Perkembangan
kognitif adalah salah satu aspek perkembangan manusia yang berkaitan dengan
pengertian (pengetahuan), yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan
bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Menurut Myers (1996), “cognition refers to
all the mental activities associated with thinking, knowing, and remembering.”
Pengertian yang hapir senada juga diberkan oleh Margaret W. Matlin (1994),
yaitu : “cognition, or mental activity, involves the acquisition, storage,
retrieval, and use of knowledge.” Dalam Dictionary Of Psychology karya
Drever, dijelaskan bahwa “kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap
model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan
makna, penilaian dan penalaran”
Dari beberapa pengertian diatas maka
dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah sebuah istilah yang menunjuk
pada semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, imajinasi,
penangkapan makna, penilaian dan penalaran, pengolahan informasi, memecahkan
masalah serta berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan
lingkungannya.
1). Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget
menjabat sebagai profesor psikologi di Universitas Geneva dari 1929 hingga 1975
dan ia paling terkenal karena menyusun kembali teori perkembangan kognitif ke
dalam serangkaian tahap, memperluas karya sebelumnya dari James Mark Baldwin, menjadi empat tahap perkembangan yang lebih
kurang sama dengan (1) masa infancy,
(2) pra-sekolah, (3) anak-anak, dan (4) remaja. Masing-masing tahap ini
dicirikan oleh struktur kognitif umum yang mempengaruhi semua pemikiran si anak
(suatu pandangan strukturalis yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant). Masing-masing tahap mewakili pemahaman sang
anak tentang realitas pada masa itu, dan masing-masing kecuali yang terakhir
adalah suatu perkiraan (approximation)
tentang realitas yang tidak memadai. Jadi, perkembangan dari satu tahap ke
tahap yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman sang
anak tentang lingkungan nya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu
tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur
pemikiran. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget)
Keempat tahap perkembangan itu
digambarkan dalam teori Piaget sebagai berikut
1. Tahap
sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui
gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
2. Tahap pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun
(mulai memiliki kecakapan
motorik)
3. Tahap
operasional konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir
secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret)
4. Tahap
operasional formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).(http://id.wikipedia.org/wiki/Jean_Piaget)
Secara kualitatif perkembangan dari
masing-masing tahapan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget untuk usia
anak-anak, maksudnya adalah :
a). Tahap Sensori-Motor (0-2).
a). Tahap Sensori-Motor (0-2).
Pada tahap ini Inteligensi sensori-motor
dipandang sebagai inteligensi praktis
(practical intelligence), yang berfaedah untuk belajar berbuat terhadap
lingkungannya sebelum mampu berfikir mengenai apa yang sedang ia perbuat.
Inteligensi individu pada tahap ini masih bersifat primitif, namun merupakan
inteligensi dasar yang amat berarti untuk menjadi pondasi tipe-tipe inteligensi
tertentu yang akan dimiliki anak kelak. Sebelum usia 18 bulan, anak belum
mengenal object permanence. Artinya, benda apapun yang tidak ia lihat,
tidak ia sentuh, atau tidak ia dengar dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya
benda itu ada. Dalam rentang 18 - 24 bulan barulah kemampuan object permanence
anak tersebut muncul secara bertahap dan sistematis.
b). Tahap
Pra Operasional (2–7).
Pada tahap ini anak sudah memiliki penguasaan
sempurna tentang object permanence.
Artinya, anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda
yang harus ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau
sudah tak dilihat, didengar atau disentuh lagi. Jadi, pandangan terhadap
eksistensi benda tersebut berbeda dengan pandangan pada periode sensori motor,
yakni tidak bergantung lagi pada pengamatannya belaka. Pada periode ditandai
oleh adanya egosentris serta pada periode ini memungkinkan anak untuk
mengembangkan diferred-imitation, insight
learning dan kemampuan berbahasa, dengan menggunakan kata-kata yang benar
serta mampu mengekspresikan kalimat-kalimat pendek tetapi efektif.
2) Kemampuan Matematika
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan
keterampilan kognitif, tetapi pada kesempatan ini penulis lebih mengspesifikasikan
kepada keterampilan matematika siswa Taman Kanak-kanak. Guru TK diharapkan
dapat membantu anak didik dalam menemukan dan menyerap konsep-konsep dasar
dalam matematika sebagai persiapan anak untuk masuk sekolah.
Menurut Piaget (Hidayat, 2003 : 31), pengenalan
matematika sebaiknya dilakukan melalui penggunaan benda-benda konkret dan
pembiasaan penggunaan matematika agar anak dapat memahami matematika, seperti
berhitung, bilangan, dan operasi bilangan.
Sebagai contoh,
mengingatkan anak tentang tanggal hari ini dan menuliskannya di papan tulis
akan melatih anak mengenal bilangan.
Pada
dasarnya setiap anak dianugerahi kecerdasan matematika Psikolog pendidikan dari
Fakultas Psikologi UI, Gagan Hartana M.
Psi (Hidayat, 2003:100), mengatakan bahwa kecerdasan matematika diartikan
kemampuan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan matematika
sebagai pemecahan masalahnya. Misalnya, saat menanam kecambah kacang hijau, di
hari pertama anak melihat kecambah tumbuh, anak dengan kecerdasan matematika
akan menebak kecambah akan tumbuh lebih tinggi tanpa melihat kelanjutan
pertumbuhannya. Anak menghadapi masalah yang dasar penyelesainnya membutuhkan
kemampuan matematika dan mampu berpikir abstrak.
Menurut
Linda dan Bruce Campbell, penulis
buku Teaching and Learning Through
Multiple Intelligences, inteligensi
(Hidayat, 2003: 105) logika matematika biasanya dikaitkan dengan otak yang
melibatkan beberapa komponen, yaitu perhitungan secara matematis, berpikir
logis, pemecahan masalah, pertimbangan induktif (penjabaran ilmiah dari umum ke khusus), pertimbangan deduktif (penjabaran ilmiah secara khusus ke
umum), dan ketajaman pola-pola serta hubungan-hubungan. Intinya, anak bekerja
dengan pola abstrak serta mampu berpikir logis dan argumentatif.
Anak
dengan kemampuan ini akan senang berkutat dengan rumus dan pola-pola abstrak.
Tapi tak hanya pada bilangan matematika, juga meningkat pada kegiatan yang
bersifat analitis, dan konseptual. Hal ini ditegaskan Howard Gardner penulis
buku Multiple Intelligences, The
Theory in Practice (Hidayat 115), mengatakan bahwa ada kaitan logika
matematika dengan kecerdasan linguistik. Pada kemampuan matematika anak
menganalisa atau menjabarkan alasan logis, serta kemampuan mengkonstruksi
solusi dari persoalan yang timbul. Kecerdasan linguistik diperlukan untuk
merunutkan dan menjabarkannya dalam bentuk bahasa.
Gardner memaparkan ciri anak cerdas
matematika, pada usia balita, anak gemar bereksplorasi untuk memenuhi rasa
ingin tahunya seperti menjelajah setiap sudut, mengamati benda-benda yang unik
baginya. Selain itu, anak juga hobi mengutak-atik benda serta melakukan uji
coba. Seperti, bagaimana jika kakiku masuk ke dalam ember penuh berisi air atau
penasaran menyusun puzzle.
Gardner (Hidayat, 2003: 120) mengatakan,
Number Sense bisa dimulai sejak anak
masih dalam kandungan. Ketika sedang berhitung Anda bisa mengajak calon bayi
berbicara atau berkomunikasi. Pada anak yang kecerdasannya tinggi bisa
menyelesaikan persoalan matematika lebih cepat. Strategi memecahkan masalah
soal matematika ialah dengan memberikan banyak stimulasi dan diwujudkan dalam
keseharian, misalnya menghitung jumlah mobil sedan yang lewat selama 1 menit.
Belajar yang sangat baik
untuk membantu anak didik dalam menemukan dan menyerap konsep-konsep dasar
matematika adalah melalui pengamatan, yakni mengobservasikan langsung peristiwa
dengan benda-benda konkret. Pengamatan melibatkan penguasaan semua panca
indera, tetapi unsur yang terpenting dari panca indera adalah penglihatan. Karena
itu pengamatan biasanya diartikan sebagai kemampuan untuk melihat dan mengerti
secara cepat. Misalnya anak dapat menyebutkan urutan bilangan dari 1 sampai 10
dengan menggunakan alat atau media yang konkret seperti kartu bilangan. Setelah
memperoleh gambaran tentang ruang lingkup dasar matematika, maka diharapkan
guru atau pembimbing dapat menerapkan konsep-konsep matematika yang dapat
diajarkan di Taman Kanak-Kanak seperti :
· Menyebutkan urutan bilangan
· Membilang (mengenakan konsep bilangan) dengan benda-benda.
· Menghubungkan konsep bilangan dengan lambang bilangan
(anak tidak disuruh menulis)
· Mengenal konsep bilangan sama dan tidak sama, lebih
kurang, banyak sedikit, dll.
· Mengenal lambang bilangan atau angka (anak tidak disuruh
untuk menulis)
Sesuai dengan GBPKB TK, kemampuan matematika anak usia
dini bertujuan anak didik mampu berkomunikasi secara lisan dengan lingkungannya
dan anak didik mampu menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui dengan
pengetahuan baru yang diperolehnya. Adapun ruang lingkup yang diharapkan adalah
sebagai berikut :
· Anak mempunyai konsep bilangan dan hitungan.
· Anak mengenal hubungan antara angka dan bilangan
· Anak memiliki kemampuan melihat hubungan antara tulisan
dan suara
· Anak memiliki koordinasi otot-otot mata dan motorik tangan
· Anak mempunyai kemauan untuk mengenal kalimat-kalimat
tertulis
· Intelegensi anak berkembang dengan baik
· Merangsang kepekaan untuk belajar berhitung.
· Memiliki keterampilan koordinasi motorik tangan, mata dan
pikiran yang baik yang diperlukan untuk membaca dan menulis.
Menurut pengamatan Dienes
(Ruseffendi, 2006:156) anak-anak yang menyenangi matematika hanya pada
permulaan mereka yang berkenalan dengan matematika yang sederhana. Yang
dimaksud oleh Dienes dengan konsep
tersebut adalah struktur matematika yang terdiri dari konsep murni matematika,
konsep notasi dan konsep terapan. Ada beberapa alasan anak harus diberi
beraneka ragam materi konkret sebagai model (representasi) dari konsep tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Dengan melihat berbagai contoh konkret siswa
akan mendapatkan penghayatan yang lebih benar.
b. Dengan banyaknya contoh itu siswa akan lebih
banyak menerapkan konsep ke dalam situasi yang lain.
Dienes berpendapat bahwa ada enam tahap
dalam belajar dan mengajarkan konsep matematika kepada siswa. Tahap-tahap itu ialah bermain bebas, permainan,
penelaahan sifat bersama, representasi, penyimbulan, dan pemformalan. Dalam hal
mengajarkan matematika pada tingkat Taman Kanak-Kanak, yang akan penulis bahas
sebatas pada tahap bermain bebas dan permainan saja mengingat prinsip
pembelajaran di Taman Kanak-Kanak yaitu belajar sambil bermain.
Bermain bebas
adalah tahap permulaan anak-anak belajar matematika. Anak-anak beremain dengan
benda-benda konkret model matematika. Mereka belajar bebas, tidak diatur dan
tidak diarahkan. Siswa belajar konsep matematika dengan memanipulasikan
benda-benda konkret. Melalui benda-benda konkret model matematika, secara tidak
sengaja siswa berkenalan dengan konsep matematika melalui model matematika
tersebut.
Setelah tahap
bermain bebas, tahap yang kedua adalah tahap permainan. Pada tahap ini siswa
mulai memahami pola, sifat kesamaan dan ketidaksamaan. Keteraturan dan
ketidakteraturan suatu konsep disajikan oleh benda-benda konkret model
matematika. Melalui permainan matematika ini akan tertanam dalam benak siswa
bahwa matematika itu menyenangkan. Dalam hal ini penulis mencobakan menggunakan
model atau media dengan bermain kartu bilangan.
Pada
pengembangan kecakapan aritmatika model Montessori.
Latihan sensori sangat penting dalam mempelajari dasar-dasar aritmatika. Metode
Montessori mempunyai materi-materi yang sangat banyak untuk tujuan tersebut
sehingga memungkinkan siswa menjadi sangat akrab dengan angka-angka pada tahun
awal pada saat mereka sangat rensponsif pada pengalaman ini. Ciri fundamental
sistem angka tersebut adalah sistem bilangan desimal karena pada usia lima
tahun sudah mengenal hitung puluhan maka materi sensori awal latihan dibatasi
sampai hitungan sepuluh sampai siswa memperoleh pengetahuan melalui unit-unit
tersebut.