Sarumpaet (2010: 29-32) mengemukakan bahwa ada 3 ciri yang menandai sastra
anak itu berbeda dengan sastra orang dewasa. Tiga ciri pembeda itu berupa Unsur
pantangan, Penyajian dengan gaya secara langsung, Fungsi terapan. Unsur
pematangan merupakan unsur yang secara khusus berkenaan dengan tema dan amanat.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa sastra anak menghindari atau pantangan
terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut masalah seks, cinta yang erotis,
dendam yang menimbulkan kebencian, kekejaman, prasangka buruk, kecurangan yang jahat,
dan masalah kematian.
Apabila ada hal-hal buruk dalam kehidupan itu yang diangkat dalam sastra
anak, misalnya masalah kemiskinan, kekejaman ibu tiri, dan perlakuan yang tidak
adil pada tokoh proagonis, biasanya amanatnya lebih disederhanakan dengan akhir
cerita menemui kebahagiaan atau keindahan, misalnya dalam kisah Putri Salju,
Cindrella, Bawang Merah Bawang Putih, Limaran, Cindelaras, dan Putri Angsa.
Penyajian dengan gaya secara langsung adalah bahwa sajian cerita merupakan
deskripsi secara singkat dan langsung menuju sasarannya, mengetengahkakan gerak
yang dinamis, dan jelas sebab-sebabnya. Deskripsi itu diselingi dengn dialog
itu terwujud suasana yang tersaji perilaku tokoh-tokohnya amat jelas, baik
sifat, peran, maupun fungsinya dalam cerita. Biasanya lebih cenderung
digambarkan sifat tokoh yang hitam putih. Artinya, setiap tokoh baik atau tokoh
buruk.
Fungsi terapan adalah sajian cerita yang harus bersifat informatif dan
mengandung unsur-unsur yang bermanfaat, baik untuk pengetahan umum,
keterampilan khusus, maupun untuk pertumbuhan anak. Fungsi terapan dalam sastra
anak ini ditunjukkan oleh unsur-unsur intristik yang terdapat pada teks karya
sastra anak itu sendiri, misalnya dari judul Petualangan Sinbad akan memberikan
informasi yang berupa kata atau nama tokoh, anak akan bertambah pengetahuannya
tentang negeri asal kata atau tokoh itu, letak negeri itu, apa yang terkenal di
negeri itu, dan sebagainya.