Sebagaimana diungkapkan Koentjaraningrat
bahwa kita harus mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pangkal dari antropologi
dan bagaimana garis besar proses perkembangannya yang mengintegrasikan ilmu-ilmu
pangkal tersebut, maka pada bahasan berikut akan diuraikan perkembangan
antropologi. Dari bahasan ini Anda akan bisa melihat bahwa perkembangan
antropologi terkait erat dengan dinamika masyarakat.
1.
Latar Belakang Lahirnya Antropologi
Antropologi pada masa perkembangan awalnya
tidak dapat dipisahkan dengan karya-karya para penulis yang mencatat gambaran
kehidupan penduduk atau suku bangsa di luar Eropa. Pada saat itu, kehidupan
penduduk di luar Eropa dipandang menarik oleh para penjelajah, para penjajah,
atau para misionaris karena perbedaan cara hidup antara masyarakat Eropa dengan
masyarakat di luar Eropa. Oleh karenanya, mereka bukan saja menulis tentang
perjalanan atau yang terkait dengan tugasnya tetapi juga melengkapinya dengan deskripsi
tentang tata cara kehidupan masyarakat yang mereka temui. Deskripsi ini
kemudian dikenal dengan sebutan etnografi. Beberapa tulisan karya mereka
akan dipaparkan pada uraian berikut.
Tulisan Herodotus, seorang bangsa Yunani yang
dikenal pula sebagai Bapak sejarah dan etnografi, mengenai bangsa Mesir
merupakan tulisan etnografi yang paling kuno. Tulisan-tulisan etnografi pada
masa awal masih bersifat subyektif, penuh dengan prasangka dan bersifat
etnosentrisme.
Etnosentrisme adalah sebuah pandangan atau
sikap di mana suku bangsa sendiri dianggap lebih baik dan dijadikan ukuran
dalam melihat baik buruknya karakter suku bangsa lainnya. Orang Yunani pada
masa itu menganggap bahwa suku-suku bangsa selain orang Yunani seperti orang Mesir,
Libia dan Persia termasuk ke dalam suku bangsa yang masih setengah liar dan
belum beradab.
Pandangan seperti ini juga tersirat dalam
tulisan Heredotus yang mendeskripsikan suku bangsa Mesir tersebut. Pada jaman
Romawi kuno terdapat pula beberapa hasil karya etnografi mengenai kehidupan
suku bangsa Germania dan Galia yang ditulis oleh Tacitus dan Caesar. Sebagai
seorang perwira yang memimpin perjalanan tentaranya sampai ke Eropa Barat,
Caesar menulis etnografinya secara sistematis seperti halnya bentuk laporan
seorang perwira.
Sedangkan Tacitus menulis etnografinya dengan
gaya bahasa yang mengungkap perasaan dan kegalauannya tentang kehidupan yang
terdapat di ibukota kerajaan Roma. Pencatat etnografi yang cukup terkenal
adalah Marco Polo (1254-1323). Ia mengembara dengan keluarga besarnya ke daerah
Asia Timur dan sempat menetap di istana Khu Bilai Khan. Di sini ia melihat
beberapa kebiasaan yang dianggapnya aneh, yaitu penggunaan uang yang terbuat
dari kertas dan diberi cap serta ditandatangani di mana uang tersebut mempunyai
bermacam-macam nilai.
Marco Polo juga pernah singgah di daratan
Indonesia (yang diketahui dari tulisannya), di mana ia pernah singgah di
beberapa pelabuhan dari semenanjung Malaya hingga menelusuri Pulau Sumatra, di
antaranya adalah singgah ke di pelabuhan Perlec (dalam bahasa Aceh) atau
Peureula atau Perlak (dalam bahasa Melayu). Marco Polo menceritakan kehidupan
di kota pelabuhan ini di mana pedagang dari India dan penduduk pribuminya menganut
agama Islam sedangkan penduduk yang ada di pedalaman masih mengerjakan hal-hal
yang haram.
Tulisan etnografi yang dianggap lebih baik
dan obyektif justru adalah buah tangan dari seorang padri berbangsa Prancis
yaitu Yoseph Francis Lafitau (1600-1740). Ia mencoba membandingkan antara
kebiasaan dan tata susila orang Indian yang hendak dinasranikan dengan adat
istiadat bangsa Eropa kuno. Hasilnya, ia beranggapan bahwa bangsa primitif
(Indian) tidak dilihatnya sebagai manusia yang aneh. Akan tetapi karena bahan
yang diperbandingkannya sangat terbatas maka pandangannya tentang perbandingan
ini pun sangat terbatas.
Ahli etnografi, dalam arti yang modern (Harsojo,
1984), adalah Jens Kreft, seorang guru besar pada akademi di Soro. Ia menulis
sebuah buku berjudul “Sejarah Pendek tentang Lembaga-lembaga yang
Terpenting, Adat dan Pandangan-pandangan Orang Liar” 1760. Jens Kreft
awalnya adalah seorang ahli filsafat, di mana ia tidak sependapat dengan
pandangan Rousseau tentang manusia. Pandangan Jens Kreft tentang manusia lebih dianggap
mewakili pandangan sebagai seorang ahli etnologi daripada pandangan para ahli
filsafat. Tulisan etnografinya adalah mengenai dua suku bangsa Indian, Lule dan
Caingua, di Amerika Selatan, yang pada awalnya diduga mempunyai kebudayaan yang
rendah. Ternyata dugaannya itu salah.
Ia pun dipandang sebagai orang pertama yang
menulis etnografi secara lengkap yaitu dengan memperhatikan aspek pertumbuhan
ekonomi, masyarakat, agama dan kesenian. Ahli berikutnya yang dianggap sebagai
pendorong penulisan ilmiah dan sistematis mengenai etnografi adalah Adolf
Bastian. Ia memberikan pandangan mengenai kesatuan kebudayaan yang dimiliki
oleh suatu masyarakat, di mana suatu kebudayaan memiliki sifat-sifatnya yang
khusus yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan dasarnya dan lingkungannya.
Penelitian secara ilmiah mengenai antropologi
berkembang pesat setelah ditemukan atau setelah diketahui adanya hubungan
antara bahasa Sansakerta, Latin, Yunani dan Germania (Harsojo, 1984), sehingga
memungkinkan lebih banyak tersedia bahan-bahan etnografi sebagai bahan
perbandingan. Atas dasar ini kemudian timbul penelitian yang bersifat historis
komparatif mengenai kebudayaan. Dalam keperluan ini, berdirilah lembaga-lembaga
etnologi seperti Museum Etnografi yang didirikan oleh G.J. Thomson di Kopenhagen
tahun 1841, Museum Etnologi di Hamburg tahun 1850, The Peabody Museum of
Archeology and Ethnology di Harvad tahun 1866, American Ethnological Society di
New York tahun 1842, Ethnological Society of London di Inggris tahun 1843, dan
The Bureau of American Ethnology di Amerika tahun 1875.
Selama abad ke 20, penelitian antropologi dan
etnologi makin berkembang, terutama di pusat-pusat kajian antropologi dan
etnologi seperti di Amerika Serikat, Inggris, Afrika Selatan, Australia, Eropa
Barat, Eropa Tengah, Eropa Utara, Uni Soviet dan Meksiko. Di Indonesia,
bahan-bahan etnografi juga telah dikumpulkan terutama menyangkut adat istiadat,
sistem kepercayaan, struktur sosial dan kesenian.
Bahan-bahan etnografi tentang Indonesia
banyak dikumpulkan oleh para pegawai pemerintah jajahan, di antaranya yang
terkenal adalah T.S. Raffles mantan Letnan Gubernur Jenderal di Indonesia
(antara tahun 1811 hingga 1815). Raffles banyak menulis kebudayaan penduduk
pribumi Indonesia, di antaranya adalah dua jilid etnografi tentang kebudayaan
Jawa (1817).
2.
Fase-fase Perkembangan Antropologi
Fase-fase perkembangan antropologi paling
tidak diawali sejak akhir abad ke 15 atau awal abad ke 16 (Koentjaraningrat,
1996). Dengan mengikuti pembagian fase perkembangan antropologi menurut
Koentjaraningrat dan perkembangannya pada akhir-akhir ini, maka perkembangan
antropologi dapat dibagi ke dalam 5 (lima) fase perkembangan. Fase pertama
berawal dari akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 hingga sebelum abad ke 18.
Fase kedua terjadi sekitar pertengahan Abad ke 19, fase ketiga di sekitar awal Abad
ke 20, fase keempat terjadi sesudah tahun 1930-an, dan fase kelima kira-kira
sejak tahun 1970-an. Pembagian fase pertama hingga fase keempat berasal dari
Koentjaraningrat, sedangkan fase kelima berasal dari penulis berdasarkan
referensi yang ada.
a.
Fase pertama (sebelum abad ke 18)
Bahan-bahan tulisan, yang kemudian menjadi
cikal bakal karangan etnografi, banyak dihasilkan oleh para musafir, pelaut,
pendeta, para pegawai jajahan, para pegawai agama atau misionaris yang berasal
dari Eropa. Bahan-bahan tulisan ini banyak muncul sejak akhir abad ke 15 dan
awal abad ke 16.
Selama kurang lebih 4 abad lamanya, mereka
berhasil menulis kisah-kisah perjalanan dan cerita kehidupan masyarakat yang
mereka temui. Persebaran mereka pada masa ini seiring dengan kedatangan
orang-orang Eropa di benua Afrika, Asia dan Amerika Selatan, bahkan ke daerah
Oceania. Namun tulisan-tulisan tersebut masih jauh dari sebuah karangan
etnografi karena masih bersifat subyektif sehingga tidak komprehensif dan
holistik dalam menggambarkan kehidupan suatu masyarakat.
Pada umumnya mereka hanya menuliskan apa-apa
yang dianggapnya menarik (aneh) di mata mereka. Setelah tulisan etnografi di
atas diterbitkan dan banyak dibaca orang, tulisan ini banyak mempengaruhi sikap
bangsa Eropa, terutama kaum terpelajar, di mana kemudian mereka beranggapan
bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa merupakan bangsa-bangsa yang primitif (savage)
dan sangat terbelakang. Kelompok masyarakat ini juga dianggap masih murni,
jujur dan tidak mengenal kejahatan. Keunikan dari bangsa-bangsa di luar Eropa
ini, seperti adat istiadat dan benda-benda kebudayaannya, memicu munculnya pemikiran
untuk menyebarluaskan kepada khalayak luas di Eropa, yaitu misalnya dengan
mendirikan museum-museum yang secara khusus mengoleksi kebudayaan masyarakat di
luar Eropa.
Di samping itu pada awal abad ke 19 ini
timbul pula keinginan para ilmuwan Eropa untuk mengintegrasikan
karangan-karangan yang masih terlepas-lepas tersebut menjadi sebuah karangan
etnografi tersendiri. Pada fase ini belum diketahui adanya para tokoh
antropologi.
b.
Fase kedua (sekitar pertengahan abad ke 19)
Fase ini ditandai oleh keberhasilan para
ilmuwan dalam menyusun karya-karya etnografi yang bahannya dikumpulkan dari
berbagai karangan yang dihasilkan oleh para musafir, pelaut, pendeta, para pegawai jajahan, dan para
pegawai agama atau misionaris yang pernah tinggal di luar masyarakat Eropa.
Dari bahan-bahan yang terkumpul kemudian
disusun berdasarkan pola pikir evolusi sosial, yaitu menyusun secara sistematis
mulai dari masyarakat dan kebudayaan yang sangat sederhana hingga masyarakat
yang hidup pada tingkat yang lebih tinggi. Kelompok masyarakat yang digolongkan
ke dalam tingkat yang paling tinggi atau beradab adalah masyarakat Eropa Barat
pada masa itu, sedangkan tingkat yang paling rendah adalah masyarakat yang hidup
di luar Eropa Barat.
Para tokoh antropologi pada fase kedua ini
adalah para ahli antropologi terutama para tokoh penganut teori evolusi seperti
L.H. Morgan. Beliau sebenarnya seorang ahli hukum Amerika yang bekerja sebagai
pengacara yang membantu penduduk Amerika Timur dalam menangani masalah pertanahan.
Salah satu karangan L.H. Morgan yang terkenal adalah sebuah buku tentang
evolusi masyarakat yang berjudul “Ancient Society” (1877).
Buku ini ditulis berdasarkan hasil
penelitiannya tentang adat-istiadat orang Indian dan berpuluh-puluh masyarakat
di dunia. Tokoh lain dalam fase ini adalah P.W. Schmidt tetapi ia lebih
memfokuskan perhatiannya terhadap masalah sejarah asal mula penyebaran
kebudayaan suku-suku bangsa di seluruh dunia.
c.
Fase ketiga (awal abad ke 20)
Pada masa awal abad ke 20, antropologi telah
berkembang bukan saja sebagai ilmu yang mengkaji masalah kehidupan
bangsa-bangsa di luar Eropa yang ada kepentingannya dengan kebutuhan negara
besar yang menjadi penjajah tetapi juga dalam rangka memperoleh pengertian
tentang masyarakat modern yang kompleks. Artinya, dengan mempelajari masyarakat
yang masih sederhana akan diperoleh pemahaman yang baik mengenai masyarakat
Eropa yang lebih kompleks. Negara yang memiliki pengaruh cukup besar dan
memiliki daerah jajahan paling luas pada masa ini adalah Inggris.
Oleh karena itu, antropologi sebagai ilmu
yang praktis telah berkembang pesat di Inggris terutama dalam mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa yang menjadi jajahan Inggris. Selain
Inggris, negara-negara lain yang memiliki daerah jajahan juga ikut memanfaatkan
antropologi dalam upaya memahami karakteristik kehidupan suku bangsa yang ada
di wilayah jajahannya. Amerika Serikat juga memanfaatkan ilmu ini untuk
memahami masyarakat pribuminya, suku bangsa
Indian, yang pada waktu itu dianggap bermasalah terkait dengan masalah
integrasi sosial politik.
Tokoh antropologi pada masa ketiga ini adalah
B. Malinowski. Beliau adalah ahli antropologi Inggris yang meneliti
adat-istiadat penduduk Kepulauan Trobriand. Tokoh lainnya adalah M. Fortes yang
banyak menulis adat-istiadat dari suku bangsa yang tinggal di Afrika Barat.
d.
Fase keempat (sesudah tahun 1930-an)
Setelah tahun 1930-an, antropologi mendapat
perhatian yang sangat luas baik dari kalangan pemerintah terkait dengan fungsi
praktisnya maupun kalangan akademisi. Bagi kalangan pemerintah, ilmu ini tetap
dijadikan ilmu praktis guna memperoleh pemahaman pemakaian tentang kehidupan
dari masyarakat jajahannya. Sedangkan para akademisi lebih tertarik guna memperoleh
pemahaman tentang masyarakat secara umum, yakni keberadaan masyarakat yang
masih sederhana yang dianggap masih primitif (savage) dan keberadaan
masyarakat yang sudah kompleks.
Keterkaitan kedua bentuk masyarakat tersebut
berguna bagi kajian tentang perkembangan masyarakat (perubahan sosial), dengan
menetapkan bahwa masyarakat akan berkembang dari yang paling sederhana ke
masyarakat yang lebih kompleks. Pandangan ini dipengaruhi oleh pendekatan
evolusi yang pada masa ini sangat kuat pengaruhnya. Lihat bagan di bawah ini
Pada masa ini, antropologi telah
menerapkan metode ilmiah dalam mengkaji dan memperoleh bahan-bahan yang
diperlukan guna memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakat dan
kebudayaannya. Objek penelitian yang diperhatikan juga tidak terbatas pada
masyarakat yang dianggap masih primitif (savage), tetapi telah
berkembang dengan memperhatikan masyarakat atau penduduk pedesaan bukan saja di
luar Eropa tetapi juga di dalam wilayah Eropa sendiri.
Perkembangan antropologi sebagai ilmu
mengalami babak baru sejak diadakan simposium internasional yang dihadiri 60
tokoh antropologi (Amerika, Eropa, dan Uni Soviet) yang berupaya untuk meninjau
kembali bahan-bahan etnografi yang telah ada serta merumuskan pokok tujuan dan
ruang lingkup dari antropologi. Pada fase ini, antropologi mempunyai dua
tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.
Tujuan akademis antropologi adalah untuk
memperoleh pemahaman tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari
beragam bentuk fisik, masyarakat, dan kebudayaannya. Tujuan praktis antropologi
adalah mempelajari manusia dan masyarakatnya yang beraneka ragam tadi untuk keperluan
membangun masyarakat yang bersangkutan. Tokoh penting pada fase keempat ini
adalah F. Boas (1858-1942). Ia menjadi seorang tokoh antropologi Amerika
Serikat yang sebelumnya ia adalah seorang pakar geografi Jerman. Boas banyak
mempelajari tentang beragam makhluk manusia, baik dari segi fisik, masyarakat
atau pun kebudayaannya. Tokoh lainnya
adalah A.L. Kroeber, R. Benedict, Margaret Mead dan R. Linton.
e.
Fase kelima (sesudah tahun 1970-an)
Perkembangan antropologi pada era 1970-an
masih memperlihatkan perkembangan antropologi pada fase 4 di atas yang masih
memfokuskan diri pada tujuan akademis dan tujuan praktisnya, tetapi penekanan
terhadap kedua tujuan tersebut berbeda-beda di setiap negara. Perbedaan
tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan aliran dalam antropologi yang dapat diklasifikasikan
berdasarkan asal universitas tempat dikembangkannya antropologi di suatu
negara, seperti Inggris, Eropa Utara, Eropa Tengah, Amerika Serikat, Rusia, dan
negara-negara berkembang.
Di Inggris, antropologi diperlukan terutama
untuk mengenal dan memahami kehidupan masyarakat lokal pada negara-negara
jajahan Inggris, yang pada waktu itu sangat berguna bagi pemerintah setempat.
Setelah negara-negara jajahan Inggris merdeka, seperti Papua New Guinea dan Kepulauan
Melanesia, penelitian antropologi masih tetap dilakukan oleh para sarjana
Antropologi Inggris dan para sarjana Antropologi dari negara masing-masing dalam
upaya pembangunan masyarakat.
Di Eropa Utara, antropologi berkembang ada
upaya untuk mencapai kebutuhan akademis seperti yang berkembang di Jerman dan
Austria. Di sini juga tumbuh upaya untuk melakukan penelitian terhadap
masyarakat di luar Eropa terutama kebudayaan suku bangsa Eskimo. Metode
antropologi yang digunakan juga telah berkembang pesat dan beberapa di
antaranya telah mengembangkan metode seperti halnya yang dikembangkan di
Amerika Serikat.
Di Eropa Tengah, seperti di Belanda, Prancis,
dan Swiss, pada masa awal tahun 1970-an perhatian antropologi masih ditujukan
pada masyarakat di luar Eropa yang bertujuan untuk mengkaji sejarah penyebaran
kebudayaan manusia yang ada di seluruh dunia. Pada perkembangan selanjutnya, antropologi
di negara-negara ini pun telah banyak mengadopsi metode-metode antropologi yang
dikembangkan di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat, antropologi menunjukkan
perkembangannya yang paling luas. Perkembangan antropologi di sini telah didukung
oleh lahirnya berbagai himpunan antropologi dan terbitnya jurnal-jurnal serta
majalah ilmiah antropologi. Antropologi yang berkembang di Amerika Serikat
telah menggunakan dan mengintegrasikan seluruh bahan-bahan dan metode antropologi
dari fase pertama, kedua, dan ketiga, serta berbagai spesialisasi antropologi
telah berkembang dengan pesat.
Tujuan dari pengembangan antropologi tersebut
adalah untuk mencapai pengertian tentang dasar-dasar dari keanekaragaman bentuk
masyarakat dan kebudayaan manusia yang hidup pada masa kini. Tujuan Antropologi
seperti yang terungkap pada fase keempat menjadi fokus perhatian kalangan
universitas-universitas di Amerika Serikat terutama universitas yang memiliki
departemen antropologi sendiri.
Di Rusia, sebelum tahun 1970-an, perkembangan
antropologi di negara ini tidak banyak diketahui, walaupun kemudian ditemukan
tulisan etnografi karya S.A. Tokarev yang berjudul ”Der Anteil Der
Russischen Gelehrten An Der Entwicklung Der International Ethnographischen
Wissenchaften” dalam majalah Sowjetwissenshaf. II (1950).
Pemikiran antropologi di Soviet banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Karl Marx dan F. Engel terutama pemikiran tentang perkembangan
masyarakat melalui tahap-tahap evolusi. Antropologi dianggap menjadi bagian
dari ilmu sejarah yang memfokuskan pada masalah-masalah asal mula kebudayaan,
evolusi, dan masalah persebaran kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, antropologi
di Soviet selain mengembangkan kajian keilmuan juga melakukan penelitian-penelitian,
terutama pada suku bangsa yang terdapat di Soviet, yang digunakan sebagai dasar
dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan masalah upaya-upaya membangun
saling pengertian di antara penduduk pribumi. Walaupun pada akhirnya, karena
situasi politik yang berkembang di Rusia, disintegrasi bangsa pun tidak dapat
dihindari.
Selain itu, antropologi di Rusia sebenarnya juga
memperhatikan kehidupan masyarakat dan kebudayaan di luar bangsa-bangsa Eropa.
Hal ini terlihat dalam sebuah buku hasil
karya ahli antropologi di Soviet yang berjudul “Narody Mira”
(Bangsa-bangsa di Dunia) yang memuat deskripsi tentang kehidupan masyarakat
suku-suku bangsa di Afrika, Oseania, Asia dan Asia Tenggara, termasuk suku
bangsa di Indonesia.
Kajian pada bidang antropologi di
negara-negara berkembang terus mendapat perhatian terutama dalam kaitannya
dengan kegunaan praktisnya yang mampu mendeskripsikan berbagai pemasalah sosial
budaya. Deskripsi ini kemudian sangat berguna sebagai masukan dalam upaya
pengambilan kebijakan pembangunan, seperti masalah kemiskinan, kesehatan, hukum
adat, dan sebagainya.
Di India misalnya, antropologi dimanfaatkan
dalam kegunaan praktisnya terutama untuk memperoleh pemahaman tentang kehidupan
masyarakatnya yang sangat beragam. Pemahaman seperti itu akan sangat berguna
dalam upaya membangun integrasi sosial di antara penduduk yang beragam itu.
Sebagai negara bekas jajahan Inggris, antropologi di India banyak dipengaruhi
oleh kultur antropologi yang berkembang di Inggris.
Hal ini terlihat terutama pada metode-metode
antropologinya yang banyak mengikuti aliran-aliran antropologi yang berkembang
di Inggris. Di Indonesia juga hampir sama dengan yang terjadi di India. Antropologi
di Indonesia berkembang untuk pengkajian masalah-masalah sosial budaya dan
upaya mendeskripsikan berbagai kehidupan
dari berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke agar saling mengenal satu
dengan lainnya. Upaya-upaya tersebut terus dilakukan hingga kini karena masih banyak
suku-suku bangsa yang jumlah anggotanya relatif sedikit dan hidup di beberapa
daerah yang terpencil belum mendapat perhatian.
Perkembangan antropologi di Indonesia hampir
tidak terikat oleh tradisi antropologi manapun (Koentjaraningrat, 1996).
Menurut Koentjaraningrat (1996) antropologi di Indonesia yang belum mempunyai
tradisi yang kuat, kemudian bisa memilih sendiri dan mengombinasikan beberapa
unsur dari aliran mana pun yang paling sesuai dengan kebutuhan masalah-masalah kemasyarakatan
yang dihadapi. Menurutnya, kita bisa mengikuti cara Amerika dalam menentukan konsepsi mengenai batas-batas lapangan penelitian
antropologi dan pengintegrasian dari beberapa metode antropologi.
Kita juga dapat meniru cara India dalam
mempergunakan antropologi sebagai ilmu praktis yang mampu mendeskripsikan kehidupan
masyarakat dan kebudayaan yang beragam, dan ikut membantu dalam pemecahan
masalah kemasyarakatan serta merencanakan pembangunan nasional. Kita juga dapat
mencontoh Meksiko yang telah menggunakan antropologi sebagai ilmu praktis untuk
mengumpulkan data tentang kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan untuk
menemukan dasar-dasar bagi suatu kebudayaan nasional dengan kepribadian yang
khas dan dapat digunakan untuk membangun masyarakat desa yang modern.