Harta dipandang amat positif oleh
Islam. Manusia disuruh mencari rizki bukan sekadar untuk mencukupi
kebutuhannya, tetapi lebih dari itu mencari keuntyungan yang berlipat ganda.
Harta dinilai sebagai “qiyaman” yaitu sarana pokok kehidupan. Dalam hal harta,
Al-Qur’an mengatakan “Telah menjadi naluri manusia kecintaan kepada lawan jenis,
anak-anak, serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda piaraan, binatang
ternak, sawah, dan ladang” (Q.S 3:14).
Al-Ghazali memberi ilustrasi para
pemilik harta yang tertipu dengan hartanya sendiri.
1.
Mereka yang besar semangatnya untuk membangun mesjid
atau banguanan apa saja yang berhubungan dengan keagamaan yang tampak jelas di
mata publik, dengan tujauan ingin agar namanya dikenang, kedermawanannya
disebut-sebut, popularitasnya dalam beramal tersiar kemana-mana. Tidak hanya
samapai di situ saja bahkan disertai dengankeyakinan bahwa dengan berbuat
demikian pahala dan ampunan Allah SWT akan mereka peroleh.
2.
Mereka yang
menafkahkan hartanya kepada fakir miskin dan anak yatim berupa uang, makanan,
pakaian dan sebagainya tetapi diminta nya untuk berkumpul di rumahnya, di
gedung mewah, mesjid dan sebagainya. Apa yang diinginkan oleh orang kaya ini ?
Ucapan terima kasih secara beramai-ramai daari fakir miskin dan anak yatim ini
disirakan dan dipublikasikan oleh media massa elektronik maupun cetak. Mereka
enggan memberikan sedekah secara diam-diam atau rahasia. Tidak ada ucapan
terima kasih dianggapnya sebagai menutupi kenikmatan yang dilimpahkannya.
3.
Golongan hartawan yang teruis bekerja untuk
memperbanyak kekayaannya dan menyimpannya bertumpuk-tumpuk dalam rekening
tabungan, deposito, rumah-rumah mewah, hamparan tanah dan sebagainya tetapi
mereka kikir. Lantas untuk menutupi kekikirannya mereka melakukan ibadah yang
tidak memerlukan pengeluaran harta seperti puasa, memperbanyak shalat sunat,
dan sebagainya.
4.
Orang kaya yang tertipu dedngan hartanya sendiri
adlah meereka yang suka memberi, menolong, dan menmbantu orang lain tetapi
menuntut pamrih, imbalan dan timbal balik.
B. MISKIN DAN
KAYA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
“Dan kami telah meninggikan sebagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa tingkat, agar mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain” (Q.S. 43:32). Realitas kehidupan manusia
menunjukkan bahwa mereka terstratifikasikan ke dalam lapisan dan strata sosial
yang berbeda-beda. Ada kaum yang terpelajar dan awam, ada yang miskin dan kaya
dan sebagainya.
Kata miskin berasal dari bahasa Arab
yang akar katanya “sakana” artinya diam, tidak bergerak, atau tenang. Dari akar
kata inilah diperoleh kesan bahwa faktor penyebab kemiskinan adalah sikap
berdiam diri, enggan atau tidk mau bergerak dan berusaha. Kesan ini lebih jelas
lagi bila diperhatikan bawa jaminan rizki yang dijanjikan Allah SWT ditujukn
kepada makhluk yang dinamainya dabbah yang arti harfiahnya adalah yang
bergerak. “Tidak ada satu pun dabbah di bumi kecuali Allah SWT yang menjamin
rizkinya” (Q.S. 11:6).