1. Pendidikan
Di dalam
Sistem Pendidikan dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.[1]
Dengan
demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
peserta didik untuk memimpin perkembangan potensi jasmani dan rohaninya ke arah
kesempurnaan. Dalam hal ini, pendidikan berarti menumbuhkan kepribadian serta
menanamkan rasa tanggung jawab, sehingga pendidikan terhadap diri manusia
adalah laksana makanan yang berfungsi memberikan kekuatan, kesehatan dan pertumbuhan,
untuk mempersiapkan generasi yang menjalankan kehidupan guna memenuhi tujuan
hidup secara efektif dan efisien.
Pada dasarnya
pengertian pendidikan dalam UU RI No 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 disebutkan
bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk memberikan suasana
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri
keperibadian, kecerdasan, akhlak ulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya,masyarakat, bangsa dan negara.[2]
2. Pendidikan
Karakter
Menurut kamus Bahasa
Indonesia definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia upaya pengajaran dan pelatihan. Secara etimologis, kata
karakter berarti tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dengan orang lain. Dalam
bahasa
Inggris, karakter (character) diberi
arti a distinctive differentiating mark,
tanda atau sifat yang membedakan seseorang dengan orang lain.[3]
Sedangkan secara
terminologis, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai karakter. Doni Koesoema[4] menjelaskan
bahwa kita sering mengasosiasikan karakter dengan apa yang disebut temperamen
yang membina definisi yang menuntut unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan
dan konteks lingkungan. Kita juga bisa memahami karakter dari sudut behavior yang menekan unsur psikis yang dimiliki
individu sejak lahir. Di
sini istilah karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya
atau sifat khas dari seseoarang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan
seseorang sejak lahir.
Dalam kamus sosiologi, istilah karakter
menurut Sunarta adalah ciri khusus dari struktur dasar kepribadian seseorang
(watak). Sedangkan watak yang diperoleh (character
acquired) merupakan atribut seseorang yang perkembangannya berasal dari
sumber lain di luar dirinya oleh karena berhubungan dengan lingkungan alam atau
sosial. Karakter juga dapat diartikan personality bagi
individu, dan karakteristik (characteristic)
bagi kelompok atau kebudayaan yang menjadi identitasnya. Kita juga mengenal
istilah characterization yaitu proses
pengambilan ciri-ciri tertentu melalui warisan atau karena lingkungan atau
karena kombinasi keduanya.[5]
Menurut Endang
Sumantri, kata karakter dapat dilacak dari kata latin Kharakter, kharasein dan kharax, yang maknanya tools for aking, to engrave, dan
pointed stake. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Perancis “caracter” pada abad ke-14 dan kemudian
masuk ke dalam bahasa inggris menjadi “character” sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia ‘karakter’. Sementara itu
Wynne menjelaskan bahwa kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti
to mark (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu, orang yang
berperilaku
tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara
orang yang berperilaku jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang
berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality
(kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a
person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.[6]
Dari berbagai pendapat
itu dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter adalah sifat yang mantap, stabil
dan khusus yang melekat dalam pribadi seseorang yang membuatnya bersikap dan
bertindak secara spontan, tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan dan tanpa
memerlukan pemikiran terlebih dahulu.
Dari konsep karakter
ini muncul istilah pendidikan karakter (character
education).
Terminologi pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1990-an.Thomas Lickona
dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku yang berjudul Educating for
character:
How Our School Can Teach Respect and Responsibility.[7] Melalui
buku itu, ia menyadarkan dunia barat akan pentingnya pendidikan
karaker. Sedangkan di Indonesia sendiri, istilah pendidikan karakter mulai diperkenalkan
sekitar tahun 2005-an. Hal itu secara implisit ditegaskan dalam rencana
pembangunan jangka panjang nasional
( RPJN) Tahun 2005-2015, dimana
pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan sisi pembangunan nasional,
yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya,
dan beradab berdasarkan falsafah pancasila. “Lalu, apa itu pendidikan karakter? Dalam
rencana aksi nasional pendidikan karakter disebutkan bahwa pendidikan
karakter adalah” pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
dan pendidikan akhlak
yang bertujuan mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik
dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.”[8]
Manusia adalah makhluk
yang memiliki tabiat, potensi dan kecenderungan ganda, yakni positif ke arah baik
atau negatif ke arah buruk. Sifat dasar inilah yang kemudian akan dapat
berubah, baik bertambah, berkembang, atau bahkan hilang
seiring pertumbuhan usianya. Perubahan tersebut akan dipengaruhi oleh berbagai
hal, baik internal maupun eksternal.
Dan ayat ini
dijelaskan bahwa sesungguhnya Allah SWT telah memberi ilham atau jalan kepada semua
manusia mengenai mana yang baik dan mana yang buruk. Namun hal ini tergantung
kepada manusia itu sendiri apakah akan memilih jalan yang baik atau jalan yang
buruk. Orang yang memilih jalan yang baik tentu menjadi sebuah keberuntungan
baginya sedangkan sebaliknya orang yang memilih jalan kejahatan maka akan
merugi baik ketika hidup di
dunia maupun nanti kelak di akhirat.
Dalam ayat yang lain Allah
SWT berfirman yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.”[9]
Dengan melihat ayat di
atas terdapat kelemahan dalam diri semua orang (bisa jaksa, ustad, guru,
polisi, hakim, dosen, pejabat negara dan lain sebagainya), bahkan orang-orang
yang beragama, tokoh partai, tokoh organisasi dan lain sebagainya yang hafal
tentang rumus-rumus, undang-undang, ayat-ayat, tetapi belum mampu melaksanakan
apa yang ia ketahui dan ia hafal dalam kehidupan sehari-hari, korupsi, mudah
tergoda oleh berbagai bujuk rayu,
iming-iming, kepentingan golongan, ekonomi, agama, partai
dan lain sebagainya.
Dari gambaran tersebut, bangsa Indonesia
sangat memerlukan sumber manusia dalam jumlah dan mempunyai kualitas karakter
yang memadai, konsisten, jujur, kepribadian yang menyatu antara perkataan dan
perbuatannya serta bertanggung jawab sebagai pendukung utama dalam pembangunan.
Untuk memenuhi sumber daya manusia tersebut pendidikan memiliki peran yang
sangat penting, untuk mengubah bangsa ini dan warga negaranya serta masyarakat
sipil, pejabat negara, institusi sosial kemasyarakatan dan keagamaan untuk
intropeksi diri serta melakukan langkah-langkah perbaikan menangani krisis
multidimensional bangsa ini. Ayat Al- Qur’an di atas yaitu surat Ash-Shaff ayat
2-3 di samping mendidik kaum muslimin dengan keimanan yang lurus, Al-Qur’an
juga sangat menaruh perhatian untuk mengarahkan mereka pada amalan yang Shaleh.
Sebab keimanan yang benar tidak boleh tidak harus terungkap dalam tingkah laku
dan tindakan. Ini dilaksanakan dengan menghiasi diri dengan akhlak dan budi
pekerti yang luhur, cinta berbuat baik pada orang lain dan bersegera dalam melaksanakan
apa yang diridhai Allah SWT dan Rasul-Nya.
3. Tujuan
Pendidikan Karakter
Tujuan
pendidikan pada dasarnya adalah untuk membuat seseorang menjadi good and
smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad saw juga menegaskan bahwa
misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan
karakter yang baik. Dengan bahasa yang sederhana, tujuan dari pendidikan adalah
mengubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan.[10]
Pendidikan Karakter
pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak
mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik, berkembang
dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh
iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Dalam
karakter dilakukan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menurut Dharma, dkk,[11]
tujuan penting pendidikan karakter adalah memfasilitasi pengetahuan dan
pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik
ketika proses sekolah dan setelah lulus dari sekolah.
Sedangkan
tujuan pendidikan karakter yang diharapkan Kementerian Pendidikan Nasional
adalah:
a.
Mengembangkan
potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara
yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik
yang terpuji dan sejalan dengan nilai nilai universal dan tradisi budaya bangsa
yang religius.
c.
Menanamkan
jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus
bangsa.
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia
yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
e.
Mengembangkan
lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity).[12]
Doni
Koesoema dalam bukunya mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah
untuk kepentingan pertumbuhan individu secara integral, pendidikan karakter semestinya mempunyai tujuan jangka panjang
yang mendasarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls
natural sosial yang diterimanya yang pada gilirannya semakin mempertajam visi
hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri terus-menerus (on going
information). Tujuan jangka panjang ini tidak sekadar berupa idealisme yang
penentuan sarana untuk mencapai tujuan itu tidak dapat diverifikasi, melainkan
sebuah pendekatan dialektis yang semakin mendekatkan antara yang ideal dengan
kenyataan, melalui proses refleksi dan interaksi terus-menerus, antara
idealisme, pilihan sarana dan hasil langsung yang dapat dievaluasi secara
objektif.[13]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa tujuan diadakannya pendidikan karakter, baik di sekolah, madrasah,
maupun di rumah adalah dalam rangka mencetak manusia agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cerdas,
mandiri, demokratis serta memiliki tanggung jawab yang tinggi, mampu hidup
tenang dan produktif dalam kehidupan bersama.
4.
Nilai-Nilai Yang Dikembangkan Dalam Pendidikan Karakter
Kementerian Agama, melalui Direktorat Jendral Pendidikan
Islam mencanagkan nilai karakter dengan merujuk pada Muhammad SAW sebagai tokoh
agung yang paling berkarakter. Empat karakter yang paling terkenal dari Nabi Muhammad
SAW adalah shidiq (benar), amanah (dapat dipercaya), tabliq (menyampaikan
kebenaran), dan fathonah (cerdas). Namun demikian, dalam pembahasan ini
tidak mencakup empat nilai karakter versi Kementerian Agama tersebut, melainkan
fokus pada 18 nilai karakter versi Kemendiknas. Menurut Suyadi nilai karakter
versi Kemendiknas telah mencakup nilai-nilai karakter dalam berbagai agama,
termasuk Islam. Di samping itu, 18 nilai karakter tersebut telah disesuaikan
dengan kaidah-kaidah ilmu pendidikan secara umum, sehingga lebih implementatif diterapkan
dalam praktis pendidikan, baik sekolah maupun madrasah. Selain itu, 18 nilai
karakter dari Kemendiknas telah dirumuskan standar kompetensi dan indikator
pencapaiannya di semua mata pelajaran.[14]
Dalam rangka
memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter, pemerintah sebenarnya
telah mengidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, budaya, dan falsafah
bangsa, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5)
kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu,
(10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13)
bersahabat, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17)
peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.[15]
Nilai-nilai
karakter tersebut merupakan implementasi dari Permendikbud Nomor 23 tahun 2015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Nilai-nilai karakter versi Kemendiknas dapat
dilihat dalam tabel berikut:[16]
Tabel
1. Nilai-nilai Pendidikan Karakter
No
|
Nilai
|
Deskriptif
|
1.
|
Religius
|
Ketaatan dan kepatuhan dalam
memahami dan melaksanakan ajaran agama yang dianut, termasuk dalam hal ini
adalah sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain serta hidup rukun
dan berdampingan.
|
2.
|
Jujur
|
Sikap dan perilaku yang mencerminkan
kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan, sehingga menjadikan
orang yang
bersangkutan sebagai pribadi yang
dapat dipercaya.
|
3.
|
Toleransi
|
Sikap dan perilaku yang
mencerminkan penghargaan terhadap perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku,
adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain yang berbeda dengan
dirinya secara sadar dan terbuka serta dapat hidup tenteram di tengah
perbedaan
tersebut.
|
4.
|
Disiplin
|
Kebiasaan dan tindakan yang konsisten
terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku.
|
5.
|
Kerja keras
|
Perilaku yang menunjukkan upaya
secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan,
pekerjaan dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
|
6.
|
Kreatif
|
Sikap dan perilaku yang mencerminkan
inovasi dalam berbagai segi dalam memecahkan masalah.
|
7.
|
Mandiri
|
Sikap dan perilaku yang tidak bergantung
kepada orang lain.
|
8.
|
Demokratis
|
Sikap dan cara berpikir yang mencerminkan
persamaan hak dan kewajiban secara adil dan merata antara dirinya dengan orang
lain.
|
9.
|
Rasa ingin tahu
|
Cara berpikir, sikap ingin tahu
yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala hal.
|
10.
|
Semangat kebangsaan
|
Sikap dan tindakan yang menepatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya.
|
11.
|
Cinta tanah air
|
Sikap dan perilaku yang mencerminkan
rasa bangga, setia, peduli dan penghargaan tinggi terhadap budaya, bahasa dan
sebagainya.
|
12.
|
Menghargai prestasi
|
Sikap terbuka terhadap prestasi
orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat prestasi
yang lebih tinggi.
|
13.
|
Bersahabat
|
Senang
bersahabat atau proaktif
|
14.
|
Cinta damai
|
Sikap dan perilaku yang
mencerminkan cinta damai, aman, tenang, dan nyaman atas kehadiran dirinya
dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
|
15.
|
Gemar membaca
|
Kebiasaan dengan tanpa paksaan
untuk menyediakan waktu secara khusus guna membaca berbagai informasi, sehingga
menimbulkan berbagai kebijakan dalam dirinya
|
16.
|
Peduli lingkungan
|
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar.
|
17.
|
Peduli sosial
|
Sikap dan perbuatan yang mencerminkan
kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang membutuhkan.
|
18.
|
Tanggung jawab
|
Sikap dan perilaku seseorang dalam
melaksanakan tugas dan kewajiban baik yang berkaitan dengan diri sendiri,
sosial, masyarakat, bangsa, negara maupun agama.
|
5. Penerapan Pendidikan Karakter
Pelaksanaan pendidikan
karakter di sekolah dapat dilakukan melalui langkah-langkah pengembangan
pembentukan karakter dengan cara memasukkan konsep karakter dalam pembelajaran,
pembuatan slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dan pemantauan secara
kontinyu serta melalui pelaksanaan program-program pembinaan kejiwaan,
kerohanian, kepribadian, kejuangan, jasmani, dan ilmu pengetahuan teknologi dan
seni. Pendidikan karakter secara komprehensif dilaksanakan melalui tiga bentuk
kegiatan yaitu dalam proses pembelajaran, manajemen sekolah, dan kegiatan
pembinaan kesiswaan.
a.
Pendidikan karakter
secara terpadu dalam pembelajaran.
Pendidikan karakter
secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai. Fasilitasi
diperoleh kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian
nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses
pembelajaran. Baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua
mata pelajaran.
Pada dasarnya kegiatan
pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli
dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku terhadap budi pekerti.
b.
Pendidikan Karakter
secara terpadu melalui manajemen sekolah
Sebagai suatu sistem
pendidikan, maka dalam pendidikan karakter juga terdiri dari unsur-unsur
pendidikan yang selanjutnya akan dikelola melalui bidang-bidang perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian. Beberapa contoh bentuk kegiatan pendidikan
karakter yang terpadu dengan manajemen sekolah, antara lain : (a). Penilaian
terhadap tata tertib yang berimplikasi pada pengurangan nilai dan hukuman atau
pembinaan; (b).
Penyediaan tempat-tempat pembuangan
sampah; (c). penyediaan kotak saran; (d). Penyediaan sarana ibadah dan pelaksanaan
ibadah misalnya: shalat dzuhur berjamaah; (e). Salim-taklim (jabat tangan)
setiap pagi saat siswa memasuki gerbang sekolah; pengelolaan dan kebersihan ruang
kelas oleh siswa dan bentuk-bentuk kegiatan lainya.
c.
Pendidikan Karakter
secara terpadu melalui kegiatan pembinaan kesiswaan
Kegiatan pembinaan
kesiswaan adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan
konseling untuk membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat
dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh
pendidikan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di
sekolah.
Beberapa kegiatan
pembinaan kesiswaan yang memuat pembentukan karakter antara lain : olah raga
(sepak bola, bola voli, kasti dan lain-lain). Keagamaan (baca
tulis Al-Qur’an,
shalat dhuha berjamaah, yasinan (setiap hari
jumat), pembiasaan surat-surat pendek, ibadah).
Berdasarkan uraian di
atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk pendidikan karakter
terpadu dalam tiga kegiatan yaitu terpadu atau terintegrasi dengan proses
pembelajaran pada semua mata pelajaran, terpadu dalam manajemen sekolah dan
terpadu dalam kegiatan pembelajaran dengan pendekatan CTL (Contextual
Teaching and Learning).
Contextual
Teaching and Learning (CTL) adalah suatu
strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
mereka.[17]
6. Proses
Pembelajaran
a.
Pengertian Pembelajaran
Dalam Undang-undang No. 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 20 dinyatakan bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar siswa. Pembelajaran mengandung arti
setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan
nilai yang baru.
Proses pembelajaran pada
awalnya meminta guru untuk mengetahui kemmpuan dasar yang dimiliki oleh siswa
meliputi motivasinya,
latar belakang ekonominya, dan
lain sebagainya.
Kata
“pembelajaran” adalah terjemahan dari “instruction”
yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini
banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistik, yang menempatkan
siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa
mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti bahan-bahan
cetak, program televisi, gambar, audio dan sebagainya, sehingga semua itu
mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar
mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator
dalam belajar mengajar.[18]
Sutikno
dalam bukunya belajar dan pembelajaran mengemukakan definisi pembelajaran
yaitu, segala upaya yang dilakukan oleh guru (pendidik) agar terjadi proses
belajar pada diri siswa. Secara implisit, di dalam pembelajaran ada kegiatan
memilih, menetapkan dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil pembelajaran yang
diinginkan.[19]
Sedangkan menurut Darsono secara
umum menjelaskan pengertian pembelajaran
sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku
siswa berubah kearah yang lebih baik.[20]
Pembelajaran
mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang
mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Berdasarkan pengertian
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari
guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada
diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan
baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha tertentu.
b. Komponen
Pembelajaran
Sumiati dan Asra mengelompokkan komponen-komponen
pembelajaran dalam tiga kategori utama, yaitu guru, isi atau materi
pembelajaran, dan siswa. Interaksi antara tiga komponen utama melibatkan metode
pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar,
sehingga tercipta situasi pembelajaran yang memungkinkan terciptanya tujuan
yang telah direncanakan sebelumnya.
1)
Tujuan Pembelajaran
Tujuan
belajar sebenarnya sengat banyak dan bervarisi. Secara umum tujuan belajar
adalah ingin mendapatkan pengetahuan, ketrampilan dan penanaman sikap atau
mental nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berarti akan menghasilkan hasil belajar.
Hasil belajar yang maksimal akan menghasilkan prestasi yang baik pula. Berhasil
atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses
belajar yang dialami siswa baik berada di sekolah maupun di lingkungan rumah
atau keluarganya sendiri.[21]
2). Materi
Pembelajaran
Materi pembelajaran pada dasarnya merupakan isi dari
kurikulum, yakni berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan topik/sub topik
dan rinciannya.
Isi dari proses
pembelajaran tercermin dalam materi pembelajaran yang dipelajari oleh siswa.
Syaiful Bahri Djamarah, dkk
menerangkan materi pembelajaran adalah
substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Tanpa materi
pembelajaran proses belajar mengajar tidak akan berjalan.
3). Metode Pembelajaran
Metode adalah cara, alat untuk mencapai tujuan.4 Metode
mengajar merupakan alat untuk menggerakkan pelajar agar dapat mempelajari bahan
pelajaran. Jadi metode mengajar dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan
oleh guru dalam mengadakan hubungan dengan pelajar pada saat berlangsungnya
pengajaran. Dengan demikian, metode mengajar merupakan alat untuk menciptakan
proses belajar mengajar. Metode juga merupakan cara, teknik yang digunakan guru
dalam menyampaikan pelajaran. Metode dapat berupa pendekatan dan strategi yang
digunakan untuk menyampaikan materi yang mendukung tujuan pembelajaran.[22]
Penerapan pendidikan
karakter dapat dilakukan dengan metode atau strategi pembelajaran dengan
pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning). Contextual Teaching and Learning
(CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan
siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Dalam konsep tersebut
ada tiga hal yang yang harus kita pahai. Pertama, CTL menekankan kepada
proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar
diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Kedua, CTL
mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap
hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat meneapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi
yang dipelajarinya akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.[23]
4). Media pembelajaran
Media pembelajaran
merupakan peralatan yang membawa pesan-pesan untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Jenis-jenis media pembelajaran sangat beragam dan mempunyai
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Maka diharapkan guru dapat memilih media
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan agar proses pembelajaran dapat berlangsung
secara efektif. Selain dalam memilih media pembelajaran yang tidak digunakan
secara maksimal juga akan mempengaruhi hasil belajar siswa.
Kata media berasal dari bahasa latin
medius yang secara harfiah berarti “tengah‟, “pengantar‟. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara (wasilah) atau
pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Ada juga yang memakainya
dalam menjelaskan kata “pertengahan” seperti dalam kalimat “medio abad 19”
(atau pertengahan abad 19). Ada yang memakai kata media dalam istilah
“mediasi”, yakni sebagai kata yang biasa dipakai dalam proses perdamaian dua
belah pihak yang sedang bertikai.[24]
Menurut Gerlach dan Ely, media apabila
dipahami secara garis besar adalah manusia, materi dan kejadian yang membangun
kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau
sikap.6 Dalam pengertian ini, guru, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan
media. Sedangkan menurut Criticos yang dikutip oleh Daryanto, media merupakan
salah satu komponen komunikasi, yaitu sebagai pembawa pesan dari komunikator
menuju komunikan.[25]
Yudi
Munadi, juga menyatakan sumber – sumber belajar selain guru dapat juga disebut penyalur
atau penghubung pesan ajar yang diadakan atau diciptakan secara terencana oleh
guru atau pendidik, biasanya dikenal sebagai “media pembelajaran”[26]
5). Evaluasi Pembelajaran
Dalam UU
No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 21
dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan
penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan
pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan, evaluasi bertujuan, untuk mengetahui : (1) kemajuan
belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu
tertentu, (2) efektivitas metode pembelajaran, (3) kedudukan siswa dalam
kelompoknya, dan (4) untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan
siswa dalam rangka perbaikan[27]
6). Peserta didik atau siswa
Siswa merupakan
komponen inti dari pembelajaran, maka siswa harus memiliki displin belajar yang
tinggi. Siswa
yang memiliki disiplin belajar yang
tinggi akan terbiasa untuk selalu patuh dan mempertinggi daya kendali diri,
sehingga kemampuan yang sudah diperoleh siswa dapat diulang-ulang dengan hasil
yang relatif sama.
7). Pendidik/Guru
Guru merupakan komponen utama yang sangat
penting dalam proses pembelajaran karena tugas bukan hanya sebagai fasilitator
namun ada dua tugas yang harus dikerjakan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran
yang efektif. Kedua tugas tersebut sebagai pengelola pembelajaran dan sebagai
pengelola kelas.
8) Lingkungan
Lingkungan tempat
belajar adalah segala yang ada di sekitar siswa atau proses pembelajaran.
Jadi lingkungan fisik yang ada di sekitar siswa saat
proses pembelajaran.
Lingkungan yang ditata dengan baik akan
menciptakan suasana nyaman sehingga siswa menjadi betah, senang, umtuk belajar.
7. Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan
pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan
perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film,
komputer, kurikulum, dan lain-lain. Joyce dalam Trianto menyatakan bahwa setiap
model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk
membantu siswa sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.[28]
Soekamto dalam Trianto mengemukakan
maksud dari model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar
mengajar.[29]
Model
pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[30]
(1)
Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai
contoh, model penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori
John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara
demokratis. (2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir
induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif. (3) Dapat
dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. (4) Memiliki
bagian-bagian model yang disamakan: (a) Urutan langkah-langkah pembelajaran
(syntax). (b) Adanya prinsip-prinsip reaksi. (c) Sistem sosial. (d) Sistem
pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan
melaksanakan suatu model pembelajaran. (5) Memiliki dampak sebagai akibat
terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: (a) Dampak pembelajaran,
yaitu hasil belajar yang dapat diukur. (b) Dampak pengiring, yaitu hasil
belajar jangka panjang. (6) Memiliki persiapan mengajar (desain instruksional) dengan
pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.
Ada banyak model pembelajaran yang
dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa diantaranya
adalah: 1) Model Pembelajaran Kontekstual (constextual teaching and
learning-CTL) adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan
antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa. 2) Model
Pembelajaran Kooperatif (Coorperative learning) merupakan model pengajaran
dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan
berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling kerjasama
dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran. 3) Model Pembelajaran
Quantum merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori atau pandangan
psikologi kognitif dan pemograman neurologi/ neurolinguistik yang jauh
sebelumnya sudah ada. 4) Model Pembelajaran Terpadu pada hakikatnya merupakan suatu
pendekatan pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara individual maupun
kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan model yang mencoba memadukan
beberapa pokok bahasan. Melalui pembelajaran terpadu siswa dapat memperoleh
pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima,
menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. 5)
Model Pembelajaran Berbasis masalah (PBL) dirancang untuk membantu mencapai
tujuan-tujuan seperti meningkatkan keterampilan intelektual dan investigative,
memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa untuk menjadi pelajar yang
mandiri. 6) Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) merupakan salah
satu model pengajaran yang dirancang khusus untuk mengembangkan belajar siswa
tentang pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur
dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah. 7) Model
Pembelajaran diskusi adalah sebuah interaksi komunikasi antara dua orang atau
lebih (sebagai suatu kelompok).[31]
[1] Azyumardi Azra, Esei- esei Intelektual Muslim & Pendidikan
Islam, ( Jakarta: Logos, 1999), hlm. 3
[3] Amirulloh Syarbini, Buku
pintar pendidikan karakter, (Bandung : as@-prima pustaka, 2012).
hlm. 13
[4] Amirulloh
Syarbini, Buku pintar pendidikan karakter, (Bandung : as@-prima pustaka,
2012).
hlm.14
[5] Amirulloh Syarbini, Buku
pintar pendidikan karakter, (Bandung : as@-prima pustaka, 2012).
hlm, 14-15
[6] Amirulloh Syarbini, Buku
Pintar Pendidikan Karakter, (Bandung : as@-prima pustaka, 2012). hlm
15
[7] Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility. (New York: Bantam Books, 1993)
[8] Amirulloh Syarbini, Buku
pintar pendidikan karakter, (Bandung : as@-prima pustaka, 2012).
hlm. 16
[10] Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam,
( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 30.
[11] Dharma Kesuma, dkk. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan
Praktik di Sekolah. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011). hlm. 15
[12] Kementerian Pendidikan Nasional, Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, (Jakarta: 2010), hlm. 7
[13] Doni Koesuma, Pendidikan Karakter: Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 135
[15] Amirulloh Syarbini, Buku Pintar Pendidikan Karakter, (Bandung :
as@-prima pustaka,2012). hlm 25
[16] Kementerian Pendidikan Nasional, Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, (Jakarta: 2010), hlm. 9-10.
[17] Sanjaya, W. Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2006). hlm. 45
[18] Sanjaya, W. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. (Jakarta: Kencana Prenada Media). hlm.45
[23] Sanjaya, W. Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. (Jakarta: Kencana
Prenada Media,2006). hlm. 58
[28] Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hlm. 5
[30] Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme
Guru, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 136
[31] Syaiful Sagala, Konsep dan
Makna Pembelajaran Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar,
(Bandung: CV Alfabeta, 2011), hlm. 175