Blogroll

loading...

Blogger templates

loading...

Perkembangan Antropologi



Sebagaimana diungkapkan Koentjaraningrat bahwa kita harus mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi pangkal dari antropologi dan bagaimana garis besar proses perkembangannya yang mengintegrasikan ilmu-ilmu pangkal tersebut, maka pada bahasan berikut akan diuraikan perkembangan antropologi. Dari bahasan ini Anda akan bisa melihat bahwa perkembangan antropologi terkait erat dengan dinamika masyarakat.

1. Latar Belakang Lahirnya Antropologi
Antropologi pada masa perkembangan awalnya tidak dapat dipisahkan dengan karya-karya para penulis yang mencatat gambaran kehidupan penduduk atau suku bangsa di luar Eropa. Pada saat itu, kehidupan penduduk di luar Eropa dipandang menarik oleh para penjelajah, para penjajah, atau para misionaris karena perbedaan cara hidup antara masyarakat Eropa dengan masyarakat di luar Eropa. Oleh karenanya, mereka bukan saja menulis tentang perjalanan atau yang terkait dengan tugasnya tetapi juga melengkapinya dengan deskripsi tentang tata cara kehidupan masyarakat yang mereka temui. Deskripsi ini kemudian dikenal dengan sebutan etnografi. Beberapa tulisan karya mereka akan dipaparkan pada uraian berikut.
Tulisan Herodotus, seorang bangsa Yunani yang dikenal pula sebagai Bapak sejarah dan etnografi, mengenai bangsa Mesir merupakan tulisan etnografi yang paling kuno. Tulisan-tulisan etnografi pada masa awal masih bersifat subyektif, penuh dengan prasangka dan bersifat etnosentrisme.
Etnosentrisme adalah sebuah pandangan atau sikap di mana suku bangsa sendiri dianggap lebih baik dan dijadikan ukuran dalam melihat baik buruknya karakter suku bangsa lainnya. Orang Yunani pada masa itu menganggap bahwa suku-suku bangsa selain orang Yunani seperti orang Mesir, Libia dan Persia termasuk ke dalam suku bangsa yang masih setengah liar dan belum beradab.
Pandangan seperti ini juga tersirat dalam tulisan Heredotus yang mendeskripsikan suku bangsa Mesir tersebut. Pada jaman Romawi kuno terdapat pula beberapa hasil karya etnografi mengenai kehidupan suku bangsa Germania dan Galia yang ditulis oleh Tacitus dan Caesar. Sebagai seorang perwira yang memimpin perjalanan tentaranya sampai ke Eropa Barat, Caesar menulis etnografinya secara sistematis seperti halnya bentuk laporan seorang perwira.
Sedangkan Tacitus menulis etnografinya dengan gaya bahasa yang mengungkap perasaan dan kegalauannya tentang kehidupan yang terdapat di ibukota kerajaan Roma. Pencatat etnografi yang cukup terkenal adalah Marco Polo (1254-1323). Ia mengembara dengan keluarga besarnya ke daerah Asia Timur dan sempat menetap di istana Khu Bilai Khan. Di sini ia melihat beberapa kebiasaan yang dianggapnya aneh, yaitu penggunaan uang yang terbuat dari kertas dan diberi cap serta ditandatangani di mana uang tersebut mempunyai bermacam-macam nilai.
Marco Polo juga pernah singgah di daratan Indonesia (yang diketahui dari tulisannya), di mana ia pernah singgah di beberapa pelabuhan dari semenanjung Malaya hingga menelusuri Pulau Sumatra, di antaranya adalah singgah ke di pelabuhan Perlec (dalam bahasa Aceh) atau Peureula atau Perlak (dalam bahasa Melayu). Marco Polo menceritakan kehidupan di kota pelabuhan ini di mana pedagang dari India dan penduduk pribuminya menganut agama Islam sedangkan penduduk yang ada di pedalaman masih mengerjakan hal-hal yang haram.
Tulisan etnografi yang dianggap lebih baik dan obyektif justru adalah buah tangan dari seorang padri berbangsa Prancis yaitu Yoseph Francis Lafitau (1600-1740). Ia mencoba membandingkan antara kebiasaan dan tata susila orang Indian yang hendak dinasranikan dengan adat istiadat bangsa Eropa kuno. Hasilnya, ia beranggapan bahwa bangsa primitif (Indian) tidak dilihatnya sebagai manusia yang aneh. Akan tetapi karena bahan yang diperbandingkannya sangat terbatas maka pandangannya tentang perbandingan ini pun sangat terbatas.
Ahli etnografi, dalam arti yang modern (Harsojo, 1984), adalah Jens Kreft, seorang guru besar pada akademi di Soro. Ia menulis sebuah buku berjudul “Sejarah Pendek tentang Lembaga-lembaga yang Terpenting, Adat dan Pandangan-pandangan Orang Liar” 1760. Jens Kreft awalnya adalah seorang ahli filsafat, di mana ia tidak sependapat dengan pandangan Rousseau tentang manusia. Pandangan Jens Kreft tentang manusia lebih dianggap mewakili pandangan sebagai seorang ahli etnologi daripada pandangan para ahli filsafat. Tulisan etnografinya adalah mengenai dua suku bangsa Indian, Lule dan Caingua, di Amerika Selatan, yang pada awalnya diduga mempunyai kebudayaan yang rendah. Ternyata dugaannya itu salah.
Ia pun dipandang sebagai orang pertama yang menulis etnografi secara lengkap yaitu dengan memperhatikan aspek pertumbuhan ekonomi, masyarakat, agama dan kesenian. Ahli berikutnya yang dianggap sebagai pendorong penulisan ilmiah dan sistematis mengenai etnografi adalah Adolf Bastian. Ia memberikan pandangan mengenai kesatuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, di mana suatu kebudayaan memiliki sifat-sifatnya yang khusus yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan dasarnya dan lingkungannya.
Penelitian secara ilmiah mengenai antropologi berkembang pesat setelah ditemukan atau setelah diketahui adanya hubungan antara bahasa Sansakerta, Latin, Yunani dan Germania (Harsojo, 1984), sehingga memungkinkan lebih banyak tersedia bahan-bahan etnografi sebagai bahan perbandingan. Atas dasar ini kemudian timbul penelitian yang bersifat historis komparatif mengenai kebudayaan. Dalam keperluan ini, berdirilah lembaga-lembaga etnologi seperti Museum Etnografi yang didirikan oleh G.J. Thomson di Kopenhagen tahun 1841, Museum Etnologi di Hamburg tahun 1850, The Peabody Museum of Archeology and Ethnology di Harvad tahun 1866, American Ethnological Society di New York tahun 1842, Ethnological Society of London di Inggris tahun 1843, dan The Bureau of American Ethnology di Amerika tahun 1875.
Selama abad ke 20, penelitian antropologi dan etnologi makin berkembang, terutama di pusat-pusat kajian antropologi dan etnologi seperti di Amerika Serikat, Inggris, Afrika Selatan, Australia, Eropa Barat, Eropa Tengah, Eropa Utara, Uni Soviet dan Meksiko. Di Indonesia, bahan-bahan etnografi juga telah dikumpulkan terutama menyangkut adat istiadat, sistem kepercayaan, struktur sosial dan kesenian.
Bahan-bahan etnografi tentang Indonesia banyak dikumpulkan oleh para pegawai pemerintah jajahan, di antaranya yang terkenal adalah T.S. Raffles mantan Letnan Gubernur Jenderal di Indonesia (antara tahun 1811 hingga 1815). Raffles banyak menulis kebudayaan penduduk pribumi Indonesia, di antaranya adalah dua jilid etnografi tentang kebudayaan Jawa (1817).

2. Fase-fase Perkembangan Antropologi
Fase-fase perkembangan antropologi paling tidak diawali sejak akhir abad ke 15 atau awal abad ke 16 (Koentjaraningrat, 1996). Dengan mengikuti pembagian fase perkembangan antropologi menurut Koentjaraningrat dan perkembangannya pada akhir-akhir ini, maka perkembangan antropologi dapat dibagi ke dalam 5 (lima) fase perkembangan. Fase pertama berawal dari akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 hingga sebelum abad ke 18. Fase kedua terjadi sekitar pertengahan Abad ke 19, fase ketiga di sekitar awal Abad ke 20, fase keempat terjadi sesudah tahun 1930-an, dan fase kelima kira-kira sejak tahun 1970-an. Pembagian fase pertama hingga fase keempat berasal dari Koentjaraningrat, sedangkan fase kelima berasal dari penulis berdasarkan referensi yang ada.



a. Fase pertama (sebelum abad ke 18)
Bahan-bahan tulisan, yang kemudian menjadi cikal bakal karangan etnografi, banyak dihasilkan oleh para musafir, pelaut, pendeta, para pegawai jajahan, para pegawai agama atau misionaris yang berasal dari Eropa. Bahan-bahan tulisan ini banyak muncul sejak akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16.
Selama kurang lebih 4 abad lamanya, mereka berhasil menulis kisah-kisah perjalanan dan cerita kehidupan masyarakat yang mereka temui. Persebaran mereka pada masa ini seiring dengan kedatangan orang-orang Eropa di benua Afrika, Asia dan Amerika Selatan, bahkan ke daerah Oceania. Namun tulisan-tulisan tersebut masih jauh dari sebuah karangan etnografi karena masih bersifat subyektif sehingga tidak komprehensif dan holistik dalam menggambarkan kehidupan suatu masyarakat.
Pada umumnya mereka hanya menuliskan apa-apa yang dianggapnya menarik (aneh) di mata mereka. Setelah tulisan etnografi di atas diterbitkan dan banyak dibaca orang, tulisan ini banyak mempengaruhi sikap bangsa Eropa, terutama kaum terpelajar, di mana kemudian mereka beranggapan bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa merupakan bangsa-bangsa yang primitif (savage) dan sangat terbelakang. Kelompok masyarakat ini juga dianggap masih murni, jujur dan tidak mengenal kejahatan. Keunikan dari bangsa-bangsa di luar Eropa ini, seperti adat istiadat dan benda-benda kebudayaannya, memicu munculnya pemikiran untuk menyebarluaskan kepada khalayak luas di Eropa, yaitu misalnya dengan mendirikan museum-museum yang secara khusus mengoleksi kebudayaan masyarakat di luar Eropa.
Di samping itu pada awal abad ke 19 ini timbul pula keinginan para ilmuwan Eropa untuk mengintegrasikan karangan-karangan yang masih terlepas-lepas tersebut menjadi sebuah karangan etnografi tersendiri. Pada fase ini belum diketahui adanya para tokoh antropologi.
b. Fase kedua (sekitar pertengahan abad ke 19)
Fase ini ditandai oleh keberhasilan para ilmuwan dalam menyusun karya-karya etnografi yang bahannya dikumpulkan dari berbagai karangan yang dihasilkan oleh para musafir, pelaut,  pendeta, para pegawai jajahan, dan para pegawai agama atau misionaris yang pernah tinggal di luar masyarakat Eropa.
Dari bahan-bahan yang terkumpul kemudian disusun berdasarkan pola pikir evolusi sosial, yaitu menyusun secara sistematis mulai dari masyarakat dan kebudayaan yang sangat sederhana hingga masyarakat yang hidup pada tingkat yang lebih tinggi. Kelompok masyarakat yang digolongkan ke dalam tingkat yang paling tinggi atau beradab adalah masyarakat Eropa Barat pada masa itu, sedangkan tingkat yang paling rendah adalah masyarakat yang hidup di luar Eropa Barat.
Para tokoh antropologi pada fase kedua ini adalah para ahli antropologi terutama para tokoh penganut teori evolusi seperti L.H. Morgan. Beliau sebenarnya seorang ahli hukum Amerika yang bekerja sebagai pengacara yang membantu penduduk Amerika Timur dalam menangani masalah pertanahan. Salah satu karangan L.H. Morgan yang terkenal adalah sebuah buku tentang evolusi masyarakat yang berjudul “Ancient Society” (1877).
Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitiannya tentang adat-istiadat orang Indian dan berpuluh-puluh masyarakat di dunia. Tokoh lain dalam fase ini adalah P.W. Schmidt tetapi ia lebih memfokuskan perhatiannya terhadap masalah sejarah asal mula penyebaran kebudayaan suku-suku bangsa di seluruh dunia.

c. Fase ketiga (awal abad ke 20)
Pada masa awal abad ke 20, antropologi telah berkembang bukan saja sebagai ilmu yang mengkaji masalah kehidupan bangsa-bangsa di luar Eropa yang ada kepentingannya dengan kebutuhan negara besar yang menjadi penjajah tetapi juga dalam rangka memperoleh pengertian tentang masyarakat modern yang kompleks. Artinya, dengan mempelajari masyarakat yang masih sederhana akan diperoleh pemahaman yang baik mengenai masyarakat Eropa yang lebih kompleks. Negara yang memiliki pengaruh cukup besar dan memiliki daerah jajahan paling luas pada masa ini adalah Inggris.
Oleh karena itu, antropologi sebagai ilmu yang praktis telah berkembang pesat di Inggris terutama dalam mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa yang menjadi jajahan Inggris. Selain Inggris, negara-negara lain yang memiliki daerah jajahan juga ikut memanfaatkan antropologi dalam upaya memahami karakteristik kehidupan suku bangsa yang ada di wilayah jajahannya. Amerika Serikat juga memanfaatkan ilmu ini untuk memahami  masyarakat pribuminya, suku bangsa Indian, yang pada waktu itu dianggap bermasalah terkait dengan masalah integrasi sosial politik.
Tokoh antropologi pada masa ketiga ini adalah B. Malinowski. Beliau adalah ahli antropologi Inggris yang meneliti adat-istiadat penduduk Kepulauan Trobriand. Tokoh lainnya adalah M. Fortes yang banyak menulis adat-istiadat dari suku bangsa yang tinggal di Afrika Barat.

d. Fase keempat (sesudah tahun 1930-an)
Setelah tahun 1930-an, antropologi mendapat perhatian yang sangat luas baik dari kalangan pemerintah terkait dengan fungsi praktisnya maupun kalangan akademisi. Bagi kalangan pemerintah, ilmu ini tetap dijadikan ilmu praktis guna memperoleh pemahaman pemakaian tentang kehidupan dari masyarakat jajahannya. Sedangkan para akademisi lebih tertarik guna memperoleh pemahaman tentang masyarakat secara umum, yakni keberadaan masyarakat yang masih sederhana yang dianggap masih primitif (savage) dan keberadaan masyarakat yang sudah kompleks.
Keterkaitan kedua bentuk masyarakat tersebut berguna bagi kajian tentang perkembangan masyarakat (perubahan sosial), dengan menetapkan bahwa masyarakat akan berkembang dari yang paling sederhana ke masyarakat yang lebih kompleks. Pandangan ini dipengaruhi oleh pendekatan evolusi yang pada masa ini sangat kuat pengaruhnya. Lihat bagan di bawah ini
 








Pada masa ini, antropologi telah menerapkan metode ilmiah dalam mengkaji dan memperoleh bahan-bahan yang diperlukan guna memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Objek penelitian yang diperhatikan juga tidak terbatas pada masyarakat yang dianggap masih primitif (savage), tetapi telah berkembang dengan memperhatikan masyarakat atau penduduk pedesaan bukan saja di luar Eropa tetapi juga di dalam wilayah Eropa sendiri.
Perkembangan antropologi sebagai ilmu mengalami babak baru sejak diadakan simposium internasional yang dihadiri 60 tokoh antropologi (Amerika, Eropa, dan Uni Soviet) yang berupaya untuk meninjau kembali bahan-bahan etnografi yang telah ada serta merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari antropologi. Pada fase ini, antropologi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis.
Tujuan akademis antropologi adalah untuk memperoleh pemahaman tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari beragam bentuk fisik, masyarakat, dan kebudayaannya. Tujuan praktis antropologi adalah mempelajari manusia dan masyarakatnya yang beraneka ragam tadi untuk keperluan membangun masyarakat yang bersangkutan. Tokoh penting pada fase keempat ini adalah F. Boas (1858-1942). Ia menjadi seorang tokoh antropologi Amerika Serikat yang sebelumnya ia adalah seorang pakar geografi Jerman. Boas banyak mempelajari tentang beragam makhluk manusia, baik dari segi fisik, masyarakat atau  pun kebudayaannya. Tokoh lainnya adalah A.L. Kroeber, R. Benedict, Margaret Mead dan R. Linton.

e. Fase kelima (sesudah tahun 1970-an)
Perkembangan antropologi pada era 1970-an masih memperlihatkan perkembangan antropologi pada fase 4 di atas yang masih memfokuskan diri pada tujuan akademis dan tujuan praktisnya, tetapi penekanan terhadap kedua tujuan tersebut berbeda-beda di setiap negara. Perbedaan tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan aliran dalam antropologi yang dapat diklasifikasikan berdasarkan asal universitas tempat dikembangkannya antropologi di suatu negara, seperti Inggris, Eropa Utara, Eropa Tengah, Amerika Serikat, Rusia, dan negara-negara berkembang.
Di Inggris, antropologi diperlukan terutama untuk mengenal dan memahami kehidupan masyarakat lokal pada negara-negara jajahan Inggris, yang pada waktu itu sangat berguna bagi pemerintah setempat. Setelah negara-negara jajahan Inggris merdeka, seperti Papua New Guinea dan Kepulauan Melanesia, penelitian antropologi masih tetap dilakukan oleh para sarjana Antropologi Inggris dan para sarjana Antropologi dari negara masing-masing dalam upaya pembangunan masyarakat.
Di Eropa Utara, antropologi berkembang ada upaya untuk mencapai kebutuhan akademis seperti yang berkembang di Jerman dan Austria. Di sini juga tumbuh upaya untuk melakukan penelitian terhadap masyarakat di luar Eropa terutama kebudayaan suku bangsa Eskimo. Metode antropologi yang digunakan juga telah berkembang pesat dan beberapa di antaranya telah mengembangkan metode seperti halnya yang dikembangkan di Amerika Serikat.
Di Eropa Tengah, seperti di Belanda, Prancis, dan Swiss, pada masa awal tahun 1970-an perhatian antropologi masih ditujukan pada masyarakat di luar Eropa yang bertujuan untuk mengkaji sejarah penyebaran kebudayaan manusia yang ada di seluruh dunia. Pada perkembangan selanjutnya, antropologi di negara-negara ini pun telah banyak mengadopsi metode-metode antropologi yang dikembangkan di Amerika Serikat.
Di Amerika Serikat, antropologi menunjukkan perkembangannya yang paling luas. Perkembangan antropologi di sini telah didukung oleh lahirnya berbagai himpunan antropologi dan terbitnya jurnal-jurnal serta majalah ilmiah antropologi. Antropologi yang berkembang di Amerika Serikat telah menggunakan dan mengintegrasikan seluruh bahan-bahan dan metode antropologi dari fase pertama, kedua, dan ketiga, serta berbagai spesialisasi antropologi telah berkembang dengan pesat.
Tujuan dari pengembangan antropologi tersebut adalah untuk mencapai pengertian tentang dasar-dasar dari keanekaragaman bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang hidup pada masa kini. Tujuan Antropologi seperti yang terungkap pada fase keempat menjadi fokus perhatian kalangan universitas-universitas di Amerika Serikat terutama universitas yang memiliki departemen antropologi sendiri.
Di Rusia, sebelum tahun 1970-an, perkembangan antropologi di negara ini tidak banyak diketahui, walaupun kemudian ditemukan tulisan etnografi karya S.A. Tokarev yang berjudul ”Der Anteil Der Russischen Gelehrten An Der Entwicklung Der International Ethnographischen Wissenchaften” dalam majalah Sowjetwissenshaf. II (1950).
Pemikiran antropologi di Soviet banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx dan F. Engel terutama pemikiran tentang perkembangan masyarakat melalui tahap-tahap evolusi. Antropologi dianggap menjadi bagian dari ilmu sejarah yang memfokuskan pada masalah-masalah asal mula kebudayaan, evolusi, dan masalah persebaran kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, antropologi di Soviet selain mengembangkan kajian keilmuan juga melakukan penelitian-penelitian, terutama pada suku bangsa yang terdapat di Soviet, yang digunakan sebagai dasar dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan masalah upaya-upaya membangun saling pengertian di antara penduduk pribumi. Walaupun pada akhirnya, karena situasi politik yang berkembang di Rusia, disintegrasi bangsa pun tidak dapat dihindari.
Selain itu, antropologi di Rusia sebenarnya juga memperhatikan kehidupan masyarakat dan kebudayaan di luar bangsa-bangsa Eropa. Hal ini  terlihat dalam sebuah buku hasil karya ahli antropologi di Soviet yang berjudul “Narody Mira” (Bangsa-bangsa di Dunia) yang memuat deskripsi tentang kehidupan masyarakat suku-suku bangsa di Afrika, Oseania, Asia dan Asia Tenggara, termasuk suku bangsa di Indonesia.
Kajian pada bidang antropologi di negara-negara berkembang terus mendapat perhatian terutama dalam kaitannya dengan kegunaan praktisnya yang mampu mendeskripsikan berbagai pemasalah sosial budaya. Deskripsi ini kemudian sangat berguna sebagai masukan dalam upaya pengambilan kebijakan pembangunan, seperti masalah kemiskinan, kesehatan, hukum adat, dan sebagainya.
Di India misalnya, antropologi dimanfaatkan dalam kegunaan praktisnya terutama untuk memperoleh pemahaman tentang kehidupan masyarakatnya yang sangat beragam. Pemahaman seperti itu akan sangat berguna dalam upaya membangun integrasi sosial di antara penduduk yang beragam itu. Sebagai negara bekas jajahan Inggris, antropologi di India banyak dipengaruhi oleh kultur antropologi yang berkembang di Inggris.
Hal ini terlihat terutama pada metode-metode antropologinya yang banyak mengikuti aliran-aliran antropologi yang berkembang di Inggris. Di Indonesia juga hampir sama dengan yang terjadi di India. Antropologi di Indonesia berkembang untuk pengkajian masalah-masalah sosial budaya dan upaya mendeskripsikan  berbagai kehidupan dari berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke agar saling mengenal satu dengan lainnya. Upaya-upaya tersebut terus dilakukan hingga kini karena masih banyak suku-suku bangsa yang jumlah anggotanya relatif sedikit dan hidup di beberapa daerah yang terpencil belum mendapat perhatian.
Perkembangan antropologi di Indonesia hampir tidak terikat oleh tradisi antropologi manapun (Koentjaraningrat, 1996). Menurut Koentjaraningrat (1996) antropologi di Indonesia yang belum mempunyai tradisi yang kuat, kemudian bisa memilih sendiri dan mengombinasikan beberapa unsur dari aliran mana pun yang paling sesuai dengan kebutuhan masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi. Menurutnya, kita bisa mengikuti cara Amerika dalam menentukan  konsepsi mengenai batas-batas lapangan penelitian antropologi dan pengintegrasian dari beberapa metode  antropologi.
Kita juga dapat meniru cara India dalam mempergunakan antropologi sebagai ilmu praktis yang mampu mendeskripsikan kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang beragam, dan ikut membantu dalam pemecahan masalah kemasyarakatan serta merencanakan pembangunan nasional. Kita juga dapat mencontoh Meksiko yang telah menggunakan antropologi sebagai ilmu praktis untuk mengumpulkan data tentang kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan untuk menemukan dasar-dasar bagi suatu kebudayaan nasional dengan kepribadian yang khas dan dapat digunakan untuk membangun masyarakat desa yang modern.



Blog Archive