang
demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat
yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
e. Learning How
to Learn
Sekolah boleh saja selesai,
tetapi belajar tidak boleh berhenti. Pepatah, “Satu masalah terjawab, seribu
masalah menunggu untuk dijawab”, seakan sudab menjadi hal yang tidak bisa
dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena itu, Learning How to Learn akan membawa
peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat
belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan penuh
percaya diri, karena masyarakat baru adalah learning
society atau knowledge society.
Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting ada¬lah
mereka yang mampu belajar lebih lanjut.
Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran baru, yaitu
pergeseran dari model belajar “memilih” (menghafal) menjadi model belajar
“menjadi” (mencari/meneliti). Asumsi yang digunakan dalam model belajar
“memiliki” adalah “pendidik tahu”, peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu,
pendidik memberi pelajaran, peserta didik menerima. Yang dipentingkan dalam
model belajar “memiliki” ini adalah penerima pelajaran, yang akan menerima
sebanyak-banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya sesuai dengan
aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya, pada proses
belajar “menjadi”, peserta didik sendiri yang mencari dan menemukan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik dituntut
membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.
f. Learning
Throughout Life
Perubahan dan perkembangan
kehidupan berjalan terus menerus yang semakin keras dan rumit. Oleh karena itu,
tidak ada jalan lain kecuali harus belajar terus menerus sepanjang hayat. Learning Throughout Life ini menuntun
dan memberi pencerahan pada peserta didik bahwa ilmu bukanlah hasil buatan
manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil pencarian manusia. Karena
ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari, maka upaya
mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti.
Bertolak dari butir-butir
tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad mendatang
adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma
baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi terkini.
Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan
ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman.
Termasuk di sini adalah perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik
dan segregatif, serta mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju
terwujudnya suatu masyarakat dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian
dunia hanya mungkin terwujud di dalam sua¬tu pendidikan yang dimulai di dalam
masyarakat lokal yang berbudaya.
Kedua, perlunya perubahan metode
penyampaian materi pendidikan. Metode yang kita gunakan selama ini rasanya
terlampau banyak menekankan penguasaan informasi untuk menyelesaikan masalah.
Akibatnya, kita hanya mengutamakan manusia yang patuh dan kurang memikirkan
terbinanya manusia kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama yang eksklusif,
dikotomis, dan parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif,
integralistik, dan holistis.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pilar – pilar pendidikan
diguanakan sebagai acuan dalam peningkatan mutu pendidikan suatu bangsa. Pilar-
pilar pendidikan yaitu learning to know,
learning to do, learning to be, learning to life together, Learning How to Learn dan Learning Throughout Learn, keenam pilar
tersebut saling berhubungan satu sama lain. Keenam pilar ini masing-masing
mempunyai tujuan yang berbeda namun saling keterkaitan. Learning to Know mengajarkan seseorang untuk tidak mengetahui saja
materi ataupun ilmu yang mereka dapat, tetapi mereka juga harus tau makna yang
terkandung didalamnya. Learning to Do
mengajarkan seseorang untuk lebih banyak melakukan tindakan daripada omongan. Learning to Live Together menuntun seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi “educated person yang bermanfaat baik bagi diri dan masyarakatnya, maupun
bagi seluruh ummat manusia sebagai amalan agamanya.
Sedangkan Learning to Be mengajarkan Belajar untuk dapat mandiri, menjadi
orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama. Learning How to Learn akan membawa
peserta didik pada kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi dan kiat
belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif, efisien, dan penuh
percaya diri. Learning Throughout Life
ini menuntun dan memberi pencerahan pada peserta didik bahwa ilmu bukanlah
hasil buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil pencarian
manusia.
Dari keenam pilar ini juga
memiliki kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman, enam pilar ini akan
menjadi baik apabila dipergunakan dengan baik, begitu juga sebaliknya apabila
keempat pilar ini tidak dipergunakan sebagaimana mestinya maka akan menjadi
bumerang sendiri bagi kita.
B.
Saran
Dengan mengaplikasikan pilar-pilar
tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung di seluruh dunia termasuk
Indonesia dapat menjadi lebih baik, namun yang menjadi masalah adalah dunia
pendidikan di Indonesia yang saat ini masih minim fasilitas, terlebih lagi di
daerah-daerah terpencil, belum meratanya fasilitas pendidikan, tentunya akan
menjadi halangan bagi siswa untuk mengembangkan diri mereka. Untuk itu semua,
pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan
intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral.
DAFTAR
PUSTAKA
Djamal. (2007). Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Fakhrudin. (2010). Menjadi
Guru Favorit. Yogyakarta: Diva Press.
Isjoni.(2008). Guru
Sebagai Motifator Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Isjoni.(2008). Memajukan
Bangsa dengan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, B. (1997). Pengantar
Pedagogik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suyono & Hariyanto. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Syah, M. (2004). Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.