Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari
anak. Keadaan ini menarik minat peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan
penelitian tentang anak dan bermain. Peneliti ingin menunjukkan sejauhmana
bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya sekedar untuk mendapatkan
pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi waktu luang.
Pendapat pertama tentang bermain
oleh Plato mencatat bahwa anak akan
lebih mudah memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu
itu Plato mengajarkan pengurangan dan penambahan dengan membagikan buah apel
pada masing-masing anak. Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami oleh anak
ketika dilakukan sambil bermain dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini
menunjukkan bahwa anak lebih mampu menerapkan aritmatika dengan bermain
dibandingkan dengan tanpa bermain.
Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada
hubungan yang sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang
akan dilakukan anak dimasa yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu
dimotivasi untuk bermain dengan permainan yang akan ditekuni di masa yang akan
datang. Sebagai contoh anak yang bermain balok-balokan, dimasa dewasanya akan
menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka akan menjadi pelukis, dan lain
sebagainya.
Pada abad ke 18 dan awal abad ke 19,
Rousseau dan Pestalozzi mulai
menyadari bahwa pendidikan akan lebih efektif jika disesuaikan dengan minat
anak. Pernyataan ini mendukung Teori
Frobel yang mengatakan bahwa bermain sangat penting dalam belajar. Belajar
berkaitan dengan proses konsentrasi. Orang yang mampu belajar adalah orang yang
mampu memusatkan perhatian. Bermain adalah salah satu cara untuk melatih anak
konsentrasi karena anak mencapai kemampuan maksimal ketika terfokus pada
kegiatan bermain dan bereksplorasi dengan mainan.
Bermain juga dapat membentuk
belajar yang efektif karena dapat memberikan rasa senang sehingga dapat
menimbulkan motivasi instrinsik anak untuk belajar. Motivasi instrinsik
tersebut terlihat dari emosi positif anak yang ditunjukkan melalui rasa ingin
tahu yang besar terhadap kegiatan pembelajaran.
Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak memiliki
energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang mengatakan bahwa anak bermain (melompat,
memanjat, berlari dan lain sebagainya) merupakan manifestasi dari energi yang
ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer
bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.
Dilanjutkan oleh G Stanley Hall, ia menjabarkan teori
bermain sebagai bentuk evolusi dari kegiatan nenek moyangnya dimasa yang
lampau. Menurut Hall, kegiatan
bermain pada anak menunjukkan pengalaman nenek moyang ras tertentu (pengulangan
perkembangan ras). Sebagai contoh, anak yang suka bermain dengan air maka
diduga bahwa nenek moyang anak tersebut adalah ikan, anak yang suka melakukan
kegiatan memanjat maka diduga bahwa nenek moyang anak tersebut adalah monyet. Teori bermain Hall, sangat dipengaruhi Teori Evolusi Darwin yang pada saat itu
memberikan pembaharuan baru dalam ilmu pengetahuan.
Seorang tokoh Filsafat, Karl Gross mengatakan bahwa anak
bermain untuk mempertahankan kehidupannya. Menurut Gross, awalnya kegiatan
bermain tidak memiliki tujuan namun kemudian memiliki tujuan dan sangat berguna
untuk memperoleh dan melatih keterampilan tertentu dan sangat penting fungsinya
bagi mereka pada saat dewasa kelak, contoh, bayi yang menggerak-gerakkan
tangan, jari, kaki dan berceloteh merupakan kegiatan bermain yang bertujuan
untuk mengembangkan fungsi motorik dan bahasa agar dapat digunakan dimasa
datang.
Sigmund Freud berdasarkan Teori
Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain berfungsi untuk
mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi kecemasan yang
berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa bermain
fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri. Menurut Freud, melalui bermain dan berfantasi
anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan konflik serta pengalaman yang tidak
dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak main perang-perangan untuk
mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-pura bertarung untuk
menunjukkan kekesalannya.
Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan
bahwa bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan
otak kanan dan kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta
mengembangkan pilar-pilar syaraf pemahaman yang berguna untuk masa datang.
Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif adalah kondisi yang sangat baik untuk
menerima pelajaran.
Berdasarkan kajian tersebut maka
bermain sangat penting bagi anak usia dini karena melalui bermain mengembangkan
aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah aspek fisik, sosial
emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik yaitu melalui
permainan motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh, belajar
keseimbangan, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya.
Adapun dampak jika anak tumbuh dan berkembang dengan fisik dan motorik yang
baik maka anak akan lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki
konsep diri yang positif . Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu
pembentuk aspek sosial emosional anak.
Bermain mengembangkan aspek
sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak mempunyai rasa memiliki,
merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk hidup dan bekerja
sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan bermain dalam
kelompok anak juga akan belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan anak
yang lain, belajar untuk menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri, mampu
mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi,
keinginan yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain
imajinasi dan sosiodrama.
Aspek kognitif
berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan perhatian dan
konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen, melatih
ingatan, mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa.
Konsep abstrak yang membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui
bermain, dan menyerap dalam hidup anak sehingga anak mampu memahami dunia
disekitarnya dengan baik.