A. Deskripsi
Konflik Klaim Wilayah di Kawasan laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan merupakan Kawasan
lautan yang memiliki luas sekitar 648.000 persegi yang berada diantara kawasan
Cina, Filipina, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Laut Cina Selatan dalam peta
konflik dibedakan menjadi dua yaitu bagian utara dan bagian selatan. Bagian
utara laut cina selatan terdapat pulau pratas yang diklaim oleh Cina dan
Taiwan, sedangkan kepulauan paracel yang diklaim oleh Cina, Taiwan dan Vietnam.Sebenarnya
kepulauan paracel telah diduduki oleh Cina semenjak 1974. Bagian Selatan yang
ditandai dengan kepulauan spartly di diperebutkan oleh enam negara sekaligus
yaitu Cina, Taiwan, Filipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam. Klaim
atas laut cina selatan oleh beberapa negara memiliki dasar hukum yang jelas
yaitu 1928 United Nation Convention on the Law of the Sea (1928 UNCLOS).UNCLOS
menetapkan bahwa kedaulatan teritorial laut adalah 12 mil dari tepi pantai dan
Zona Ekonomik Eksklusif (EEZ) sejauh 200 mil. Hal ini penting karena negara
yang memiliki kedaulatan atas pulau-pulau tersebut juga berhak memiliki sumber
daya alam termasuk gas dan minyak bumi.Karena daerah ke-enam negara yang sedang
bersengkata ini berdekatan sehingga terjadi tumpang tindih daerah batas laut
yang menyebabkan terjadinya konflik.Sementara untuk Cina Klaim diataskan
konteks sejarah. Namun perebutan Laut
Cina Selatan tidak hanya dilatarbelakangi oleh perebutan daerah kekuasaan
saja.Motivasi dari usaha klaim ini beragam namun faktor yang paling menonjol
adalah ekonomi. Keuntungan yang akan didapatkan dapat berupa minyak, gas, ikan
dan sumberdaya mineral. Cadangan minyak potensial Laut China Selatan sebanyak
213 milyar barrel dan sumber daya hidro karbon Laut China Selatan yang sering
dilupakan adalah gas alam.Bahkan gas alam diperkirakan sebagai sumber daya
hidrokarbon yang jumlahnya paling banyak.Menurut estimasi Survei Geologi
Amerika Serikat (USGS) 60% - 70% hidrokarbon di kawasan merupakan gas alam. Selain
itu kebanggan nasional atau national pride kemananan nasional juga menjadi
faktor pendukung dari usaha klaim atas Laut Cina Selatan. Seperti contohnya
Filipina yang menyatakan usaha klaim mereka terhadap pulau yang terletak pada
Laut Cina Selatan merupakan strategi pertahanan negara dan untuk membantu
melindungi nusantara Filipina. Lebih penting, konflik Laut Cina
Selatan ini berkaitan dengan kebebasan pelayaran dari pedangan dan lalu lintas
militer.Keingingan untuk mendapatkan Laut Cina Selatan sebagai tempat
perdagangan yang strategi, juga menjadi salah satu faktor yang mendorong usah
klaim atas wilayah ini.Jalur ini seringkali disebut sebagai maritime
superhighway karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional
paling sibuk di dunia. Jumlah supertanker yang berlayar melewati selat
Malaka dan bagian barat daya Laut China Selatan bahkan lebih dari tiga kali
lalu lintas yang melewati Kanal Suez dan lebih dari lima kali lipatnya kanal
Panama. Dan kepentingan U.S. dalam konflik ini adalah kebebasan Pelayaran
yang tersedia untuk seluruh bangsa.Hal ini pula yang dapat menjadi titik tolak
pertikaian bahkan diluar negara-negara yang berusaha klaim teritori.
B.
Kebijakan
Luar Negeri Indonesia Terhadap Sengketa Wilayah di Laut Cina Selatan
Penyelesaian persoalan Laut Cina
Selatan dengan kekuatan militer patut menjadi perhatian yang serius bagi
Indonesia.Indonesia yang dihadapkan pada konstruksi sosial yang ada, perlu
melakukan telaah terhadap berbagai langkah strategis terutama untuk mengkalkulasi
potensi munculnya Cina sebagai ancaman utama bagi Asia Tenggara.Lebih jauh,
fokus Indonesia yang menyadari bahwa instabilitas di kawasan berpeluang sebagai
goncangan tersendiri bagi keutuhan internal ASEAN. Apabila keempat negara
anggota ASEAN yang memiliki konflik klaim wilayah di kawasan Laut Cina Selatan
tetap bersikukuh mempertahankan kepentingan masing-masing negara, maka
eksistensi ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara akan dipertanyakan.
Oleh karena itu, inisiasi Indonesia untuk mengambil langkah aktif dan reaktif
terhadap konflik ini didukung oleh anggapan negara-negara lain bahwa Indonesia
adalah pihak yang netral.Indonesia dilihat mampu memahami kerumitan konflik ini
karena faktor geografis antara Indonesia-Laut Cina Selatan tidak terlampau
jauh.
Menurut Yudha Kurniawan, saat spektrum politik global terpolarisasi menjadi dua
blok, Indonesia perlu menegaskan posisinya sebagai sebuah negara yang pendukung
perdamaian yang tidak memihak pada salah satu blok. Poin tersebut menjadi inti
dari pola kebijakan luar negeri Indonesia, yakni politik luar negeri yang bebas
aktif. Yudha Kurniawan mengatakan bahwa dalam implementasinya politik luar
negeri Indonesia dilaksanakan melalui diplomasi yang kreatif, aktif dan
antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam prinsip dan
pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan. Akan tetapi, bersamaan
dengan berakhirnya Perang Dingin membuat adanya perubahan yang cukup
fundamental terhadap polarisasi kekuatan di dunia internasional. Spektrum
politik global tidak lagi dihadapkan pada keberpihakan terhadap blok Barat
ataupun Blok Timur, namun lebih dititikberatkan pada sejumlah isu yang sifatnya
variatif dan multisentrik.
Menanggapi fluktuasi dalam konstelasi politik global terkini, Indonesia berdiri
sebagai negara yang masih mengedepankan politik bebas aktif dalam menyikap
dinamika politik global. Dewasa ini, perjalanan dan peran politik luar negeri
Indonesia dalam konteks global cukup menjadi perhatian.Partisipasi aktif Indonesia
dalam berbagai persoalan-persoalan global dan regional mendapatkan berbagai
apresiasi baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu bukti nyata
keberhasilan Indonesia adalah dengan terciptanya Declaration on The
Conduct of The Parties in the South China Sea pada tahun 2002,
dianggap sebagai salah satu implementasi dari perspektif luar negeri Indonesia
yang dikenal dengan “Doktrin Natalegawa” (Dynamic Equilibrium) atau
keseimbangan dinamis. Yudha Kurniawan menambahkan bahwa doktrin tersebut
merujuk pada suatu kondisi yang ditandai oleh hubungan antar negara yang
mengedepankan kemitraan dan berlandaskan keyakinan bahwa sangat dimungkinkan
dikembangkan suatu tatanan internasional yang baru yang bersifat win-win dan
bukanzero-sum. Yudha
Kurniawan menambahkan bahwa perspektif dynamic equilibrium memiliki
dua termin penting.Dynamic merujuk pada dinamisme politik global.
Dalam sebuah Rapat Kerja antara Kementerian Luar Negeri dengan Komisi 1 DPR RI
pada bulan Juni 2011, Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri Indonesia
memaknai dinamisme politik global sebagai sebuah hal yang selalu terjadi.
Artinya, negara-negara di dalam politik global selalu mengalami perubahan baik
dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun pengaruhnya. Dalam hal ini Marty percaya
bahwa dinamisme adalah suatu keniscayaan atau “dynamism is a given”.
Termin kedua adalah equilibrium atau keseimbangan.Keseimbangan
merujuk dimana tidak ada kekuatan yang dominan yang berlandaskan tiga prinsip
utama; common security, common stability, dancommon
prosperity. Dengan doktrin tersebut, maka persoalan-persoalan politik
dan keamanan global yang dihadapi oleh Indonesia akan dihadapi dengan tujuan
keamanan, kestabilan dan kemakmuran bersama dengan mekanisme kerjasama. Jika
mencari titik temu antara dua konsepsi diatas, maka baik kebijakan luar negeri
bebas aktif dan Doktrin Natalegawa merupakan konsep yang sesuai dengan amanat
Konstitusi Indonesia pada UUD RI 1945 khususnya alinea ke empat.
C. Upaya Indonesia Menyelesaikan Konflik
di Kawasan Laut Cina Selatan Dalam LajurDiplomasi Preventif
Indonesia
sebagai negara penengah yang ditunjuk untuk menangani konflik di kawasan Laut
Cina Selatan juga memiliki latar belakang tersendiri.Keterlibatan Indonesia
bukan tanpa alasan yang sifatnya strategis.Indonesia diharuskan untuk turut
terlibat demi mencapai kepentingan ekonomi nasional.Lebih lanjut, apabila
kawasan di Laut Cina Selatan dapat kembali tertib dan bebas dari segala
ancaman, maka aktivitas perdagangan dan eksplorasi alam Indonesia di kawasan ini
pun dapat berjalan lancar. Terlepas
dari upaya Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi nasional, ancaman lain
terhadap pelanggaran hukum laut, kekerasan navigasi serta kedaulatan menjadi
kepentingan lain untuk senantiasa diperjuangkan. Sebagai negara maritim,
Indonesia memiliki pertimbangan bahwa apabila terdapat kerusakan lingkungan di
kawasan Laut Cina Selatan akan secara tidak langsung turut berdampak bagi
ekosistem di perairan Indonesia. Lain hal ketika Indonesia berusaha melakukan
sekuritisasi disekitar Laut Natuna¾yang berlimpah akan gas alam. Kepentingan
Indonesia untuk menarik garis perbatasan ini disebabkan oleh ancaman dari Cina
, yang apabila tetap bersikeras mempertahankan bukti historis melalui peta yang
dibuat pada tahun 1947, akan menyebabkan interupsi pada wilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) serta landas kontinen Indonesia. Oleh
karena itu, peran Indonesia ditunjukkan melalui sejumlah perundingan yang
dibentuk diantara negara-negara yang bertikai.Salah satu wujud upaya Indonesia
adalah dengan melaksanakan South China Sea Informal Meetings yang
diadakan hampir setiap tahun. Signifikansi pertemuan ini menghasikan sebuah
kesepakatan antara Indonesia dan negara-negara yang bertikai untuk mendirikan
sebuah wilayah politik guna melancarkan hubungan diplomatik dan kerjasama satu
sama lain. Selain itu, usaha untuk meningkatkanconfidence building measures menjadi
bagian penting disetiap agenda pertemuan. Selain South China Sea
Informal Meetings, upaya Indonesia juga diwujudkan dalam sejumlah
perundingan damai lainnya, sepertiTechnical Working Groups (TWGs), Groups
of Experts (GEs) dan Study Groups (SGs). Penggunaan
mekanisme diplomasi preventif memberikan pengaruh yang cukup determinan dalam
penyelesaian konfilik secara damai. Negara-negara terkait menyadari bahwa
konfrontasi militer yang dilakukan sebelumnya hanya akan berdampak buruk bagi
semua pihak serta anggaran biaya yang terlalu besar. Sebagai negara yang
memprakarsai pola interaksi second track diplomacy dalam upaya
penyelesaian konflik di kawasan Laut Cina Selatan, partisipasi
Indonesia diakui dunia internasional sebagai pihak aktif dalam mencari celah
konsolidasi politik dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan yang
tidak hanya dianggap signifikan bagi negara-negara yang berada di wilayah
sekitarnya melainkan turut dirasakan demikian bagi dunia internasional.